Hari Jumat, 21 April 2023. Pagi-pagi, pukul 07.16, saya menerima pesan singkat lewat WA, “Mas, hari ini njih.”
Pesannya, sangat singkat. Untuk sesaat, saya tidak memahami maksud pesan itu. Apa ia ngajak ketemuan seperti biasanya, ngobrol ngalor-ngidul sambil makan dan minum.
Hampir saja saya jawab, “Nanti ketemuan di mana dan jam berapa? Di tempat biasa?”
Namun, saya tak jadi nulis jawaban itu. Karena, segera memahami maksud pesan singkat itu. Maka saya lalu njawab singkat pula, “Nggih, nuwun.” Ya, terima kasih.
Pada akhirnya….. Begitu, gumamku.
***
Ilustrasi gambar: Istimewa
Ya, memang begitulah akhirnya setelah melalui proses panjang: naik dan turun, berkelok-kelok, kadang-kadang menikung tajam, dan bahkan kerap kali tak terhindarkan bertabrakan, menimbulkan kesaling-curigaan juga “perpecahan.”
Banyak yang rerasanan atau malah ngomong terus terang baik di media sosial, di fora resmi, bahkan di warung kopi tingkat desa dan pos-pos siskamling tentang proses yang panjang itu. Melihat perbenturan dalam proses itu, adalah wajar kalau banyak yang berkesimpulan sebelum proses berakhir.
Kesimpulan mereka sederhana. Dan, ini kesimpulan wajar dan manusiawi. Mana mungkin orangtua melupakan anaknya, mana mungkin seorang ibu membiarkan anak kesayangannya kecewa karena tidak dapat meraih cita-citanya lantaran disisihkan ibunya.
Kisah di India di zaman Indira Priyadarshini Gandhi, memberikan contoh, bagaimana keluarga menjadi nomor satu. Meskipun mungkin juga didasarkan atas kompetensi anaknya. Indira Gandhi (1917-1984) pemimpin Partai Kongres menjadi PM India (1966-1977: 1980-1984).
Sebelumnya, ayah Indira Gandhi, Jawaharlal Nehru, menjadi perdana menteri pertama India (1947-1964). Semula Indira Gandhi menggadang-nggadang anak keduanya, Sanjay Gandhi, menjadi penerusnya di dunia politik. Tetapi, Sanjay tewas dalam kecelakaan pesawat (1980).
Kematian Sanjav telah “memaksa” kakaknya, Rajiv Gandhi, menapaki jalan politik sesuai keinginan ibunya. Dan, pada akhirnya Rajiv sebagai ketua Partai Kongres (I), pecahan Partai Kongres (Kongres Nasional India) terpilih sebagai PM India, 31 Oktober1984 sampai Mei 1991. Kalau dihitung-hitung, keluarga Nehru menguasai politik India selama 38 tahun.
Di Pakistan, Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) pernah jadi presiden (1971-1973) dan perdana menteri (1973-1977). Jalannya, ditapaki putrinya Benazir Bhutto (1988-1990) lalu (1993-1996). Benazir Bhutto menjadi perempuan pertama yang menjadi kepala pemerintahan di negara Muslim.
Cerita mirip-mirip terjadi di Sri Lanka. Keluarga Bandaranaike berkuasa di Sri Lanka. SWRD Bandaranaike adalah PM (1956 – 1959). Bandaranaike digantikan istrinya, Sirimavo Bandaranaike. Ia menjadi PM tiga kali berturut-turut (1960 – 1965, 1970 – 1977, dan 1994 – 2000).
Pada tahun 1994, putri mereka Chandrika Kumaratunga menjadi presiden, selama 11 tahun. Dari tahun 1994 hingga 2000, ibu dan anak Chandrika masing-masing menjabat sebagai PM dan presiden. Setelah keluarga Bandaranaike, di Sri Lanka muncul keluarga Mahinda Rajapaksa.
Di Filipina, keluarga Ferdinand Marcos, tak jauh berbeda. Demikian pula keluarga Benigno Aquino. Mungkin masih ada contoh lain.
Di negeri-negeri itu, politik telah menjadi lebih dari perusahaan keluarga daripada proses kebijakan untuk membantu dan mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat. Mereka mengikuti pemilu bukan untuk memperbaiki tingkat kehidupan jutaan orang, melainkan untuk menunjukkan “hak ” mereka untuk memerintah, mendikte, dan memperkaya diri.
Padahal, sebenarnya, politik adalah “bentuk amal tertinggi.” Dan, dengan itu berkomitmen untuk berjuang “demi keadilan dan perdamaian, melalui komitmen politik para politisi.” Dengan kata lain, berpolitik adalah melayani kepentingan umum.
