ANUGERAH NATAL TERINDAH

Ibu dan Anak (Foto: Trias Kuncahyono)

Kemarin, seorang kawan bertanya: Apakah Natal akan kehilangan maknanya bila tanpa tenda? Tertegun saya membaca pertanyaan itu. Tetapi, sekejap kemudian tertawa. Ada-ada saja pertanyaan kawan saya ini.

Sebenarnyalah, pertanyaan kawan itu, sangat menarik. Bahkan, mendalem, istilahnya. Saya malahan berpendapat, itu pertanyaan kunci.

Tetapi, aku tak tertarik lagi memikirkan soal tenda; tak tertarik menjawab pertanyaan kawan itu ketika memandangi anak saya terbaring tak berdaya di ranjang besi warna putih di rumah sakit. Kupandangi wajahnya. Kedua matanya tertutup, sejak sehari sebelumnya. Ada selang yang dimasukkan ke mulutnya. Plester warna coklat melintang di atas mulutnya.

Tiga jarum tertancap di lengan tangan kirinya. Tiga yang lain di lengan kanannya. Layar monitor yang dipasang di sebelah kanan ranjang menunjukkan angka tekanan darah, detak jantung, dan entah apa lagi. Beberapa alat yang lain ada di kanan-kiri tempat tidur. Suara tuit…tuit…tuit, tut…tut, dan tueng…tueng…tueng dari alat-alat itu terus berebut. Suara-suara itu menyusup ke telinga membuat hati nggak nyaman, bergetar. Meski perawat selalu siaga di kamar perawatan itu.

Kulihat dadanya naik turun teratur, mengikuti tarikan napasnya. Namun, terlihat berat. Meskipun, detak jantungnya lebih lambat dibanding beberapa saat sebelumnya seperti habis lari. “Mas, ayo bangun…” bisikku ke telinganya.

Tidak ada reaksi sedikit pun!

***

Ilustrasi: istockphoto.com

Sambil duduk menunggui anak kami yang masih tidur pulas dalam kesakitannya, aku berusaha memahami, mengapa ini terjadi. Istriku selalu merasa bersalah, kok tidak bisa menangkap tanda-tanda dan gelagat pada anak kami. Kami memang mengira, ia masih ngantuk dan ingin bangun siang sebagaimana biasanya kalau libur sekolah.

Tetapi, apa yang terjadi, sungguh mengejutkan kami berdua. Apakah arti “kejutan” menjelang Natal ini? Kata Paus Fransiskus (2018),  Natal itu membawa “kejutan.” Merayakan Natal berarti “menyambut kejutan-kejutan surga di bumi.”

Kejutan memang bagian dari hidup, seperti para penyuka sepak bola yang selama beberapa pekan lalu mendapat kejutan-kejutan dari pertandingan di Piala Dunia Qatar. Orang terkejut ketika Argentina ditaklukan Arab Saudi; ketika Jepang mengalahkan Jerman; ketika Maroko menggulung Spanyol lalu Portugal; ketika Kroasia memulangkan Brasil.

Siang itu, kami memang sangat terkejut. Anak kami yang kami duga tidur pulas, ternyata dalam masalah, bahkan masalah besar; pandangan matanya kosong dan sayu; sudah nyaris kehilangan kesadarannya penuh; sudah tidak mengenal kami, confused.

Kalau Paus Fransiskus mengatakan, Natal berarti merayakan “hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Allah,” atau lebih tepatnya, “Allah yang belum pernah terjadi sebelumnya” ; maka kami sepekan menjelang Natal benar-benar menerima “yang belum pernah terjadi sebelumnya”: anak kami nyaris kehilangan kesadarannya secara penuh saat kami duga tengah tidur nyenyak, pulas.

Tidak mudah memahami dan menerima hal itu. Bagaimana mungkin terjadi, anak kami yang sebelum tidur malam masih tersenyum-senyum dan mengucapkan “good night”, di siang hari berikutnya sudah tak mampu bangun sendiri; dan harus kami bawa ke rumah sakit; dan harus menjalani operasi; dan harus selama beberapa waktu tidak sadarkan diri; dan kami hanya bisa duduk di tepi ranjang sambil terus memandangnya.

Tak henti-hentinya berloncatan dalam hati kami pertanyaan: Mengapa semua ini terjadi, quare hoc factum est Dominus? Kami menggugat. Namun, pada akhirnya, kami berserah, Fiat nobis secundum voluntatem tuam, Domine, terjadilah pada kami seturut kehendakMu, ya Tuhan.

