
Saya berdiri termangu di tengah pertigaan jalan, di bawah terik matahari musim panas, di Roma. Biasanya, persimpangan jalan, menyodorkan sebuah pilihan: belok kanan atau belok kiri atau lurus; jalur kanan atau jalur kiri atau jalur tengah.
Mengambil sebuah pilihan, mengandung konsekuensi: entah benar atau salah, entah untung atau buntung. Tapi, yang pasti, keliru menentukan pilihan akan berakibat pada langkah selanjutnya dan pada akhirnya pada hasil.
Sebenarnya, kebingungan untuk memilih itu tak perlu terjadi bila sedari awal sudah menentukan pilihan; bila sejak awal sudah punya tekad; bila dari semula sudah punya prinsip jelas dan tegas berdasarkan suara hati nurani.
Di tempat saya berdiri siang itu, ketika sengatan sinar mentari begitu kuat menyentuh kulit, hampir 2000 tahun silam Rasul Santo Petrus, termangu-mangu, gundah gulana, karena dicengkeram ketakutan. Padahal, ia manusia pilihan: Rasul!
Tetapi, ia tetaplah manusia yang lemah, rendah, terbatas. Meskipun mempunyai akal budi, hati nurani dan kehendak bebas yang membedakannya dengan ciptaan Allah yang lain. Bahkan, manusia disebut sebagai imago Dei, citra Allah.
Maka Petrus yang disebut sebagai “batu karang” itu, tetaplah manusia yang memiliki rasa takut, kecil hati, tak berdaya, mau cari selamat. Ia kehilangan keteguhan hatinya ketika menghadapi seorang penguasa yang kejam, sadis, dan menghalalkan segala cara untuk nafsu kuasanya.
***

Kaisar Nero, penguasa Roma saat itu memang sangat kejam. Kaisar yang naman lengkapnya Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus (37 – 68/berkuasa, 54 – 68) dikenal sebagai seorang psikopat, diktator, dan gila kekuasaan.
Nero yang nama aslinya Lucius Domitius Ahenobarbus anak Gnaeus Domitius Ahenobarbus and Agrippina the Younger. Keduanya adalah cucu Kaisar Augustus. Ia berusia tiga tahun ketika ayahnya meninggal; lalu saat berusia enam tahun diasuh bibinya.
Nasib Lucius (Nero) berubah ketika Claudius menjadi kaisar. Karena Kaisar Claudius memperistri Agrippina, ibu Lucius dan mengangkatnya menjadi anaknya. Saat itulah Lucius Domitius Ahenobarbus mengganti namanya menjadi Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus.
Di zaman itu, adalah biasa seseorang berganti nama bila diangkat anak. Ia akan memakai nama keluarga baru. Dan, Nero adalah nama yang umum dipakai dalam Marga Claudian, terutama keluarga Claudius.
Dan sejak itu, nasib baik berpihak pada Nero. Pada tahun 54 M, Kaisar Claudius meninggal. Nero yang baru berusia 17 tahun kurang dua bulan diangkat menjadi kaisar. Senat dan tentara menyetujui dan mendukungnya. Agrippina, ibunya, bertindak sebagai penasihat dan memiliki pengaruh yang sangat kuat.
Namun, setelah mencecap dan meminum madu kekuasaan, Nero merasakan nikmatnya kekuasaan itu. Maka ia ingin menggenggam seluruh kekuasaan yang ada di Kekaisaran Romawi, tanpa sisa. Semua mau dicecapnya, diminumnya, dan dimakannya atau sekurang-kurang ada dalam genggaman tangannya.
Semua orang yang ingin ikut merasakan 0kekuasaan, atau merecokinya, dan dipandang akan membahayakan dirinya, disingkirkan. Bahkan, dia diduga membunuh ibunya sendiri, Agrippina dan dua istrinya.
Kata Francesca Bologna (2021), Nero Project Curator British Museum, kaisar kelima Romawi ini, sangat kejam. Ia juga dicatat suka pesta pora, mabuk-mabukan. Ia memerintah pada saat terjadi perubahan sosial dan politik yang besar.
