….. AKHIR TAHUN

Ilustrasi foto: Kompas.com

Awal Desember lalu, selama dua hari, Jumat dan Sabtu, saya berkeliling tiga wilayah: Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo. Perjalanan itu mengingatkan dolan-dolan saya hampir 40 tahun silam ketika masih sering jalan-jalan keluar masuk desa di wilayah Yogyakarta.

Kesan pertama yang saya tangkap ketika masuk ke ketiga daerah itu adalah semua asri, ijo royo-royo, jalannya beraspal halus termasuk yang di desa-desa juga di lereng-lereng perbukitan:  baik di Pegunungan Sewu/Seribu (wilayah Gunungkidul) maupun Pegunungan Menoreh (Kulon Progo).

Pegunungan Seribu adalah nama untuk deretan pegunungan yang terbentang memanjang di sepanjang pantai selatan Kabupaten Gunungkidul (kawasan selatan-timur DIY),  Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), hingga Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur).
Sisi utara kawasan selatan-timur ini merupakan Pegunungan Baturagung yang batuannya berciri gunungapi, dan di tengah terdapat cekungan Wonosari yang cukup subur.

Sebagian Gunungkidul merupakan wilayah karst dengan batuan kapur. Oleh karena itu, wilayah ini dikenal tandus. Berbagai upaya penghijauan telah dilakukan di wilayah ini. Hasilnya, nyata. Sementara, Pegunungan Menoreh, membentang dari utara ke selatan di wilayah Kulon Progo.

Makam raja-raja di kawasan Imogiri, atau kawasan wisata di selatan imogiri seperti hutan Pinus Mangunan, Kebun buah Mangunan, Puncak Becici Mangunan, Gunung Api Purba seperti yang diceritakan Didi Kempot dalam lagunya Banyu Langit di Nglanggeran juga terletak dan termasuk dalam gugusan Pegunungan Seribu.

Tak ada perjalanan membosankan menyusuri daerah-daerah itu,  meski menempuh berpuluh kilometer. Ada pemandangan indah sepanjang perjalanan di wilayah Gunungkidul. Hutan jati eksotis, sengon berselang-seling dengan ladang jagung dan ketela pohon di atas keras batu, menjadi bukti kegigihan manusia-manusia Gunungkidul bersahabat dengan kerasnya alam.

***

Pantai Samas, Bantul (Foto: Trias Kuncahyono)

Kalau melihat indahnya pemandangan alam, mulusnya jalan-jalan, menjamurnya beraneka ragam warung makan (banyak juga rumah makan milik orang luar daerah itu, terutama dari Jakarta yang menyewa lahan, sawah), banyaknya minimarket serta toko-toko kebutuhan pokok, tersebarnya SPBU-SPBU mini, juga begitu banyaknya tempat-tempat wisata, memberikan petunjuk awal bahwa pemerintah hadir di tempat-tempat itu. Itu juga pertanda awal, masyarakat hidup aman tentrem, bisa mencari nafkah dengan tenang.

Saya katakan “petunjuk awal”, karena kehadiran pemerintah juga musti terwujud dalam berbagai pelayanan kemasyarakatan. Pemerintah memang harus hadir di tengah-tengah masyarakat bahkan sebelum masyarakat membutuhkan.

Kehadiran pemerintah atau negara tidak selalu identik dengan sesuatu yang fantastis. Namun, peran pemerintah harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga banyak anggota masyarakat yang benar–benar merasakan kehadiran negara, kehadiran pemerintah, bahkan sampai lingkup terkecil sekalipun.

***

Sate-tongseng (Foto: Trias Kuncahyono)

Dulu, menjadi warga Gunungkidul atau Bantul, juga Kulon Progo sering diejek. Mereka dianggap orang “ndeso.” Bahkan, dulu ada guru besar sosiologi yang mengatakan daerah Bantul tidak akan berkembang karena ibarat organ tubuh, Bantul itu “apendiks” atau “usus buntu”, ke Selatan “mentok” ke laut, ke Timur wilayah Gunungkidul yang juga miskin, ke Barat membujur Sungai Progo yang menjadi batas dengan Kulon Progo.

Dulu, untuk menggambarkan bahwa Bantul itu luar kota, sering disebut Kidul Negoro (Selatan Kota), maksudnya kota Yogya; juga bisa diartikan (dulu) sebelah selatan Negeri Mataram. Maka lalu ada candakan bernada mengejek “Dasar cah mBantul” (Dasar Anak mBantul); Dasar cah dul negoro”.

