Buku Christmas at the Nativity sudah diimbuhi tulisan “Francis” dengan menggunakan bolpoin bertinta biru. Yang menulis kata “Francis” adalah penulis buku itu sendiri: Paus Fransiskus.
Saya mintakan tanda tangan setelah menyerahkan Letter of Credence, Surat Kredensial, tanggal 11 Desember 2023. “Sancto Padre, apakah berkenan menandatangani buku ini?”
Didahului dengan tersenyum, Paus mengatakan, “Mana pulpennya?” Lalu, Romo Agustinus Purnama MSF menyerahkan bolpoinnya kepada Paus….Dan, ditulislah pada halaman pertama di bawah judul buku Christmas at the Nativity, namanya: Francis.
Sejak memulai membaca buku itu, beberapa waktu lalu, saya tidak segera menyelesaikannya. Pelan-pelan. Saya nikmati, sekaligus berusaha memahami yang ditulis Paus Fransiskus. Dan, membayangkan kembali Nativity, yang sudah lebih dari sekali saya kunjungi.
Isi buku itu menjadi “bekal” saya malam itu mengikuti Misa Malam Natal di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Ketika berjalan keluar Basilika, saya teringat sepenggal kalimat dalam buku itu yang dikutip Paus dari tulisan di batu nisan St Ignatius Loyola: “Non coerceri a maximo, sed contineri a minimo, divinum est” Terjemahan lurusnya: tidak dibatasi oleh hal yang terbesar, namun tetap terkungkung dalam hal terkecil—inilah yang ilahi.
Singkat kata, orang tidak perlu takut terhadap hal-hal besar; tapi harus maju dan memperhitungkan hal-hal kecil. Banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang kita lupakan, yang tidak kita pedulikan, yang kita anggap remeh temeh. Kata Bunda Teresa, Kita tidak bisa melakukan semua hal-hal besar, tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.
Misalnya, peduli pada sesama; menghormati perbedaan, mengikuti aturan, memegang teguh kesepakatan, menyelaraskan antara omongan dan tindakan…masih banyak lain. Tapi, apakah itu yang dimaksudkan kutipan Non coerceri a maximo, sed contineri a minimo, divinum est” itu? Ah, saya tidak tahu lebih jauh makna dari frasa tersebut, meski mengingatnya.
***
Di halaman depan Basilika, ribuan umat dengan setia mengikuti perayaan Misa Natal, demikian juga pada pagi harinya saat Paus memberikan berkat Urbi et Orbi, untuk Kota dan Dunia. Meskipun hawa dingin menyelimuti tubuh mereka. Tapi, hawa dingin tak mampu mengalahkan tekad hati untuk menyambut kedatangan-Nya; untuk mendapatkan berkat.
Piazza San Pietro atau Lapangan Santo Petrus, menjadi fokus utama di Hari Natal ini ketika Bethlehem, Palestina, kota tempat kelahiran Yesus, sepi. Grotto (gua), kosong, begitu juga alun-alun yang ada di antara Gereja Kelahiran (Nativity) dan Masjid Umar (Khalifah Umar Ibn Al Khattab, khalifah kedua yang menaklukan Jerusalem pada tahun 638).
Dahulu kala, ketika Maria dan Yosep (Yusuf) datang ke kota itu, dari Nazareth di Galilea, mereka tidak mendapatkan kamar untuk menginap. Semua rumah penginapan menolaknya. Karena mereka miskin. Maka mereka menginap di gua; dan Jesus lahir di gua itu.
Tetapi, sekarang, banyak kamar yang tersedia di hotel-hotel di Bethlehem menunggu datangnya tamu. Namun, para tamu tak datang karena perang di Gaza yang pecah sejak 7 Oktober lalu dan tindakan-tindakan militer di Tepi Barat, yang menewaskan begitu banyak orang: laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Entah berapa ribu lagi yang terluka; berapa banyak kerugian material akibat perang.
Padahal di Bethlehem di masa-masa sebelumnya, kelahiran Yesus dirayakan tiga kali. Gereja Katolik Roma dan Protestan merayakan pada tanggal 24 Desember; Gereja-gereja ritus Timur merayakan pada tanggal 7 Januari; dan Gereja Armenia merayakan pada tanggal 19 Januari.
Tahun ini, semua itu tak ada. Perang menghapuskannya. Perang menyapu kebahagiaan: tidak hanya kebahagiaan para peziarah yang akan ikut Misa Natal di Gereja Kelahiran; tapi juga kebahagiaan orang-orang Palestina yang hidupnya dari dunia wisata: berjualan cinderamata, makanan-minuman, dan juga bisnis penginapan.
Gereja Kelahiran Yesus yang dipercaya dibangun di atas gua tempat Yesus lahir, sepi. Gereja ini pertama kali dibangun pada tahun 326 atas prakarsa St Helena, ibunda Kaisar Konstantinus I. Tapi, fondasi gereja sekarang dibangun di zaman Kaisar Justinianus penguasa Byzantium pada abad ke-6; dan disempurnakan pada abad ke-12.
Banyak cerita dan kisah tentang gereja ini. Di masa-masa silam, sampai tahun lalu, ada pemandangan indah dan adem di Gereja Kelahiran Yesus setiap hari Natal. Yakni, ketika para pemimpin Palestina, apa pun agamanya merayakan Natal bersama di tempat itu.
Dulu pemimpin Palestina, Yasser Arafat selalu menghadiri perayaan Natal di Bethlehem. Tapi pada tahun 2001 hingga 2004 dilarang oleh Israel. Presiden Mahmoud Abbas pun mengikuti tradisi persaudaraan seperti Yasser Arafat itu. Kata Paus Fransiskus, kita adalah saudara.