Di zaman itu, persekusi terhadap umat Kristen awal, terjadi. Mereka ditangkapi, dijadikan makanan anjing, disalib, dan dibakar hidup-hidup (hukuman tradisional untuk pembakaran) untuk dijadikan obor hidup di malam hari (Tacitus, XV.44).
Di zaman ini, Roma terbakar, 18 Juli 64. Nero menuduh orang-orang Kristen yang membakarnya. Meskipun, masyarakat Roma saat itu percaya bahwa Nero sendirilah yang membakar Roma (Dio, LXII.17.18.3; Pliny, Natural History, XVII.1).
***

Melihat semua itu, Petrus ciut hatinya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Roma. Dan, akan berkarya di tempat lain. Maka, malam-malam, pergilah Petrus meninggalkan kota melewati Porta Appia (kini dikenal dengan nama Pintu Gerbang San Sebastiano, juga Porta Domine Quo Vadis), di Tembok Aurelian.
Begitu keluar pintu gerbang, Petrus terus menyusuri Via Appia. Ini jalan yang menghubungkan Roma dengan Brindisi, sebuah pelabuhan di tepi Laut Adriatik, di Italia selatan. Jalan sepanjang sekitar 579 km itu dibangun mulai tahun 312 hingga 264 SM, untuk keperluan militer.
Karena panjangnya, jalan yang hingga saat ini masih terawat dan bisa dilalui itu disebut Appia longarum….regina viarum (The Appian Way …the queen of the long road).
Ketika baru berjalan kurang dari satu kilometer dari Porta Appia, dengan pikiran dan hati yang gundah, Petrus tertegun melihat lelaki yang berjalan ke arahnya. Ia merasa mengenal lelaki itu. Tapi, apakah benar? Apakah matanya tidak salah lihat.
“Domine, Quo vadis?” tanya Petrus pada lelaki yang dikenalnya itu. Tuhan (Tuan), akan pergi ke mana?
Lelaki itu menjawab, “Romam eo iterum crucifigī,” Saya akan ke Roma untuk disalib lagi. Setelah mengatakan itu, lelaki itu lenyap dari pandangan mata Petrus. Ia baru sadar, terbuka mata hatinya bahwa lelaki itu Yesus. Ia sadar bahwa telah ditegur Yesus karena takut, karena berkecil hati, karena tidak percaya, karena melepaskan tanggung jawab dan mencari selamat sendiri.
Saat itu juga, Petrus balik kanan kembali ke Roma dengan penuh keyakinan dan keberanian. Ia tidak takut menghadapi Nero yang sangat berkuasa, kejam, bengis, dan mata gelap. Karena, berdiri membela kebenaran.
Tapi bagi Nero, kebenaran itu tidak perlu. Yang paling penting baginya adalah kekuasaan. Sebab, kekuasaanlah yang membentuk kebenaran. Kekuasaanlah yang menentukan benar atau salah. Yang benar, bisa dikatakan salah. Dan, yang salah, bisa juga dikatakan benar. Yang putih bisa dibilang hitam, yang hitam tidak terlepas kemungkinan dapat dikatakan putih.
Pendek kata, Rex non potest peccare, the king can do no wrong, raja tidak dapat salah. Frasa ini, mewakili konsep hak ilahi para raja. Hal ini menunjukkan bahwa raja memperoleh otoritas yang dimilikinya langsung dari kekuasaan yang lebih tinggi. Kuasa Langit. Oleh karena itu, tindakan mereka pada dasarnya adalah benar dan tidak tercela.
Ide ini secara historis digunakan untuk memberikan pembenaran pemerintahan absolut. Hal tersebut mencegah oposisi atau pemberontakan terhadap penguasa. Prinsip ini berkembang menjadi doktrin imunitas kedaulatan atau disebut juga imunitas pemerintah. Gagasan di balik prinsip ini adalah bahwa raja atau penguasa, tidak boleh melakukan kesalahan hukum. Ini antara lain berlaku di AS.
