KEMBALI TITIK NOL

    Sekitar Titik Nol Kilometer (Foto: Trias Kuncahyono)

Sambil menyaksikan sejumlah ibu yang dengan penuh semangat dan gembira senam cha cha cha di pedestrian depan Benteng Vredeburg,  saya nikmati udara Yogya pagi itu. Di bangku kayu di depan Istana Gedung Agung, saya duduk.

Saya tatap Benteng Vredeburg bercat putih yang begitu kokoh itu. Enam umbul-umbul merah putih dipasang di depan pintu gerbangnya. Benteng ini  adalah salah satu bangunan yang menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa bersejarah  di Yogyakarta semenjak pemerintah kolonial Belanda masuk ke Yogyakarta, hingga zaman kemerdekaan.

Mulai dibangun tahun 1760 dan selesai, 1878, benteng kompeni ini semula oleh Gubernur Johannes diberi nama Rustenburgh,  “tempat istirahat”. Tapi, setelah renovasi akibat gempa 1867,  oleh Daendels diberi nama benteng Vredeburg ,   “perdamaian”.

Benteng Vredeburg (Foto: Trias Kuncahyono)

Di belakang saya, berdiri megah Gedung Agung, Istana Kepresidenan Yogyakarta. Ada banyak cerita dari gedung itu. Kata Kementerian Sekretariat Negara, gedung ini dibangun oleh residen ke-18 di Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert.

Pembangunan dimulai pada tahun 1824. Tetapi, karena pada tahun 1825-1830, pecah Perang Diponegoro atau Perang Jawa, pembangunan terhenti; dimulai lagi pada tahun 1832.

Pada tanggal 10 Juni 1867, di Yogyakarta, terjadi  gempa bumi dua kali pada hari yang sama. Akibat gempa, gedung yang saat itu didiami residen, ambruk. Lalu, dibangun kembali dan baru selesai pada tahun 1869.

Di zaman kemerdekaan, pada  6 Januari 1946, ketika Yogyakart resmi menjadi ibu kota baru Republik Indonesia, gedung itu dijadikan  sebagai Istana Kepresidenan. Di  sinilah Presiden Soekarno beserta keluarga, tinggal.

Di  pedestrian di depan gedung yang dulu bernama Senisono dua-puluhan pramugari sebuah perusahaan penerbangan berfoto-foto menikmati wilayah sekitar Titik Nol Kilometer yang masih sepi lalu lintasnya. Senisono, adalah sebuah nama gedung di sisi selatan kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta yang kini difungsikan sebagai museum.

Ngejaman (Foto: Trias Kuncahyono)

Sejarah mengisahkan, dahulu gedung yang dibangun pemerintah kolonial Belanda pada tahun  1822 atas prakarsa Luitnant De Terria, diberi nams Gedung Societeit de Vereeniging Djogdjakarta. Masyarakat Yogya kala itu menyebutnya sebagai Gedung Jenewer (tempat “wong-wong Londo” minum-minum minuman keras dan dansa-dansi). Juga disebut Kamar Bola (billyard) karena digunakan sebagai pusat hiburan bagi masyarakat sipil dan militer Belanda.  Disebut juga Gedung Mataram.

Masih banyak bangunan bersejarah di sekitar kawasan Titik Nol Kilometer. Yakni titik pertemuan antara Jalan Malioboro (dari utara), Jalan Pangurakan (dari selatan), Jalan KH Ahmad Dahlan (dari barat), dan Jalan P Senopati (dari timur). Dulu, dari tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, di tempat itu ada air mancurnya. Maka sering disebut perempatan air mancur; disebut pula perempatan kantor pos.

Ada bangunan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Dulu, pada zaman Kolonial Belanda, juga digunakan sebagai Post, Telegraaf en Telefoon Kantoor kantor pos, telegraf, dan telepon). Ada Di gedung Bank BNI, berdiri Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Dahulu dipergunakan sebagai kantor de Indische Bank.

Ada pula Monumen Serangan Umum 1 Maret yang berada tepat di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada tanggal 1 Maret 1949

***

Tugu Golong-gilig (Foto: Abishai Sahadeva)

Sekitar dua meteran dari tempat saya duduk, membujur jalan dari utara ke selatan; dari Tugu Golong-gilig (Pal Putih) sampai Keraton. Inilah yang disebut sumbu imajiner, Sumbu Filosofi Yogyakarta dengan Keraton sebagai titik pusatnya. Dari Keraton ke selatan ditarik jalan hingga Panggung Krapyak.