***
Ketika pada hari Jumat lalu, saya menerima pesan singkat, ada harapan bahwa mission sacre, misi suci politik itu diperbaharui atau bahkan (semoga) diperkuat dan direalisasikan.
Pada hari itu, bertepatan dengan Hari Kartini, dan sehari sebelum Hari Lebaran, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri secara resmi mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden untuk Pemilu 2024.
“Pada jam 13:45 dengan mengucapkan bismillah menetapkan saudara Ganjar Pranowo sekarang adalah Gubernur Jawa Tengah sebagai Kader dan petugas partai untuk ditingkatkan penugasannya sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),” kata Megawati.
Ganjar bukan trah dan darah Soekarno. Tetapi, ia anggota partai. Ia kader partai. Ia anggota dan kader partai yang dinilai di dalam dirinya mengalir darah ideologis Soekarno. Maka ia dipilih. Inilah keputusan negarawan.
Bukan kali ini saja, Megawati menunjukkan kenegarawanannya dengan menyisihkan jauh-jauh kepentingan diri, kepentingan keluarga. Sebagai yang memiliki hak prerogatif dalam penentuan calon presiden, Megawati dapat menjatuhkan pilihan apa saja dan kepada siapa saja sesuai dengan suara hatinya.
Dulu, pada Jumat, 14 Maret 2014, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri resmi memberi mandat kepada Gubernur DKI Jakarta untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Umum 2014. “Kenapa saya memilih Jokowi untuk diberikan mandat sebagai calon presiden. Karena Jokowi tidak hanya populer, tapi dia bekerja, tulus, memiliki komitmen, dan kepribadiannya sederhana,” kata Megawati dalam di Lapangan Kopral I Wayan Surem di Kabupaten Badung, Bali, Sabtu (22/3/2014)
Lalu, empat tahun kemudian. “Dengan ini saya nyatakan, calon presiden dari PDI Perjuangan, Joko Widodo,” kata Megawati dalam pidato pembukaan di Rakernas III PDIP, di Grand Inna Beach Hotel, Bali, 23 Februari 2018.
Ketika itu (2014), Megawati mengatakan proses pemilihan Jokowi bukanlah hal yang tiba-tiba, melainkan sudah diperhitungkan secara matang dalam jangka waktu yang panjang. Ia memilih calon pemimpin yang mampu membawa dan mewujudkan cita-cita bangsa; yang mau sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat banyak.
Hal itu pula yang antara lain menjadi alasan mengapa memilih Ganjar. Dengan memilih Ganjar (sebelumnya Jokowi), secara sadar dan sepenuh hati, Megawati membawa PDI-P meretas belenggu dan mendobrak tembok yang mengungkungnya.
Megawati membawa partai mampu beradaptasi dengan situasi dinamis di masyarakat, menjawab dan memenuhi harapan rakyat. “Setelah selama ini memikirkan dan melihat apa yang menjadi harapan rakyat, maka pada Hari Kartini ini, saya menetapkan saudara Ganjar Pranowo sebagai kader dan petugas partai untuk ditingkatkan penugasannya sebagai Capres dari PDI-P.” kata Megawati.
Pilihan Megawati adalah sebuah keniscayaan sebagai partai moderen. Partai moderen dibangun melalui tahapan kaderisasi, antara lain. Dan, Ganjar adalah salah satu kadernya. Partai moderen juga meletakkan penilaian kadernya atas dasar meritokrasi, bukan yang lainnya, termasuk ikatan darah. Ganjar dinilai telah membuktikannya.
Tentu pilihan Megawati selain untuk memenuhi harapan rakyat juga didasarkan pada penilainnya terhadap komitmen, loyalitas Ganjar kepada partai politik dan arah ideologi Ganjar. Dapat dikatakan, Ganjar lulus untuk hal-hal itu. Misalnya, ia tidak tergoda menanggapi iming-iming partai lain ketika partainya belum mengambil keputusan, bahkan terjadi persaingan di dalam partai. Ia dinilai tidak ngangsa, kemaruk, haus kekuasaan, tapi mampu menahan diri dari nafsu, sahwat kekuasaan.
Satu hal yang perlu dicatat: dengan memilih Ganjar (sama dengan waktu memilih Jokowi; dan pilihannya benar), Megawati sepenuhnya menyadari dan mengakui bahwa rakyatlah yang menentukan apakah sebuah partai akan dipilih dan dipercayai untuk memegang kekuasaan atau tidak. Ini menegaskan, bahwa dalam masyarakat demokratis suara rakyat adalah yang paling penting, sejauh untuk kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara.
