MAEMUNAH DI BATUTULIS

Umi Maemunah di ruangan situs Batutulis (Foto: Trias Kuncahyono)

Saya bertemu Nenek Maemunah, di situs prasasti Batutulis, Sukasari, Bogor Selatan, beberapa waktu lalu,  ketika orang banyak lagi senang membicarakan bakal calon presiden.  Tapi, dengan Nenek Maemunah saya tidak ngobrol soal bakal calon presiden atau siapa nanti yang jadi pujaannya.

Umi, begitu ia biasa disapa, tengah duduk di emperen bangunan tempat prasasti.  Perempuan berusia 83 tahun itu, juru kunci situs prasasti Batutulis. Sudah 30 tahun ia menjadi juru kunci yang merupakan pekerjaan warisan dari orangtuanya.  Umi adalah generasi  kedelapan.

Melihat saya melangkah melewati pintu pagar selebar sekitar satu meter masuk ke kompleks prasasti, Umi segera berdiri. Uluk salam saya segera dijawab, “Walaikum salam,” lalu tersenyum.

Ini kali pertama, saya ke situs prasasti Batutulis. Padahal, tidak jauh dari Jakarta. Dan, tentang situs itu sudah saya dengar ceritanya sejak sekolah menengah pertama.

Selain terprovokasi berita pertemuan Jokowi dan Megawati, di Batutulis pada  hari Sabtu 8 Oktober 2022,  saya juga kepingin melihat prasasti itu. Saya masih ingat, tahun 2002, ada kehebohan di Batutulis.

Saat itu, Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar, mengatakan bermimpi didatangi seseorang. Orang dalam mimpi itu mengatakan di bawah tanah wilayah Batu Tulis terkubur harta karun peninggalan Prabu Siliwangi. Nilainya diperkirakan cukup untuk membayar utang negara.

Maka dimulailah penggalian tanah di wilayah itu. Inilah kisah perburuan harta karun yang tidak menemukan apa-apa, kecuali tanah dan batu, serta protes warga.

***

Situs Batutulis (Foto: Trias Kuncahyono)

Itu salah satu cerita dari Batutulis. Prasasti Batutulis adalah cerita yang panjang. Dalam Amarta (Vol. 29 No  1 Juni 2011), Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Hasan  Djafar  ahli epigrafi, menulis prasasti Batutulis ditemukan oleh ekspedisi VOC dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler, 25 Juni 1690.

Prasasti ini berangka tahun 1455 Çaka atau 1533 M. Dan dibuat pada masa Prabu Surawisesa untuk mengenang jasa-jasa Prebu Ratu. Ia adalah Raja yang dinobatkan dengan gelar Prebu Guru Dewata Prana, yang kemudian dikenal dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Sri Baduga dianggap berjasa dalam bidang pembangunan, yakni membuat parit pertahanan sekeliling kota Pakuan-Pajajaran, membangun monumen peringatan berupa gegunungan, membuat jalan yang diurug dengan batu, membuat hutan larangan (samida), dan membuat sebuah telaga yakni Telaga Warna Mahawijaya.

Memang hanya pemimpin yang berjasa pada negara, nusa dan bangsa sajalah yang pantas dikenang dan diabadikan. Bung Karno dan Bung Hatta, dikenang dan dihormati dengan dibuatkan patung antara lain di Monumen Proklamasi. Demikian Panglima Besar Jenderal Sudirman dibuatkan patung di Jalan Jenderal Sudirman.

Banyak pemimpin atau sekurang-kurangnya, ada pemimpin yang ingin dikenang rakyat atau warganya. Lalu, melakukan berbagai hal, untuk membuat dirinya dianggap hebat dan memang merasa hebat. Padahal, ya biasa saja atau malah jauh dari biasa.

Menjadi pemimpin sejati, memang tidak mudah. Tidak setiap pemimpin adalah pemimpin sejati. Kata para cerdik pandai arif bijaksana, untuk menjadi pemimpin yang baik, seseorang harus terlebih dahulu dapat memimpin dan mengatur dirinya sendiri.

Untuk sampai ke kemampuan dapat memimpin dan mengatur diri sendiri, dibutuhkan kerendahan hati. Kerendahan hati merupakan pondasi dari kehidupan spiritual seseorang. Tanpa kerendahan hati, tidak mungkin seseorang bertumbuh secara spiritual dan tidak mungkin seseorang dapat menjadi seorang pemimpin sejati.