Tentang kuasa langit ini pun ada dalam konsep kekuasaan Jawa. Menurut Soemarsid Moertono dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI – XIX (2017), konsep kekuasaan di Jawa ialah magis-religius. Konsep ini memiliki peranan yang menentukan tidak semata membenarkan dan memperkokoh kuasa raja, tetapi juga sekaligus menjelaskan posisi orang yang memerintah dan yang diperintah (Indonesia.go.id).
Kerajaan-kerajaan di Jawa sejak dahulu kala memiliki konsepsi raja dewa atau ratu-binanthara, yang disinyalir berasal dari tradisi India khususnya Hindu. Adanya konsepsi “tidak ada matahari kembar” dalam tradisi kuasa di Jawa membuat posisi raja nisbi satu-satunya pribadi yang berada pada posisi sentrum dan sekaligus puncak hirarki sosial. Ini setidaknya tercermin dari nama-nama raja Mataram, dari Amangkurat, Pakubuwana, Hamengkubuwana, Paku Alam, hingga Mangkunegara.
***

Nero menangkap Petrus. Apakah itu tindakan benar? Menurut prinsip kekuasaan Nero, tindakan itu benar. Karena Petrus dianggap bertanggung jawab atas jemaatnya yang membakar Roma.
Setelah ditangkap, Petrus dihukum mati, dengan cara disalib. Petrus minta disalib dengan kepala di bawah. Karena merasa tidak pantas disalib seperti Yesus. Ia disalib di Bukit Vatikan, sekitar tempat yang sekarang bernama Lapangan Santo Petrus.
Peristiwa itu, sudah hampir 2000 tahun berlalu. Tapi, pertanyaan, “Quo vadis“, masih tetap hidup. Dan kini digunakan untuk mempertanyakan “suatu keadaan” yang dirasakan tidak menentu.
Di depan saya berdiri, ada tiga arah jalan: yang paling kiri, Via Appia Antiqa sampai ke Brindisi, lurus masuk ke kompleks Katakombe San Sebastian, dan paling kanan Via Ardeatina, menuju ke Ardea, 39 km dari Roma. Di sebelah kiri saya, berdiri Gereja kecil Domine Quo Vadis, yang resminya bernama Santa Maria delle Piante (St Mary of the Soles of the Feet).
Dan, di tengah jalan simpang itu, serasa terdengar bisikan lirih, Domine, Quo vadis? Tuhan, mau kemana? Quo Vadis, Domine? Mau ke mana, Tuan? Quo Vadis?***
Foto-foto lain:
Jejak kaki Quo Vadis
Altar gereja
Pintu Gerbang Pintu Gerbang San Sebastiano
Via Ardeatina menuju ke Ardea pecahan dari Via Appia
Via Appia, jalan yang menghubungkan Roma ke Brindisi, sejauh 579 km.
Cerita menarik Pak Dubes Trias. Kita semua bisa belajar dari tingkah laku dan kebijakan penguasa dari jaman dulu. Semoga weekend Pak Dubes berlangsung dengan tenang dan damai. 👍🙏
Maaf, Pak Dubes…baru sempat baca dan menjawab WA…terima kasih bayak..Salam sehat
Saya beruntung dapat mempunyai artikel ini. Terima kasih mas Ias
Mas Titing, saya juga senang…Mas Titing rela meluangkan waktu untuk membacanya..Salam
Matur nuwun pak Dubes cerita tentang St. Petrus yang secara manusiawi punya rasa takut dan barangkali krisis dan kemudian diteguhkan oleh Yesus. Kita sebagai murid Yesus juga sering menghadapi problem yang sama, tetapi sering tidak peka terhadap teguran Yesus karena Yesus tidak hadir secara fisik, tetapi dalam wujud tanda-tanda yang sulit kita kenali.