Maka demi kepentingan bangsa dan negara (juga kepentingan partai tentu), kepentingan diri, kepentingan keluarga, harus disisihkan dengan ikhlas dan sepenuh hati. Sebab, sekali lagi, berpolitik merupakan salah satu bentuk tertinggi dari karya amal, kalau benar-benar berpolitik itu untuk melayani kepentingan umum.
Demikianlah, saya memahami pesan singkat sahabat saya di hari Jumat pagi lalu…
Bagus mas Trias tulisan kali ini mencerahkan. Saya setuju dengan keputusan ini Bu Mega menunjukkan sikap kenegarawanannya. Kadang yang agak mengganggu adalah pilihan kata2 beliau, salah satu contohnya spt waktu bilang “Kacian deh Jokowi kalau tdk ada PDIP…bla..bla” seolah mau menunjukkan kalau dia lah yg “punya kuasa”…dll.
Semoga GP semakin amanah, mendapat dukungan penuh rakyat banyak, dan akhirnya terpilih utk meneruskan apa yg sdh dimulai/dijalankan JKW membawa bangsa ke arah yg benar.
Betul sekali dan salut kepada Ibu Megawati yang sungguh menunjukkan sikap kenegarawanannya. Hal ini sesuai dengan ajaran: Iman tanpa perbuatan adalah mati. Keyakinan tersebut dilakukan melalui tindakan nyata dengan memilih kader yang dinilai terbaik sebagai calon presiden. Semoga bung Ganjar dapat memenuhi harapan rakyat dan bangsa, teriring doa kami.🙏🙏
Dgn membandingkan yg pernah terjadi di India Sri Lanka, dan Filipina, bung Trias sangat tajam, natural, smooth mangangkat KENEGARAWABAN ibu Megawati. Bravo. Sgt pantas untuk beliau. Apa kata orang, kemarin2 yg minir, terkanvaskan. Proficiat Ibu legacy Sukarno telah dilestarikan bahkan dijujung tinggi. Semoga Indonesia semakin maju dan jaya, tentram dan maknur rakyatnya.
Syukur bu Mega, tidak tergerus arus. Menunjukkan kenegarawannya. Tidak seperti yang di sana. Hidup Indonesia, makasih mas Dubes Vatikan di masa yang akan datang, Mey paskah juga nggih
Saya termasuk yg lega akhirnya Ganjar Pranowo dicalonkan sebagai capres PDIP 2024. Pas dengan harapan saya. Semoga GP brnar memenuhi harapan yg sudah gambling dirinci oleh dimas Trias. Matur nuwun pencerahannya.
Bagus mas Trias tulisan kali ini mencerahkan. Saya setuju dengan keputusan ini Bu Mega menunjukkan sikap kenegarawanannya. Kadang yang agak mengganggu adalah pilihan kata2 beliau, salah satu contohnya spt waktu bilang “Kacian deh Jokowi kalau tdk ada PDIP…bla..bla” seolah mau menunjukkan kalau dia lah yg “punya kuasa”…dll.
Semoga GP semakin amanah, mendapat dukungan penuh rakyat banyak, dan akhirnya terpilih utk meneruskan apa yg sdh dimulai/dijalankan JKW membawa bangsa ke arah yg benar.
Betul sekali dan salut kepada Ibu Megawati yang sungguh menunjukkan sikap kenegarawanannya. Hal ini sesuai dengan ajaran: Iman tanpa perbuatan adalah mati. Keyakinan tersebut dilakukan melalui tindakan nyata dengan memilih kader yang dinilai terbaik sebagai calon presiden. Semoga bung Ganjar dapat memenuhi harapan rakyat dan bangsa, teriring doa kami.🙏🙏
Dgn membandingkan yg pernah terjadi di India Sri Lanka, dan Filipina, bung Trias sangat tajam, natural, smooth mangangkat KENEGARAWABAN ibu Megawati. Bravo. Sgt pantas untuk beliau. Apa kata orang, kemarin2 yg minir, terkanvaskan. Proficiat Ibu legacy Sukarno telah dilestarikan bahkan dijujung tinggi. Semoga Indonesia semakin maju dan jaya, tentram dan maknur rakyatnya.
Syukur bu Mega, tidak tergerus arus. Menunjukkan kenegarawannya. Tidak seperti yang di sana. Hidup Indonesia, makasih mas Dubes Vatikan di masa yang akan datang, Mey paskah juga nggih
Saya termasuk yg lega akhirnya Ganjar Pranowo dicalonkan sebagai capres PDIP 2024. Pas dengan harapan saya. Semoga GP brnar memenuhi harapan yg sudah gambling dirinci oleh dimas Trias. Matur nuwun pencerahannya.