Tanggal 2 Desember 2010, Qatar menulis sejarah. Bukan hanya sejarah Qatar, negara kecil di Teluk Parsia yang jumlah penduduknya hanya tiga juta jiwa—itupun mayoritas pekerja pendatang, bukan warga negara Qatar—tetapi juga sejarah Timur Tengah; sejarah Asia. Qatar menjadi negara kedua di Asia—setelah Jepang dan Korea Selatan pada tahun 2002—yang menjadi tuan rumah. Sejarah telah ditulis, historia scripta est.
Sepak bola semakin dirasakan tidak hanya sekadar permainan, yang hasil pertandingan mempengaruhi banyak pihak, termasuk memberikan keuntungan finansial. Tetapi. Sepak bola telah digunakan sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan hubungan negara, dan menyebarkan pengaruh hegemonik di mana pun permainan yang indah itu dimainkan.
Sepak bola bahkan telah membawa resolusi untuk konflik bersenjata ketika pada tahun 2006 faksi-faksi yang bertikai di Pantai Gading mengadakan negosiasi perdamaian setelah negara itu untuk pertama kali lolos dalam kualifikasi Piala Dunia. Selain itu, sepak bola juga membentuk geopolitik modern, seperti yang terbukti dengan keberhasilan Qatar pada tahun 2010 terpilih sebagai tempat pelaksanaan Piala Dunia 2022 ini.
Sejak saat itu, Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia setelah melalui pro dan kontra, menjadi pusat perhatian dan secara proaktif bekerja untuk menampilkan negara Teluk kecil itu kepada khalayak global. Kampanye besar-besar dilakukan Qatar; juga pembangunan stadion dan segala sarana-prasaran pendukungnya dilakukan secara massif. Qatar tak ragu-ragu merogoh kantongnya dalam-dalam demi suksesnya Piala Dunia.
“Soft Power”
Maka, Piala Dunia, digunakan oleh tuan rumah untuk menunjukkan diri pada dunia tentang kondisi dalam negeri dalam semua aspek. Dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar negara kecil seluas 11,586 km2 (luas Jawa Tengah, 32, 801 km2), ingin menampilkan diri berwajah sangat baik, tampan, cantik dalam segala hal.
Hal itu mudah dilakukan Qatar. Sebab, menurut laporan Global Finance (2 Agustus 2022), Qatar adalah negara Arab terkaya dan terkaya keempat skala global. Setelah Qatar diikuti UEA, Bahrain, Arab Saudi, Kuwait, dan Oman. Qatar bisa menggunakan kekayaannya itu untuk memoles diri.
Sumber daya minyak dan gas alam (LNG) Qatar adalah mesin ekonomi utama negara dan sumber pendapatan pemerintah. Ini mendorong pertumbuhan ekonomi Qatar tinggi dan tingkat pendapatan per kapita. Apalagi penduduknya hanya tiga juta jiwa.
Laporan Global Finance mengungkapkan, PDB per kapita warga negara Qatar lebih dari 143.222 dollar AS pada tahun 2014, setahun kemudian menjadi 97.846 dollar AS dan tahun 2021 tercatat 85.128, 22 dollar AS (menurut Bank Dunia, 61.276 dollar AS pada tahun 2021). Peringkat Qatar naik saat ekonominya pulih pasca-pandemi, yang oleh Bank Dunia digambarkan sebagai “perekonomian dengan pertumbuhan tercepat.”
PDB riil negara itu diperkirakan akan meningkat 4,9 persen tahun ini, diikuti oleh pertumbuhan 4,5 persen pada tahun 2023 dan 4,4 persen pada tahun 2024. Mengapa Qatar memiliki PDB per kapita tertinggi di kawasan ini? Sumber daya minyak dan gas alam (LNG) Qatar adalah mesin ekonomi utama negara dan sumber pendapatan pemerintah, mendorong pertumbuhan ekonomi Qatar yang tinggi dan tingkat pendapatan per kapita. Apalagi penduduknya hanya tiga juta jiwa.