Dari tiga titik ini–Panggung Krapyak (sisi selatan), Keraton (tengah) hingga Tugu Golong-gilig (sisi utara)–apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta (visitingjogja.jogjaprov.go.id). Yang bila ditarik ke utara sampai Gunung Merapi, ke selatan sampai Segoro Kidul (Laut Selatan).

Kata para winasis, secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah), manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam.Saya membayangkan bagaimana dulu Sultan Hamengku Buwono I (yang lengkapnya Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah), merancang dan membangun kota ini serta  yang menjadi pusat kerajaannya, pada tahun 1755. Bagaimana pula Sultan HB I, meletakan kota yang dibangunnya di atas filosofi sarat makna.

Pusat kota Yogyakarta, misalnya, ditata dengan dasar filosofis yang dikenal dengan istilah Sumbu Imajiner. Dirancang dengan konsep siklus kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi, sumbu kasat mata ini terbentang membentuk garis lurus yang mengubungkan Laut Selatan (Samudera Hindia) di selatan Yogyakarta dengan Gunung Merapi di utara.

Laut Selatan sebagai simbol air dan Gunung Merapi sebagai simbol api. Keduanya melambangkan keseimbangan. Sumbu tersebut juga melewati komponen-komponen penting bagi kesultanan dan masyarakat Yogyakarta, seperti Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih yang memiliki filosofinya masing-masing (roren.kemdikbud.go.id)

***

Alun-alun Utara (Foto: Trias Kuncahyono)

Sambil tetap duduk di kursi kayu di depan Gedung Agung, saya membayangkan sejarah Yogya dengan filosofinya yang hebat itu. Misalnya, jalur dari Tugu Pal Putih ke Keraton dibagi menjadi tiga bagian yang melambangkan cara untuk mencapai kesejahteraan dalam kehidupan manusia.

Dari utara ke selatan, bagian-bagian ini merepresentasikan jalur untuk mencapai keutamaan (margotomo), kehidupan yang tercerahkan (malioboro), dan martabat (margamulyo).

Ketika berada di kawasan Titik Nol itu, saya juga mengangankan masyarakat Yogya–semuanya tanpa membeda-bedakan asli atau pendatang, apa pun suku dan etnisnya, apa pun agamanya, dan segala macam latar-belakangnya–mau kembali ke Titik Nol. Kembali ke jatidiri masyarakat Yogyakarta: yang berbudaya adiluhung, sopan dan santun, bertatakrama, toleran, gotong-royong, bersemangat belarasa, ramah, pemaaf, rendah hati, dan peduli.

Belakangan ini, memang, terasa ada sebagian anggota masyarakat yang mulai menjauhi Titik Nol; menjauhi jatidiri sebagai wong Yogya. Meninggalkan budaya asli yang adiluhung dan mengagung-agungkan budaya mancanegara yang tidak sejalan dengan budaya asli, sehingga lupa bahwa Yogyakarta adalah Indonesia Mini, yang majemuk dalam segala hal.

Karena itu, sebagai wong Yogya—mulai dari para priyayi dari yang tertinggi sampai terendah, politisi, pedagang, ulama, hingga wong cilik dalam beragam profesi–yang sesungguhnya, semestinya semangat kebersamaan dalam perbedaan sudah menyatu dalam dirinya.

Berbeda bukan berarti bermusuhan. Perbedaan memang tak bisa disamakan tetapi bukan berarti akan memecah-belah masyarakat,  bangsa atau membuat yang berbeda saling bermusuhan. Biarlah yang berbeda tetap berbeda, tidak perlu disamakan, diseragamkan. Mari kita rayakan perbedaan dengan semangat kebersamaan wong Yogya.

Manusia itu memisah-misahkan. Allah mempersatukan. Manusia yang beriman dan percaya pada Allah mestinya semakin berwatak ilahi dan mencari jalan untuk membangun persatuan dan bukannya malah mencari-cari alasan, dalih untuk memecah-belah dan memaksakan kehendak dengan segala macam cara. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
1
+1
27
+1
10
Kredensial