Kerendahan hati berarti memahami bahwa diri sendiri bukan apa-apa dan Tuhan adalah segalanya. Ini membuat seorang pemimpin dapat mengerti kondisi orang yang dipimpinnya tanpa kehilangan visi dan keberanian untuk mengerjakan hal-hal besar, karena menyadari bahwa Tuhan dapat memberikan dirinya kemampuan untuk melakukan hal-hal besar.

***

Di seberang situs Batutulis, yang menjadi penanda pemimpin sejati, berada kompleks Istana Batutulis. Kompleks istana berhalaman rumput luas itu terlihat begitu nyaman, tenang. Sempat saya longok dari balik pintu gerbang yang ditutup rapat dan dikunci: kompleks itu rindang oleh pohon-pohon yang tumbuh subur. Rumput hijau. Pasti udaranya pun  segar.

Saya dengar kicau burung kutilang, trocokan,  derkuku, dan perkutut yang saling bersautan. Mereka seperti membicarakan ketenangan kompleks istana itu. Burung-burung itu, senang hidup di alam bebas. Mereka beterbangan dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting pohon di taman dan halaman istana.

Dalam hati, saya membatin, “Di dalam istana yang sejuk, tenang, penuh kedamaian itu dulu calon pemimpin negeri ini dibicarakan serta diputuskan dengan ketenangan hati dan pikiran.”

Bukankah, pada 15 Mei 2009, di istana itu Megawati dan Prabowo sepakat untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2009-2014. Lalu, 20 Februari 2018, di Istana Batutulis Megawati bertemu Presiden Jokowi.

Tiga hari kemudian, 23 Februari 2018, PDI-P mendeklarasikan Presiden Jokowi sebagai calon presiden RI 2019-2024. Sebelumnya, di istana itu pula dulu Ibu Mega mempersiapkan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta.

Apakah calon pemimpin masa depan juga dibahas di istana yang adem, ayem, dan _tentrem itu? Suasana seperti itu akan memunculkan seorang pemimpin yang mampu membuat negeri ini ayem, tentrem, aman dan damai yang warganya saling hormat menghormati tanpa mempedulikan latar-belakangnya, tanpa mempersoalkan perbedaannya; yang nantinya setelah berkuasa tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya; yang bisa bekerja dengan baik untuk memakmurkan, mensejahterakan rakyatnya, dan tidak hanya bicara saja. Rakyat tidak butuh pemimpin yang pandai bicara tapi tak pandai bekerja.

Saya tidak tahu. Tapi berharap. Berharap, pemimpin negeri ini, yang akan dipilih tahun 2024 adalah orang yang benar-benar menyadari dan memahami bahwa Indonesia ini negeri majemuk dalam segala hal; bahwa kemajemukan itu kekuatan, keunggulan Indonesia; bahwa tanpa kemajemukan bukanlah Indonesia.

Maka calon pemimpin negeri ini, semestinya berani menolak ide-ide, gagasan-gagasan, bisikan-bisikan, pesan-pesan, desakan-desakan yang ingin membuang kemajemukan, yang ingin mengunggulkan dan mementingkan kelompoknya sendiri, yang ingin memecahkan belah kebersatuan dalam perbedaan di negeri ini.

***


Umi hanya tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika saya tanya: Siapa menurut penerawangan mata batin Umi yang akan memimpin negeri ini di masa depan?

Saya memang hanya sekadar bertanya kepada penjaga dan perawat situs yang terletak di seberang kompleks Istana Batutulis itu. Saya tidak mengharapkan jawaban Umi.

Walaupun mungkin, Umi sudah mendengar berita bahwa sekarang ini, sudah ada yang terang-terangan ingin menjadi pemimpin utama; ada yang masih malu-malu; ada yang terpaksa menahan diri; ada pula yang tahu diri. Umi juga tidak bercerita, siapa pemimpin atau tokoh masyarakat yang sudah mendatangi situs Batutulis untuk ngalap berkah, mendapatkan berkah.

Umi tak perlu menjawab pertanyaan saya. Sebab, takdir sejarah pada akhirnya akan mengungkapkan siapa yang akan memimpin negeri ini. Dalam jagad raya, tidak ada satu pun yang bisa luput dari keberlakuan mutlak hukum alam ini: apakah itu takdir atau itu providentia Dei penyelenggaraan Ilahi. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
40
+1
8
Kredensial