Tidak mudah sampai pada kesadaran itu; sampai pada Fiat nobis secundum voluntatem tuam, Domine. Tetapi, dengan menyadari bahwa hidup itu penuh kejutan, kami menerima “kejutan” ini, walau tertatih-tatih.

Kata Paus Fransiskus, Natal pertama, lebih dari dua ribu tahun silam,  “penuh kejutan”, bagi Maria, bagi Yusuf. Dari pemberitahuan malaikat Gabriel tentang kehamilan Maria, sampai pengungsian ke Mesir, Natal pertama tersebut  “membawa perubahan yang tak terduga” ke dalam kehidupan mereka.

Kejutan yang paling besar, di tengah malam Natal,” kata Paus Fransiskus, “Yang Mahatinggi menjadi seorang bayi mungil.”

Maka, menghayati Natal berarti harus berani diguncang oleh kebaruannya yang mengejutkan. Kami memang terkejut, walau susah payah untuk bisa memahami dan menerima kejutan itu.

Lebih terkejut lagi, setelah anak kami bercerita bahwa ia sudah tak ingat lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah masuk kamar di Wisma Indonesia, tempat tinggal Dubes RI untuk Singapura, Suryopratomo. Berarti, ia sudah mulai kehilangan kesadaran sejak Selasa dinihari.

***

Ilustrasi: pixabay.com

Ketika kami–saya dan istri–berdiri di samping ranjang anak kami di tengah malam yang terus berjalan semakin tua, di tengah sepi yang menguasai kamar-kamar rumah sakit, di tengah rasa hati yang tak karu-karuan walau terus berusaha untuk menerima Fiat nobis secundum voluntatem tuam, Domine,_ kami berusaha untuk menerima kejutan menjelang Natal ini.

Dukungan perhatian dan doa dari saudara-saudara, kerabat, para sahabat dan teman tak hentinya mengalir masuk lewat WA dan WA grup, video, menjadi sangat berarti. Kami tak sendirian. Inilah arti persaudaraan, perdahabatan.

“Kalau ada apa-apa jangan lupa, kabari aku,” kata Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo yang datang ke rumah sakit bersama istri, Noeri Widowati. Sungguh, sangat berarti.

Terima kasih saudara-saudaraku, para sahabatku, teman-temanku, atas semua perhatian dan dukunganmu pada kami.

Kata orang-orang bijak, hidup ini terlalu penuh dengan kejutan. Bahkan,  setiap harinya, setiap detiknya, kita selalu mendapatkan “Kejutan” dari Allah. Entah itu yang membahagiakan, atau justru menyakitkan dalam perspektif kita. Kita tidak bisa memilih “kejutan-kejutan” itu. Kita tidak bisa memilih kejutan yang menyenangkan saja.

Karena sejatinya, setiap “anugerah” dan setiap “kejutan” yang Dia berikan, pasti itu yang terbaik untuk kita. Hanya saja kita terlalu sempit menilai setiap pemberian-Nya. Jika kita menyukai “kejutan” tersebut kita akan berkata “Ya Allah, Engkau baik sekali mengabulkan apa yang aku mau..” Tetapi, bila “kejutan” itu tak sesuai harapan kita, kita berkeluh-kesah.

Begitulah…..

 

Ilustrasi: stockvault

Ketika anak kami pada Kamis pagi membuka matanya, dan siang harinya mengenal kami lagi, bisa merasakan rasa sakit, bisa berkomunikasi lagi walau baru sebatas mengangguk dan menggeleng …. lalu bisa berbicara meski mula-mula lirih, kemudian makin jelas dan jelas… kami seperti melihat kegelapan pergi ketika fajar datang… meskipun perginya itu diam-diam…Kami semakin percata bahwa hanya cahaya yang mampu mengusir kegelapan.

Tetapi, seperti kata sahabat saya, Nil sine numini  tak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak Illahi. Demikian pula, perginya kegelapan malam dan datangnya terang fajar juga adalah kehendak Ilahi. Inilah providentia Dei, penyelenggaraan Ilahi.

Inilah anugerah Natal paling istimewa yang pernah kami terima. Inilah “kejutan” di akhir tahun… Aku lalu ingat kata Emak kepada istri saya, beberapa waktu lalu, “Di akhir tahun, Mbak akan menerima musibah dan anugerah.”

Selamat Natal 2022…

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
23
+1
67
Kredensial