TONGSENG SULTAN


Kemarin, saya diundang makan siang sahabat lama, senior sekaligus guru saya: Ninok Leksono. Mas Ninok, begitu saya menyapanya, sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Media Nusantara (UMN). Jabatan itu sudah dipercayakan padanya sejak 13 tahun silam.

Selama bertahun-tahun, kami bekerja di tempat yang sama: Kompas. Dulu, hampir tiap hari kami berdiskusi; membahas berbagai hal, berbagai isu– baik itu nasional maupun internasional–tentang media, juga SDM.

Saya paling suka kalau Mas Ninok sudah bicara soal teknologi, persenjataan militer, dan juga astronomi. Ia sangat ahli dalam bidang itu. Tentu, juga tentang masalah-masalah strategis yang memang merupakan keahliannya.

Sambil menikmati (yang populer disebut “tongseng sultan”) yang enak dan lezat di sebuah rumah makan kawasan Senayan, kami mengenang masa-masa lalu ketika masih sekantor.

Pelan-pelan kami nikmati bone marrow & beef tongue “tongseng” (yang populer disebut tongseng  sultan). Tongseng lidah dan sungsum yang kuahnya agak kental ini betul-betul rasa lezatnya nempel di lidah. Sambil ngobrol ngalor-ngidul seperti dulu, kami mengunyah daging lidah yang begitu empuk itu.

Namanya saja ngobrol, maka tidak ada fokus. Kami ngobrol banyak hal, termasuk pentas di panggung politik yang saat ini sudah mulai ramai, seperti pentas di pasar malam. Kami juga nyinggung para aktornya. Bukankah bicara panggung politik tanpa sekaligus aktornya tentu nggak seru, ibarat laut tanpa ombak.

***

Tiga capres (Foto: Istimewa)

Ngobrolin pentas–entah itu drama, dagelan, atau ludruk, atau tontonan lainnya–di panggung politik, memang selalu seru. Apalagi panggung politik sekarang ini, ketika pertarungan untuk memperebutkan kursi Indonesia Satu semakin jelas; terutama setelah para aktor utamanya muncul.

Saat ini, penonton disuguhi pentas, tontonan yang menarik. Silahturahim-silaturahim Lebaran tapi bernuansa politik, pertemuan-pertemuan empat mata atau bahkan banyak mata, dan pertemuan-pertemuan rahasia yang diketahui umum, banyak dilakukan oleh para aktor, para pemain, para sutradara, para figuran, para produser.

Berbagai pernyataan dukungan, kebulatan tekad, ijitima, ungkapan sikap yang dilakukan berbagai kelompok entah itu kelompok arisan, alumni, teman sehobi, kawan sepermainan, partai politik, tokoh-tokoh dan elite masyarakat, organisasi-organisasi kemasyarakatan bermunculan. Intinya mendukung seorang aktor utama dengan segala macam bumbu-bumbu kehebatannya.

Para penonton, rakyat, sudah paham siapa yang memang betul-betul hebat; siapa  yang dibuat seperti hebat; siapa yang tampil seperti aktor hebat; siapa yang hebat berakting. Pendek kata, penonton sudah pintar membedakan. Meskipun masih ada juga penonton yang nggak paham. Mereka biasanya asal teriak atau bertepuk tangan. Itupun sesuai arahan.

Media-media sosial disesaki ungkapan dukungan-dukungan: ada yang berupa video, meme, karikatur, nyanyian, foto, tik tok, maupun analisis-analisisan yang benar-benar mencerdaskan maupun yang tidak. Juga hasil-hasil survei elektabilitas para aktor utama serta partainya, bermunculan.

Pendek kata, inilah zaman banjir bandang informasi. Segala macam informasi dalam beragam bentuknya ada. Bahkan yang sifatnya bodong, bohong, hoaks, palsu, menyesatkan, menghina, mendiskreditkan, merendahkan, melecehkan, mengecam dan segala jenisnya, selain yang memuji-muji, juga ada. Tidak hanya ada, tapi banyak.

Maka kalau tidak arif dan bijaksana dalam bersikap dan bertindak di zaman banjir bandang informasi ini akan tenggelam digulung arus air informasi.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Siang itu, kami merasa seakan-akan sudah menjadi ahli politik, yang tahu dan paham tentang dunia politik. Memang, di “musim politik” seperti sekarang ini bermunculan ahli-ahli politik; ahli politik musiman. Maka di mana-mana berseliweran analisa-analisa politik. Dan, kami sepertinya tidak mau ketinggalan.

Ada yang mengatakan, hal itu baik. Karena menjadi salah satu pertanda adanya kesadaran berpolitik di masyarakat. Apa itu politik dan apa itu kesadaran berpolitik. Mungkin begitu tanya banyak orang. Meskipun mereka sudah sangat akrab dengan istilah “dipolitisasi”, misalnya, atau istilah lain yang juga diakrabi, “politisasi agama” atau “politik identitas.”

