Ketika mau menulis “dongeng” ini saya teringat sahabat saya, Sukardi Rinakit. Cak Kardi, begitu saya biasa menyapanya, tahun 2008 menerbitkan buku Tuhan Tidak Tidur” (Gusti Ora Sare). Buku ini merupakan kumpulan esai kearifan pemimpin.
Karena ingat Cak Kardi, maka “dongeng” inipun saya beri judul Gusti Ora Sare. Bahkan, Gusti tidak hanya tidak sare, tetapi Gusti tidak pernah sare, Tuhan tidak pernah tidur.
Dalam filosofi budaya Jawa, istilah Gusti ora sare merupakan ungkapan doa keyakinan Tuhan tidak tidur. Ungkapan tersebut menunjukkan sikap orang Jawa dalam menjalani kehidupan selalu pasrah pada ketetapan Allah.
Sebesar apapun usaha manusia dan hasil yang diraihnya, Allah lah yang memberikan izin. Kata pepatah, Homo proponit, sed Deus disponit, Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan.
***
Manusia percaya, Tuhan memiliki sifat maha mengetahui, maha memberi, maha pengasih, maha penyayang, dan lainnya. IA adalah sang mahatahu, mahamelihat, mahapengampun, dan mahabijak. IA tidak tidur. IA selalu terjaga. IA selalu melihat atas segalanya.
IA bukanlah sang penghukum. IA juga bukan sang pendedam. IA sang mahapengasih dan mahapenyayang. Sebab, Allah adalah kasih. Meskipun manusia kadang mengkaitkannya dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan.
Kesadaran demikian–misalnya, Gusti ora sare--membuat orang tidak akan sembrono dan gegabah dalam bertindak. Dan kalaupun jatuh karena sembrono dan gegabah atau salah perhitungan atau tak kuasa menolak kehendak kuasa besar, maka ia (manusia) tidak kehilangan asa. Karena ia tidak hanya tahu tetapi percaya bahwa Gusti ora sare.
Ia yang percaya bahwa Gusti ora sare yakin, Gusti mengetahui bahwa ia berjuang untuk bonum commune; ia bekerja untuk kemaslahatan orang banyak, bukan untuk kepentingan diri atau kelompoknya.
Kata Aristoteles bonum commune atau kebaikan bersama adalah sesuatu yang tak terhindarkan bagi manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia perlu mengarahkan hidupnya untuk ‘kebaikan bersama’, kebaikan bagi seluruh anggota komunitas, masyarakat umum.
Pengejaran kebaikan bersama dalam kehidupan bukan hanya lebih terhormat, lebih ternilai, lebih bermakna tetapi juga akan menjadi lebih ‘kekal’ bila dibandingkan dengan pengejaran kebaikan individu. Kata Aristoteles kebaikan bersama dan kebaikan individu bukanlah sesuatu yang terpisah. Sebab, dalam pencapaian kebaikan individu tetap akan dibutuhkan lingkungan sosial. Dunia sosial ada demi menunjang kehidupan manusia.
Dan, kata Thomas Aquinas (1225-1274) keberarahan pada bonum commune merupakan syarat bagi terciptanya pemerintahan adil yang dapat mewujudkan kesejahteraan bersama. Itulah yang harus diupayakan sekuat tenaga untuk diwujudkan oleh pemerintah. Dan, ia paham dan sadar akan hal itu.
***
Kepercayaan akan semua itu–Gusti ora sare, providentia Dei, manusia merencanakan tetapi Tuhan yang menentukan, dan juga Deus caritas est, Tuhan itu kasih, serta bahwa urip iku mung mampir ngombe karena itu harus benar-benar dimaksimalkan untuk terwujudnya bonum commune--yang membuat ia berdiri kokoh di atas kedua kakinya kembali setelah jatuh karena tak kuasa mengelak.
Walau kini ia berdiri kokoh, tetapi tidak membusungkan dada. Walau mengangkat kepala tapi tidak congkak. Walau ia memandang ke depan tapi tidak berontak.
Sebab, ia bagaikan karang yang tetap berdiri tegak walau terus digempur ombak dan badai tiada henti. Ia luwes bagaikan ombak laut yang menari-nari dimain-mainkan angin di laut Selatan. Tetapi tetap setia tanpa henti mendatangi pantai berpasir tempat anak-anak bermain.
Ia berdiri tegak laksana merapi-merbabu yang berdiri kokoh menjulang tinggi ke langit biru. Meskipun tubuhnya digerogoti para penambang pasir.
Ia bagaikan sinar lentera yang menyinari orang lain yang meringkuk dalam kegelapan maut; dan membimbing orang lain ke jalan damai sejahtera.
Akhirnya, ia terus berjalan menyusuri jalan panjang berkelok dan berliku, naik dan turun, halus dan tidak rata seperti sejarah. Kata Bung Karno, bukankah sejarah tak pernah berhenti? Siapakah yang dapat menghentikan sejarah? Sejarah menggerakkan dirinya sendiri.
Meskipun demikian, ia tetap waspada. Sebab, ia menyadari berada di tengah benturan-benturan antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang mengalir dari sumber yang satu. Seperti Arjuna ketika berperang melawan Adipati Karna di Padang Kurusetra.
Ia tetap waspada karena melihat bibit-bibit dendam yang baru terus bermunculan. Dan bibit-bibit seperti itu cepat tumbuh dan berkembang, jauh lebih cepat dari setiap bibit kebaikan dan kebajikan. Seperti bibit alang-alang, maka bibit dendam itu segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan tumbuh dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek tetapi indah.
Dan, sambil terus berjalan, ia tidak memusingkan masa depannya. Karena ia “menyerahkan masa depannya pada ‘Yang tidak sare‘ mulai saat itu dan seterusnya….” Ia percaya bahwa “Yang tidak sare” akan melaksanakan rencana-Nya baginya…..walau ia pernah jatuh dan mengecewakan banyak orang.***
Matur nuwun pencerahanipun Romo Kiai Trias.
Selamat Merayakan Minggu Palma.
BD
Terima kasih pemcerahannya, menang Gusti tidak pernah sare, manusia yg selalu tidur, tenggelam dalam kepentingannya sendiri.
Bibit kejahatan tumbuh dengan cepat sedangkan bibit kebaikan lamban berkembang. Namun, Gusti Ora Sare. Matur nuwun pencerahannya, Pak IAS
Matur nuwun pencerahannya. Gusti selalu mengayomi ciptaannya. Salam Kredensial.
Matur sembah nuwun Mas Trias. Selamat memperingati dan refleksi Tri Suci Hari Raya Paskah, mulai Kamis Putih, Jumat Agung, dan bangkit dari Tidur bersama Nya di Hari Raya Paskah……Gusti Ora Sare🙏