Kapasitas produksi gas LNG tahunan Qatar adalah 77 juta metrik ton; dan ditargetkan pada tahun 2027 naik menjadi 126 juta ton. Pada tahun 2006, Qatar mengambil alih posisi Indonesia sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia. Pendapatan Qatar naik 58 persen pada tahun 2022, menyusul invasi Ukraina oleh Rusia. Karena banyak negara, Eropa—Italia, Jerman, dan Perancis—yang sebelumnya mengandalkan pasokan LNG dari Rusia, pindah ke Qatar. (The New Yorker, 3 Desember). Sebelumnya, Eropa menerima 40 persen pasokan gasnya dari Moskwa dan hampir sepertiga pengiriman melewati Ukraina.
Dengan semua itu, Qatar berani merogoh kantongnya dalam-dalam untuk membiayai pelaksanaan Piala Dunia. Tujuannya adalah memperoleh pengaruh internasional. Menurut The New Yorker, Piala Dunia menelan biaya lebih dari 200 milliar dollar AS (itu sekitar 60 kali lipat dari biaya turnamen 2010, di Afrika Selatan). Tetapi, biaya tersebut termasuk untuk membangun sistem metro, perpanjangan bandara, pembangunan jembatan, pulau buatan, pembelian jet tempur, pembangunan delapan stadion, dan hotel bintang lima.
Jadi untuk menjadi pemain yang lebih besar di komunitas internasional, Qatar menggunakan “diplomasi olahraga” (soft power: konsep yang diciptakan oleh Joseph Nye. Menurut Nye, tiga pilar soft power adalah nilai-nilai politik, kultur, dan kebijakan luar negeri. Strategi soft power menghindari alat kebijakan luar negeri tradisional carrot and stick, alih-alih mencari pengaruh dengan membangun jaringan, mengkomunikasikan narasi yang meyakinkan, menetapkan aturan internasional, dan memanfaatkan sumber daya yang membuat suatu negara secara alami menarik bagi dunia)—untuk meningkatkan pengaruh dan visibilitas negara mereka. Ada yang mengatakan, diplomasi olah raga mungkin lebih kuat sebagai sarana untuk memberikan pengaruh internasional dibanding yang lain.
Posisi Geopolitik
Qatar sangat sadar akan kondisinya; baik luas wilayahnya, jumlah penduduk, serta posisi geografisnya. Satu-satunya perbatasan daratnya adalah dengan Arab Saudi. Negeri yang terletak di Semenanjung Arab, di Teluk Persia atau Teluk Arab, berbatasan laut dengan Bahrain, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA). Qatar mengidap apa yang disebut sebagai “small state syndrome”, sindro negara kecil.
Pengalaman Kuwait yang diserbu Irak tahun 1990 “menghantui” Qatar sebagai negara kecil yang terletak antara Arab Saudi dan Iran. Kata Andreas Krieg, periset di School of Security Studies, King’s College London (The New Yorker), “Semua yang dilakukan Qatar muncul dari dilema keamanannya karena terjepit di antara dua kekuatan utama regional ini, Iran dan Arab Saudi, yang keduanya tidak dipercaya oleh warga Qatar.”
Maka Qatar tidak dapat memproyeksikan kekuatan dengan cara tradisional melalui “kekuatan keras” koersif. Tetapi, Qatar malah berusaha menyebarkan kebijakan dan pengaruhnya dengan cara yang lebih halus. Qatar memanfaatkan kehebatan ekonominya sebagai salah satu produsen minyak terbesar di dunia dan produsen gas alam cair terbesar, untuk memaksimalkan pengaruhnya baik dalam politik regional maupun di panggung global yang lebih luas.
