Kaki langit bagian barat sudah memerah, ketika pesawat Twin Otter yang kami tumpangi (14 orang) mendarat di Bandara Frans Kaisiepo. Dua jam kami terbang dengan pesawat kecil yang memiliki kapasitas 19 orang itu dari Bandara Ewer, Asmat.
Dua jam, penerbangan mulus. Lebih mulus dan tenang dibandingkan terbang 40 menit dari Timikia ke Ewer, yang sejak mulai mengangkasa ditemani hujan rintik-rintik. Langit dari Ewer hingga Biak, cerah. Hanya kadang guncangan-guncangan kecil tak berarti.
Dari jendela, di sebelah kiri saya duduk, terlihat kelompok-kelompok mega putih bersih seperti berkejaran. Langit biru. Di bawah saya lihat hamparan hutan hijau tak putus-putusnya. Hanya kadang dibelah sungai besar dan kecil yang berkelok-kelok seperti ular yang tengah menjalar. Puncak-puncak bukit seperti ingin mengapai pesawat kecil yang kami tumpangi.
Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan, matahari dan seluruh isi angkasa, semua serba indah. Semuanya telah tercipta oleh sabda yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecil dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini.
Ah, Papua yang indah terlihat dari atas. Dari atas, semua terlihat tidak hanya indah tapi juga damai. Damai yang menjadi idaman semua manusia di bumi. Tapi, damai itu masih saja bagaikan tergantung di awang-awang; dan kadang dipeluk awan gelap, disapu angin, tertutup mega.
Meskipun, sebenarnya damai itu ada. Tetapi, banyak kali perdamaian masih dipecah belah oleh keserakahan dalam mencari keuntungan yang mudah, dilukai oleh keegoisan yang mengancam kehidupan manusia dan keluarga, keegoisan yang terus berlanjut, dan kerakusan akan kekuasaan.
“Lihat, sebelah kanan. Cantik banget. Pulau-pulau kecil. Laut biru dan hijau, airnya. Bagus,” teriak Mensos Tri Rismaharini penuh kegirangan sesaat sebelum pesawat mendarat. Pemandangan di bawah, pulau-pulau dan laut, memang sangat indah.
***
Ketika akhirnya pesawat mendarat di Biak, segera saya ingat senior dan sahabat saya, Manuel Kaiseipo. Wartawan Kompas ini pernah menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, masa Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden Megawati. Dan, nama bandara Biak–Frans Kaiseipo (1921-1974)–adalah ayah Manuel Kaiseipo.
Saat itu juga saya kirim foto Bandara Biak ke Pak Katua, begitu saya biasa menyapa Manuel Kaiseipo. “Wah, Pak Trias sampai juga ke kampung saya…” tulisnya di WA.
Biak adalah ibu kota Kabupaten Biak-Numfor, yang terletak di Teluk Cendrawasih, sebelah utara Pulau Papua. Dulu, di zaman Belanda diberi nama Schouten Eilanden, sesuai nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Biak-Numfor adalah gabungan dua pulau kecil Biak dan Numfor.
Frans Kaiseipo lah–gubernur keempat Papua dan pahlawan nasional–yang pertama kali memerkenalkan nama “Irian” untuk menggantikan Nederlands Nieuw Guinea atau Papua. Irian adalah bahasa asli Biak yang berarti “cahaya yang mengusir kegelapan.”
Papua–diambil dari bahasa Tidore, “papo ua” yang berarti tempat yang jauh–laksana “Putra Sang Fajar” (sebutan untuk Bung Karno). Sebab, Papua adalah wilayah di negeri ini yang pertama setiap hari melihat matahari. Dari sanalah matahari terbit.
Semestinya, seperti harapan Frans Kaiseipo sesuai arti kata “Irian”, kegelapan itu diusir dari sana tempat di mana matahari terbit. Bukankah kegelapan hilang ketika cahaya datang? Tetapi, memang, harapan Frans Kaiseipo belum sepenuhnya terwujud.
Cahaya memang telah datang. Tapi, kegelapan belum hilang. Seperti lampu yang dikerudungi walaupun menyala namun cahayanya tak menembus kegelapan. Lampu baru berarti kalau terangnya mampu mengusir kegelapan.
Kegelapan tak bisa mengusir kegelapan, hanya cahaya-lah yang bisa melakukannya. Memang, sebelum bisa melihat cahaya, harus melewati kegelapan. Hanya persoalannya, sampai kapan kuasa kegelapan itu mencengkeram “surga kecil?”
Mereka yang optimistis melihat dan menciptakan cahaya dalam kegelapan. Sebab mereka tahu bahwa seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan kekuatan kegelapan. Tapi, manusia selalu bisa keluar dari kegelapan.
Mereka yang optimistis juga melihat kegelapan bukan ancaman, hanya peluang untuk menghidupkan cahaya. Dengan itu, akan lahir harapan. Dan, harapan mampu melihat bahwa ada seberkas cahaya di balik pekatnya kegelapan.
Sementara, mereka yang pesimistis malah berusaha mematikan kerlipnya cahaya!
***
Kunjungan kami ke beberapa wilayah di Papua, seperti Agats dan bahkan daerah-daerah pinggiran Jayapura, seperti Muara Tami, merasakan “cahaya matahari”, “terang lampu” itu belum sepenuhnya mampu mengusir “kegelapan.”
Tetapi, walau demikian, masyarakat di Agats, di Biak, misalnya, tidak kehabisan harapan. Mereka melihat bahwa hari esok akan terang. Kata Uskup Agung Anglikan Afrika Selatan penerima Hadiah Nobel Perdamaian (1984) Desmond Tutu (1931-2021) harapan adalah kemampuan untuk melihat bahwa ada cahaya meskipun semua dalam kegelapan.