Meskipun Bantul adalah daerah subur. Bantul (juga sisi selatan Kulon Progo) adalah dataran fluvial yang merupakan hasil endapan berbagai jenis aliran air.

Ejekan serupa juga diberikan pada mereka yang berasal dari wilayah Gunungkidul. “Dasar cah Gunungkidul.” Itu dulu. Sekarang menjadi orang Gunung Kidul, bangga. Sebab, banyak yang bisa dibanggakan selain pantai-pantai indah, Gunungkidul juga dikenal karena mie jawanya: Mie Jawa Gunung Kidul.

Memang, sepanjang perjalanan, sambil menikmati indahnya alam, menyusup dalam ingatan akan masa lalu daerah-daerah yang saya lewati. Beberapa tahun silam, mungkin ceritanya sudah sayup-sayup terdengar atau malah sudah banyak yang tidak mendengar lagi, daerah-daerah itu terutama Gunungkidul dikenal sebagai  daerah kering, miskin.

***

Hamparan tanaman padi di Kenteng, Nanggulan, Kulon Progo (Foto: Trias Kuncahyono)

Yang saya lihat sepanjang menyusuri jalan-jalan di ketiga kabupaten itu, ibarat potret saja. Ya, namanya potret. Jadi sepotong saja yang tertangkap kamera; dilihat mata. Potret bisa seindah warna aslinya, juga bisa lebih indah dari warna aslinya, lebih buruk juga bisa.

Saya tidak tahu, apa yang ada di balik pemandangan yang indah dan menyejukkan itu. Apakah masyarakatnya hidup, rukun dan damai, toleran, saling menghormati, penuh tepa seliro, menjaga sopan santun, ngugemi,  kabudayan, menghindari konflik, juga ora neko-neko, tidak banyak tingkah, misalnya?

Apakah masyarakatnya masih, misalnya, ngugemi (memegang teguh) filosofi hidup seperti urip iki mung mampir ngombe (hidup itu hanya singgah sebentar untuk minum), manunggaling kawulo Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan, hamba dan tuannya) _sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan manusia), urip iku urup.  Ungkapan tersebut merupakan gagasan yang njawani, yang berasal dari jagad pemikiran orang Jawa, yang boleh dikatakan unsur inti dalam budaya Jawa.

Tidak bisa saya ingkari bahwa tetap ada rasa khawatir menyusup ke dalam hati. Ada pertanyaan kuat, apakah daerah-daerah yang saya lewati (juga daerah lain di Yogyakarta),  masyarakatnya “ketularan”, misalnya, virus tidak toleran, meninggalkan adat-budayanya seperti “sedikit” daerah lain di negeri ini. Apalagi, ada memang “catatan” sebagian kecil anggota masyarakatnya “ketularan” virus tidak toleran itu, dan cenderung menyingkirkan budaya tinggalan para leluhur.

Tetapi, Yogyakarta adalah istimewa. Karena antara lain memiliki kultur rembugan (dialog) baik bersifat formal maupun informal (misalnya angkringan). Kultur rembugan itu hingga kini masih kuat, meskipun terus “digempur” kultur lain yang masuk dari luar negeri. Kultur rembugan itu menjamin kohesivitas sosial masyarakat Yogyakarta dengan kekuatan-kekuatan budayanya.

Pada akhirnya, sambil terus menikmati  indahnya perjalanan,  masih tetap muncul harapan, semoga saja, hiruk-pikuk politik terutama tahun depan yang menunjukkan gelagat dimainkannya politik identitas, tidak merusak masyarakat; masyarakat di daerah-daerah, di desa-desa yang menjunjung tinggi toleransi, yang masih memegang teguh budaya hidup bersama saling hormat-menghormati, tidak seperti yang setiap akhir tahun terjadi muncul sikap-sikap intoleran.

Demikian juga, semoga racun intoleransi yang disebarkan sebagian kecil masyarakat negeri ini, juga tidak meracuni mereka. Dan, mereka masih tetap ingat memiliki budaya    adiluhung serta tetap ngugeminya dengan sepenuh hati, tidak digadaikan dan ditukar dengan budaya asing. ***

Kerajinan keramik di  Kasongan, Bantul

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
32
+1
14
Kredensial