Mas Barsono, terima kasih..sudah meluangkan waktu untuk membacanya…ya, semoga cerita Santo Petrus ini ada gunanya…Salam
Terima kasih p Trias. Saya jadi ingat film Quo Vadis, tahun ’50an. Petrus mewakili kita semua, dimana pada awal sudah menentukan pilihan, tetapi ditengah perjalanan goyah menghadapi kesulitan, tantangan. Yang diperlukan adalah teguhnya komitmen, seperti Petrus yang drngan mantap kembali ke Roma lagi.
Ya, Pak..sepakat…komitmen adalah sangat penting…Salam..nuwun
Terima kasih p Trias. Saya jadi ingat film Quo Vadis, tahun ’50an. Petrus mewakili kita semua, dimana pada awal sudah menentukan pilihan, tetapi ditengah perjalanan goyah menghadapi kesulitan, tantangan. Yang diperlukan adalah teguhnya komitmen, seperti Petrus yang dengan mantap kembali ke Roma lagi.
Matur nuwun pak Dubes. Sejarah tampaknya berulang krn penguasa tidak pernah belajar sejarah, sibuk cari kuasa dan cuan.
Salam Kredensial
Historia magistra vitae…tapi, kita cenderung tidak peduli…Salam
“Aku akan pergi ke Roma untuk disalibkan kembali”, dmk jawaban Yesus atas “Quo Vadis Domine” dari St. Petrus.
Jawaban ini menjadi titik-balik bagi St.Petrus dan relevansinya besar sekali bagi kita hari ini. Itu membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang salib dan pengorbanan- Nya, yaitu: penebusan dosa, manifestasi tertinggi Kasih, kmd- tentu ini bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari Kemenangan- Nya atas maut yaitu … jalan menuju Kebangkitan dan Hidup Kekal bagi semua orang yang percaya kepada- Nya.
Mekaten njiiih, syalom selalu mas Trias.
Wo, terima kasih banyak Senior…sepakat sekali…Salam
satu lagi yaaa, … mudah-mudahan saja, apa yang dialami St. Petrus bisa mengingatkan para pemegang kuasa dan cuan, agar tidak meniru apa yang pernah dilakukan oleh Nero Caesar dua milenium silam, he hee
Amin…amin…amin….
“Domine, quo vadis?” “Aku akan ke Roma untuk disalibkan lagi.” Petrus pun bergegas kembali ke Roma untuk disalibkan secara terbalik. Mungkin saat itu Petrus teringat Sabda Yesus: “Sangkallah dirimu, pikullah salibmu setiap hari dan ikutilah Aku.”
Seandainya pertanyaan itu ditujukan pada kita, apa tanggapan kita? Mungkinkah kita bergegas mengikuti-Nya sambil memikul salib kita yang jauh lebih kecil?
Salib itu adalah berani menyangkal ketidakadilan diri, seperti kecenderungan mau enak sendiri dan pemujaan pada berhala harta, kuasa dan “wanita” yang membuahkan rentetan dosa lanjutan yang parah seperti yang dilakukan Nero.
Wow…terima kasih banyak Mas Andi…Salam
“Domine, Quo Vadis?” “Aku akan ke Roma untuk disalibkan lagi.” Petrus pun bergegas memanggul salibnya memasuki Roma untuk disalibkan secara terbalik. Mungkin saat itu Petrus teringat Sabda Tuhan: “Sangkallah dirimu, pikullah salibmu setiap hari dan ikutilah Aku.”
Kalau pertanyaan serupa ditujukan kepada kita, apa yang akan kita perbuat? Mungkinkah kita berani memanggul salib kita yang jauh lebih kecil dan mengikuti-Nya? Salib itu adalah ketidakadilan dalam diri yang harus kita sangkal, seperti kecenderungan mau enak sendiri, merendahkan orang lain, serta pemujaan pada berhala harta, kuasa dan “wanita”, yang membuahkan rentetan dosa lanjutan seperti yang dilakukan Nero.
Luar biasa Pandito ias menulis sejarah agama yang menyegarkan dan sangat relevan. Sukses selalu Pandito.
Siap, Jufri….ini pelajaran hidup yang berlaku untuk semua manusia…komitmen…