Di akhir 2022, misalnya, terdapat dua peristiwa penting di Papua, yakni pembentukan sejumlah provinsi baru yang diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan inisiasi jeda kemanusiaan untuk mengurangi eskalasi kekerasan akibat konflik bersenjata di wilayah tersebut.
Harus diakui, selama beberapa tahun terakhir, usaha pemerintah tak kurang-kurang, dalam segala macam bentuk. Pembangunan infrastruktur terus digenjot untuk membuka Papua. Pemerataan dan keadilan dicoba untuk diwujudkan, misalnya, diberlakukannya Kebijakan BBM satu harga ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2017.
Kebijakan BBM Satu Harga, dilaksanakan agar masyarakat di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di luar Jawa dapat menikmati harga BBM yang sama dengan di pulau Jawa. Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud sehingga memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah.
Misalnya, per 1 Mei 2023 harga Pertalite di Papua dan Papua Barat Rp 10.000/liter. Ini sama dengan harga Pertalite di Jabodetabek. Harga Pertamax di Papua dan Papua Barat Rp 13.550 (di Jabodetabek, Rp 13.300). Dexlite turun dari Rp 14.550/ liter menjadi Rp 13.950/liter (di Jabodetabek dari Rp 14.250 menjadi Rp13.700/liter. Sebelum kebijakan satu harga, masyarakat Papua terbiasa membeli BBM seharga Rp 60.000 – Rp 100.000/liter.
Bahwa masih banyak yang harus dilakukan, memang harus diakui. Tetapi, bahwa sudah banyak pula yang dilakukan–terutama pembangunan infratruktur jalan untuk membuka keterasingan–juga harus diakui. Masih banyak ketertinggalan di berbagai bidang–pendidikan, kesejahteraan, keadilan, pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, misalnya–harus diakui.
Tetapi, masih ada waktu, kesempatan, dan peluang untuk mengejarnya; untuk mengerjakan pekerjaan rumah itu, terutama bila ada political will dan kehendak baik.
Sebagai contoh, di sektor pendidikan. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Papua Barat Barnabas Dowansiba, banyak faktor penyebabnya. Namun faktor kehidupan masyarakat adalah yang lebih dominan. Masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal yang penting.
Selain itu, juga soal kekurangan guru, terutama guru sekolah dasar, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencari solusi. Mereka meminta semua perguruan tinggi di Provinsi Papua Barat yang punya program studi pendidikan guru sekolah dasar jenjang S1 dan S1 pendidikan anak usia dini untuk melakukan intervensi program.
Kementerian juga akan menunjuk perguruan tinggi di Provinsi Papua Barat yang tidak memiliki jurusan pendidikan guru sekolah dasar dan S1 pendidikan anak usia dini namun, ada fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, seperti Universitas Papua, untuk membuka program pendidikan guru SD.
Selain itu, Kementerian juga memberikan kewenangan kepada sekolah-sekolah tinggi agama yang menjalankan program pendidikan S1 guru agama di Provinsi Papua Barat agar membuka program S1 pendidikan guru SD dan S1 pendidikan anak usia dini.
***
Ada banyak sebab, mengapa semua itu terjadi. Menurut temuan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, antara lain rendahnya budaya berpemerintahan.
Kualitas pemerintahan di Papua dipengaruhi realitas sosial yang kompleks, seperti rendahnya kapasitas dan komitmen pelayanan publik, lemahnya pengawasan anggaran (banyak kasus korupsi), serta sikap apatis masyarakat. Akibatnya, proses pelayanan publik tidak berjalan maksimal.
Maka, dalam menyalurkan berbagai bantuan, Kementerian Sosial, misalnya, memilih lewat lembaga Gereja. Sebab, lewat Gereja, “aman, amanah, dan murah.” Lewat Gereja, siapa yang mendapat bantuan jelas dan pasti ada, serta sampai sasaran.
Ibarat kata, dalam memberikan bantuan pun “harus mengurangi jalan-jalan setan.” Dengan cara itu, tujuannya sederhana yakni membangun dan memperkuat harapan karena masih ada yang peduli. Harapan merupakan suatu keinginan akan sesuatu yang baik atau suatu tujuan.
Harapan itu dibangun dan ditumbuhkan lewat program-program strategis visioner yang dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan, untuk sebesar-besar pemberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sehingga mencapai kualitas hidup yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
Membangun harapan ibarat menanti terang bulan. Sebab, pengharapan adalah suatu kepastian, tidak goyah, dan aktif seperti bulan yang pasti akan mengalami terang bulan, bulan penuh ketika waktunya tiba….meski kadang tertutup mega bahkan awan, tetapi bulan penuh pasti akan datang.***
*Artikel ini sudah dimuat di Kompas.com, pada hari Jumat, 16 Juni 2023
Terimakasih utk pencerahan ttg Papua, mas Trias…… Dg asal kata dan arti yg bagus, mengapa justru yg dipilih Papua.. bukan Irian ?
Semoga rakyat Papua semakin sejahtera dan tetap bagian dari NKRI.
Papua kaya n seharusnya rakyatnya sejahtera.
Pencerahan ilmu dan pencerahan tentang Papua yang sangat bagus dan menyegarkan ditulis secara kritis oleh Pak Dubes yang juga pendidik.
Teruslah berbagi ilmu agar pemerataan pengetahuan bisa dinikmati semua anak manusia. Tks Pandito ias. salam sehat.
Terima kasih p Trias pencerahannya ttg Papua.
Sdh ada titik terang bulan, belum terang matahari.