Tapi kini, kata Paus, Betlehem telah menjadi “tempat kesedihan dan keheningan.” Perang telah mengakibatkan Bethlehem, Beit Jala, dan Beit Sahour yang biasanya penuh sukacita, kini berduka; yang biasanya terang benderang, sekarang gelap gulita. Lampu perdamaian Bethlehem, seperti padam; seperti padamnya hati mereka yang mengobarkan perang. Perang adalah ungkapan dan lambang kegelapan hati, kekalahan kamanusiaan.
Di Gereja Kelahiran Yesus (Nativity) di Betlehem terdapat sebuah lampu minyak. Lampu itu, selama berabad-abad, terus menyala. Bahan bakarnya berasal dari minyak yang disumbangkan oleh seluruh negara Kristen di dunia.
Setiap tahun di bulan Desember, sebelum Natal, seorang anak yang dipilih dari kelompok pramuka Austria yang memiliki komitmen kuat terhadap kepedulian sosial, mengambil api dari lampu minyak itu dan disebarkan ke seluruh dunia sebagai simbol perdamaian dan persahabatan antar-bangsa. Inilah api yang memberikan terang dalam kegelapan.
Saat ini, semua itu telah menjadi seperti dongeng. Karena, industri senjata telah menjadi, kata Paus, “pedagang kematian” yang menghancurkan kemanusiaan. Dan, “instrumen kematiannya” telah memicu perang di mana-mana.
***
Padahal, kata Paus, kelahiran Yesus adalah tanda dan pesan harapan yang paling kuat di dunia yang digelapkan oleh bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian.
Bayang-bayang ketakutan dan ketidak-pastian, sebenarnyalah tidak hanya muncul karena perang seperti di Gaza, Ukraina, Yaman, Armenia and Azerbaijan, Suriah, Sudan Selatan, Kongo, dan Korea, dan bagian belahan dunia lain. Tetapi juga oleh ketamakan- ketamakan, kerakusan-kerakusan duniawi dalam berbagai macam bentuk dan manivestasinya. Rakus akan kekuasaan, misalnya.
Kerakusan, ketamakan selalu membutakan mata hati, mematikan kepedulian pada orang lain, pada pihak lain, terutama pada pihak atau kelompok yang kecil dan hanya mengutamakan diri. Korban dari ketamakan adalah mereka yang lemah, mereka yang kecil, mereka yang tak berdaya dan tak punya keberanian untuk bersuara. Bahkan, mereka yang membawa dan memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran, menjadi korban kerakusan.
Maka kata Paus, Natal memberikan harapan yang sangat kuat. Harapan selalu berkaitan dengan optimisme, kegembiraan, ekspektasi. Semua orang pasti punya pengharapan untuk banyak hal dalam hidupnya. Dan ketika orang punya harapan, orang pasti selalu menantikannya.
Sebaliknya, ketika tidak punya harapan, ada rasa takut di sana. Ada rasa cemas untuk hari depan karena hari ini sudah memberikan tanda-tanda akan datangnya kegelapan. Tidak aneh bahwa banyak orang yang sudah kehilangan harapan atau bahkan sama sekali tidak punya harapan.
Di banyak negara yang sedang tidak dilanda perang pun, banyak orang kehilangan harapan. Karena, kekuasaan tidak lagi peduli pada mereka. Karena kekuasaan tidak lagi melayani. Karena kekuasaan telah lupa diri menjadi makhluk yang sangat rakus. Karena kekuasaan lebih peduli pada dirinya sendiri.
Sampai di sini, saya membayangkan ketamakan dan kerakusan di Hari Natal ini…
Lalu membaca alenia terakhir buku Christmas at the Nativity:
….tidak ada kamar di sini. Tidak ada ruang untuk kehidupan, tidak ada ruang untuk masa depan…. Semua hilang karena ketamakan; karena kerakusan… ***
Foto-foto lain:
Nice. Amen
Terima kasih, Dimas…Selamat Natal
Semoga pesan damai Natal mampu menggerakkan setiap hati nurani
orang yang sedang berperang dan pada gilirannya mengakhiri tindakannya. Perang yang sesungguhnya adalah tindakan menghilangkan kemiskinan dan ketidak adilan terhadap sesama. Betul mas Trias, kita masih memiliki harapan untuk mewujudkannya. Tuhan memberkati. Amen. 🙏
Amin, Pak Hari…Selamat Natal…semoga demikian…perang segera berakhir
Selamat merayakan Natal. Trim’s dimas tulisan yang selalu bagus. Semoga kerukunan, kedamaian, dan kesejahteraan segera dapat dinikmati umat di seluruh dunia.
Amin…Mbakyu…matur sembah nuwun…Salam
Tulisan yang menegur secara intelek. Terima kasih
Selamat Natal, Mas Titing sekeluarga…matur nuwun
Dubes yg wartawan, ato wartawan yg Dubes.
Sae artikelnya mas Yas.
Hehehehe…Selamat Natal
Tulisan ini mengingatkan saya pada bacaan wajib dalam mata kuliah strategic management. Rumusan strategi bisnis yang diformulasikan dengan cermat pun, keberhasilannya akan ditentukan oleh banyak hal-hal kecil. Terima kasih mas Trias.
Selamat Natal, Mas Dib…
….nuwun
Artikel dimas dubes yg jurnalis selalu josh, mencerahkan. Natal kali ini hadir ditengah tengah predator ketamakan kuasa. Semoga cepat berlalu dan damai di bumi.
Merry Christmas
Amin…Sugeng Krismis, De…semoga awan gelap segera berlalu disapu angin…
Selamat Natal Yang Mulia Mgr Trias.
Salam sehat. Salam hangat buat keluarga.
BD
Selamat Natal…Merry Christmas…Gusti tansah paring berkah…Amin