Kata Aristoteles (384 – 322 SM) filsuf Yunani kuno, politik adalah usaha yang dilakukan warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bonum commune. Pengertian itu disebut sebagai teori klasik.

Itu beda dengan yang dikatakan ilmuwan politik dari AS, Harold Dwight Lasswell (1902 – 1978). Kata Lasswell, secara ringkas politik diartikan sebagai Who Gets What, When, How . Siapa mendapatkan apa, kapan,
dan bagaimana.

Jadi, menurut teori klasik itu, politik digunakan oleh masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama, kepentingan bersama, kepentingan umum yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi. Meskipun, kemudian pengertian tentang kepentingan umum menjadi bahan perdebatan.

Sementara Lasswell lebih “to the point“. Kata dia, politik terutama berkaitan dengan kekuasaan dan pengaruh. Yang berpengaruh adalah mereka yang mendapatkan hasil maksimal dari apa yang bisa didapat.

Bagaimana mendapatkannya? Nah, ini pertanyaan lanjutannya. Bagaimana cara mendapatkan kekuasaan itu? Dan bagaimana dengan kekuasaan yang dimilikinya benar-benar berpengaruh kuat?

Apa pun definisinya, yang pasti politik di negeri ini, sulit diduga, seperti menduga bajaj yang tengah berjalan, mau belok kiri atau kanan atau lurus atau malah berhenti.

Tapi, mungkin demikianlah karakter politik itu: yang mungkin menjadi tidak mungkin,  yang tidak mungkin bisa menjadi sangat tidak mungkin tapi bisa juga menjadi mungkin. Yang mudah dibikin susah dan yang susah dibikin mudah.  Yang sederhana dibikin ruwet, yang ruwet bisa tambah ruwet dan juga bisa menjadi begitu sederhana.

Misalnya, adakah yang pernah menduga bahwa dua sosok yang pada Pemilu 2019, bersaing dan bertarung begitu seru serta sengit  (apalagi para pendukungnya, sehingga memunculkan istilah kampret dan cebong), dan hampir-hampir memecah-belah negeri ini, bisa bekerja sama, bergandengan tangan, kompak serasi, melaju seperahu? Begitulah yang terjadi. Itulah, mungkin, “mukjizat politik.”

***

Ngobrol dengan Mas Ninok (Foto: Atie Nitiasmoro)

Sekarang “musim politik”. Apakah “mukjizat politik” akan muncul juga di musim ini? Bukankan politik juga adalah  “seni kemungkinan?” meminjam istilah Otto von Bismarck (1815 – 1898), negarawan Jerman.

Tapi, ada yang berpendapat bahwa mereka yang mengartikan politik sebagai “seni kemungkinan” adalah mereka yang meyakini bahwa politik itu urusan pragmatisme bukan idealisme. Karena tekanannya pada pragmatisme, maka adalah tidak aneh kalau segala daya upaya dan cara ditempuh untuk mewujudkan yang “tak mungkin” menjadi “mungkin.”

Dalam bahasa lain Hillary Rodham Clinton mengatakan, “politik sebagai seni membuat apa yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin” (Time, 18 November 2022).

Kalau melihat panggung politik di “musim politik” saat ini, apa yang dikatakan Hillary Clinton itu, bukan tidak mungkin akan terjadi  ketika koalisi partai-partai politik masih cair (meski ngakunya solid). Tapi, ini akan sangat tergantung pada kepiawaian para sutradara dan produser politik serta yang mereka yakini apakah politik itu semata-mata urusan pragmatisme dan bukannya idealisme.

***

Menikmati tongseng sultan dan ngobrol dengan Mas Ninok (Foto: Dokpri)

Ketika obrolan kami sampai pada masalah pragmatisme dan idealisme, saya lihat Mas Ninok mengolesi dahinya dengan minyak, entah minyak apa dan tak menghabiskan tongseng sultannya. “Saya sudah tidak kuat,” katanya singkat.

Lalu, “Kolesterol ..” katanya lagi sambil tersenyum. Mendengar apa yang dikatakan itu, saya seperti mendengar bunyi peluit dan disodori kartu merah. Maka, saya pun buru-buru berhenti menyendoki tongseng sultan yang enak itu, dan “merasa” kaki agak nggak enak.

Saya pikir-pikir, politik di negeri ini kok mirip-mirip tongseng itu, yang bisa memicu naiknya kolesterol, meskipun lezat. Apalagi kalau semata-mata memburu pragmatisme bukan idealisme…

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
2
+1
34
+1
5
Kredensial