Qatar melakukan hal itu dengan berperan sebagai mediator konflik, menjadi tuan rumah para pemimpin Hamas. Setelah Fatah dan Hamas yang berseteru, Qatar berusaha untuk menengahi diakhirinya. Qatar juga menengahi konflik di Chad, antara pemerintah militer Chad dan kelompok pemberontak.
Selain itu, Qatar juga memiliki hubungan yang luas dengan Ikhwanul Muslimin, tetapi juga membuka kantor perdagangan Israel pertama di Teluk selama Proses Kesepakatan Perdamaian Oslo pada 1990-an. Qatar mendirikan saluran satelit Al-Jazeera pada tahun 1996, yang sangat berperan ketika pecah Revolusi Musim Semi Arab; juga kerap menyiarkan pernyataan-pernyataan Osama bin Laden.
Ketika terjadi krisis diplomatik yang berujung pada pemutusan hubungan diplomatik dan blokade ekonomi, militer, dan politik dengan negara-negara tetangga—Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, lalu Mesir, kemudian disusul Maladewa—yang berlangsung 3,5 tahun (Juni 2017-Januari 2021), Qatar segera memalingkan pandangannya matanya keluar: Turki dan Iran; juga AS dana terus mencari banyak kawan.
Sebenarnya, ketegangan di antara mereka sudah mulai terjadi sejak gerakan pro-demokrasi Musim Semi Arab, yang didukung Doha, yang lain tidak. Menurut The New Yorker (3 Desember 2022), krisis bermula setelah Arab Saudi menuding Qatar mendanai dan melindungi kelompok oposisi Islam (masalah lama—Osama bin Laden adalah pengunjung Doha pada akhir tahun sembilan puluhan) dan aktivitasnya dari Al Jazeera.
Langkah isolasi terhadap Qatar telah mendorong negara itu untuk mengembangkan hubungan ekonomi dengan negara lain di kawasan, terutama Turki dan Iran. Qatar dan Turki menandatangani 15 perjanjian perdagangan dan kerja sama baru di sektor makanan dan konstruksi serta industri farmasi (Dailay Sabah, 2017). Hubungan diplomatik Qatar-Iran sudah dimulai sejak tahun 1975. Kedua negara menjalin hubungan ekonomi yang erat terutama di bidang industri minyak dan gas.
Semua itu telah mendorong Qatar sejak 2003, memberikan tempat pada lebih dari 10.000 personel militer AS di Pangkalan Udara Al Udeid, dua puluh mil tenggara Doha. Maret lalu, AS malah menjadikan Qatar sebagai sekutu utama non-NATO. Status yang sama diberikan AS pada Bahrain dan Kuwait. Pemberian status “sekutu utama non-NATO” tersebut menempatkan Qatar sebagai sekutu—bukan sekadar “sahabat”—regional , mitra strategis penting yang mimiliki signifikansi politik dan militer. Apalagi Qatar adalah negara yang membantu AS keluar dari Afganistan.
Pemberikan status tersebut diberikan ketika perang di Ukraina makin tak terkendali, sehingga mengganggu pasokan energi (gas) ke Eropa. Maka status baru itu, memberikan jaminan lebih kuat pada AS untuk kebutuhan energi, gas. Ini merupakan indikasi bahwa bukan hanya Qatar atau Teluk yang membutuhkan sekutu non-regional yang kuat. Tetapi, AS juga membutuhkan sekutu yang kuat di Teluk, terutama saat konflik baru muncul dan konflik lama berlanjut.
Status tuan rumah Piala Dunia, juga telah memberikan kepada Qatar kekuatan lunak (soft power) yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk meningkatkan kepentingan ekonominya dan menghidupkan kembali hubungan diplomatik yang terputus dengan tetangga terdekatnya. Tidak diragukan lagi bahwa Piala Dunia telah membantu pulihnya hubungan itu. Kesemua itu telah meningkatkan arti penting posisi geostrategik Qatar, selain keuntungan ekonomi. ***
Posisi Indonesia masih jauh ya untuk mendapatkan Soft Power?