Kemarin, saya diajak Haji Mohammad Nasir, jalan-jalan ke Pantai Indah Kapuk (PIK). Yakni, pantai reklamasi yang masuk wilayah Jakarya dan Banten. Sebenarnya, sudah lama Pak Haji, begitu saya biasa menyapanya mengajak jalan-jalan ke PIK, sambil promosi bahwa di PIK banyak tempat kuliner. Baru, kemarin kami ke PIK, akhirnya.
Sahabat saya ini, asli Lamongan, Jawa Timur. Sudah lama saya kenal dia. Kalau tidak salah, sejak tahun tahun 1984, ketika sama-sama mengawali merantau di Jakarta. Pak Haji dari Lamongan; saya dari Yogyakarta.
Bila ingat Lamongan, ingat pula soto, pecel lele, nasi boranan juga wingko babat. Tahun 2002, Lamongan menjadi omongan banyak orang gara-gara Bom Bali. Saat itu muncul nama Ali Imron dan Amrozi asal Lamongan.
Ada cerita panjang dan menarik tentang kawasan PIK yang sekarang menjadi tujuan wisata dan kuliner masyarakat Jakarta dan sekitarnya ini.
“Kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Teluknaga, Mas,” kata Pak Haji Nasir ketika kami berada di Pantai Pasir Putih (White Sand Beach). Ini pantai reklamasi yang pasirnya didatangkan khusus dari Bangka Belitung.
Di teluk inilah, dahulu, para pendatang dari China ke Pulau Jawa untuk berdagang. Mereka menaiki perahu yang disebut perahu naga. Maka teluk tempat perahu-perahu itu mendarat akhirnya diberi nama Teluknaga.
Kisah ini ditulis dalam kitab sejarah Sunda, Tina Layang Parahyang, atau Catatan dari Parahyangan. Para pendatang dari daratan China itu berdatangan sejak tahun 1407 atau awal anad ke-15.
Dalam kitab itu diceritakan, rombongan pertama pendatang dari China itu dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung, di muara Sungai Cisadane yang kemudian disebut Teluknaga (HIDUP NO.04 2020, 26 Januari 2020).
***
PIK menjadi seperti sekarang, setelah melewati jalan panjang. Kawasan ini mulai dibangun awal 1990-an. Saat pembangunan dimulai, masyarakat sudah mulai kritis terhadap isu-isu lingkungan.
Maka pembangunan PIK pun di pantai, rawa-rawa ketika itu, menjadi sorotan. Banyak pihak yang khawatir, pembangunan proyek yang berlokasi di kawasan rawa-rawa di pinggiran pantai itu bisa merusak lingkungan. Selain bisa mengganggu kelestarian hewan-hewan yang hidup di sana, para pakar lingkungan pun pada waktu itu mengingatkan proyek itu bisa menyebabkan banjir.
Proyek perumahan mewah itu dituding sebagai salah satu penyebab banjir di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Maka, sejak mulai dibangun, proyek ini sudah mengundang perdebatan sengit.
Tetapi, kalau kita di PIK sekarang, tak tercium bau-bau bahwa dulu pernah terjadi perdebatan soal pembangunan kawasan itu. Sama halnya, ketika kita sekarang ini mengunjungi TMII, tak terasa bahwa dulu ketika pembangunan TMII akan dimulai (1972) terjadi demonstrasi penolakan. Bahkan demonstrasi berdarah dan penangkapan para tokohnya.
Demikian pula, hiruk-pikuk pembangunan (1985) Waduk Kedung Ombo (Jawa Tengah) pun, mungkin sudah sayup-sayup bagi generasi sekarang atau malah tidak pernah mereka dengar. Padahal, kisah pembangunan Waduk Kedung Ombo, begitu menggetarkan hati dan jiwa.
Padahal, di sana ada teror, ada intimidasi, ada pemaksaan, ada penahanan, dan ada juga ketidakadilan. Sebanyak 37 desa di tujuh kecamatan–di Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali–ditenggelamkan. Akibatnya, 5.268 keluarga yang kehilangan rumah dan tanah terpaksa bertransmigrasi atau direlokasi ke daerah yang lebih tinggi.
Apalagi, “Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya, dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu. Bahkan, Presiden Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Waduk Kedung Ombo mengatakan dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,” tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001: 280).
Memang, Waduk Kedung Ombo sekarang sudah menjadi tempat wisata, sumber air untuk irigasi, ternak ikan, agrobisnis, dan PLTA. Pendek kata, sekarang sudah memberikan penghidupan. Namun di balik keindahannya, pembangunan waduk ini menyimpan ‘kisah tragis’.
***
Ada banyak peristiwa di masa lalu, baik yang menjadikan negeri ini indah, terang-benderang maupun hitam pekat, gelap-gulita. Semua itu adalah bagian dari sejarah perjalanan bangsa.
Kata orang, kita “tidak akan pernah bertemu fajar, bila tidak melewati malam.” Tetapi, zaman sekarang ini, malam tidak selalu gelap gulita. Listrik sudah ada di mana-mana. Bahkan, sudah masuk desa, ke seluruh pelosok Tanah Air, sehingga malam tidak lagi gelap gulita
Tetapi, sejarah mencatat semua peristiwa, baik yang hitam maupun yang putih; yang terang benderang maupun yang gelap gulita, termasuk yang temeram. Karena itu, kita harus selalu jujur melihat kembali sejarah kita sendiri, sejarah bangsa ini. Bahwa pernah terjadi ketidakadilan kepada sesama warga negara Indonesia di masa lalu, termasuk terhadap korban tragedi 1965, harus diakui. Semua itu, tidak bisa kita lupakan begitu saja.
Cerita tentang tragedi 1965, selalu muncul di bulan September, seperti sekarang ini dalam berbagai ragam kepentingan…. Tetapi, di Teluknaga kami tidak cerita tentang itu…kami menikmati suasana pantai…jauh dari kebisingan kota….
Kadang-kadang perlu menarik diri dari dunia ramai–seperti sekarang ini, yang begitu hiruk-pikuk, hingar-bingar, berebut berteriak paling lantang mencari perhatian–pergi ke tempat sunyi… ***
Pencerahan yang sangat menyegarkan. Ditulis dgn gaya bahasa yg baik dan benar. Sambung-menyambung dan weenak dibaca serta perlu (ee tagline Tempo tu). Suwun Maha Guru ias. Salam Sehat.
…yah, “bacalah yang perlu-perlu saja” hehe..terima kasih, Jufri
Referensinya kaya sekali Mas…. Dari soal PIK, kita diajak mengembara ke ranah sosial dan sejarah. Sangat bermanfaat…
Terima kasih, Mas Thy….yg saya cari data untuk bisa ndongeng…nuwun