THE GODFATHER

 

 

Don Corleone

Pertama
Jumat siang kemarin, saya bertemu dua teman SMP (1971-173): Pranoto dan Herry Gendut Janarta.

Pranoto yang lebih 30 tahun bekerja perusahaan perminyakan, dulu paling pandai di kelas dan baik hati. Ia senang membantu teman-temannya yang biasa-biasa saja dan kurang pintar dalam pelajaran. Herry Gendut Janarta, seorang wartawan, penulis buku biografi  dan novelis. Salah satu novelnya, Yogya, Yogya.

Kami ngobrol seru, sambil minum dan makan. Obrolan beragam-ragam; dari cerita-cerita zaman SMP–dari yang lucu-lucu sampai yang nyebelin–hingga soal-soal politik akhir-akhir ini. Ngobrol soal politik selalu asyik, apalagi politik di negeri ini yang kadang seperti sandiwara, telenovela, drakor, atau malah cerita ludruk atau ketoprak. Biasa, yang ngobrol merasa seperti ahli politik, analis politik yang kampiun.

“Ingat enggak kamu, Ias, dulu kita pernah diberi nilai nol oleh Pak Sihono, guru geografi. Dia bikin aturan, siapa menyontek dan pemberi sontekan akan dinilai nol saat ulangan, bila ketahuan. Waktu itu, kamu yang duduk di belakangku bertanya padaku atau apa gitu…eh, tahu-tahu didatangi Pak Sihono, dan kertas ulanganku  dan kertas ulanganmu langsung diberi nilai nol. Aku dianggap memberikan contekan,” kisah Pranoto.

Kami bertiga tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu. Saya sendiri sudah nggak ingat peristiwa itu. Setelah tawa kami berhenti, Pranoto tanya, “Ias, dari mana ya biayanya, partai-politik itu hidup, terutama partai-partai baru yang masih kecil-kecil? Coba, dari mana sumber dananya, mereka mendirikan kantor-kantor DPD dan DPC di seluruh pelosok negeri ini.”

Mendengar pertanyaan itu, Gendut langsung menyahut, “Aku kok njur (lantas) ingat bukunya Mario Puzo, ya, The Godfather

“Lho, kenapa nDut? Hubungannya apa?” tanya saya.

“Ya, ingat saja, Ias,” jawab Gendut sekenanya, yang membuat kami tertawa. Itu khas jawaban Gendut penulis buku Teguh Srimulat: Berpacu Dalam Komedi dan Melodi.

Kedua
Sesampai di rumah segera saya cari novel karya Mario Gianluigi Puzo (1920-1999) itu di rak buku. Ketemu: The Godfather. Dan, kubaca ulang beberapa halaman. Kucari tahu pula, siapa itu Mario Puzo.

Mario Puzo adalah seorang wartawan berdarah Amerika-Italia dan penulis naskah film. Ia berasal  dari keluarga miskin di Pietradefusi, Italia. Novel The Godfather yang diterbitkan pada tahun 1969 adalah karyanya yang sangat kondang.

Dari novel ini lahir film The Godfather (1972), The Godfather II (1974)  dan The Godfather III (1990) yang disutradarai Francis Ford Coppola. Karya lainnya adalah The Sicilian.

Tokoh utama dalam novel The Godfather adalah Don Vito Corleone. Dialah Sang Godfather, pemimpin mafia. Meski seorang pemimpin mafia, Godfather adalah seorang pemurah, adil, dan logis serta rajin beribadah di gereja. Menurut novel itu. Tetapi, dia juga sangat tega dan tanpa ampun menyingkirkan orang-orang di dalam organisasinya yang dianggap berkhianat atau pesaingnya.

Menurut Godfather membunuh itu halal demi keadilan. Tentu, itu keadilan versi Godfather. Tak seorang pun berani menolak segala keinginannya, termasuk dijadikan sahabat. Walaupun setelah jadi sahabat, tidak bisa menentukan nasibnya sendiri.

Kata Don Corleone, persahabatan adalah segalanya. Persahabatan lebih dari bakat. Ini lebih dari pemerintah. Ini hampir sama dengan keluarga. Karena itu pengkhianatan terhadap persahabatan, hukumannya berat.

Godfather dikenal sebagai orang yang sangat gigih, tak kenal kata menyerah dalam meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Sebagai pemimpin mafia, Godfather menguasai “kerajaan bawah tanah”, yang bergerak dalam berbagai macam bisnis illegal, perjudian, prostitusi, taruhan dalam balap kuda, dan termasuk serikat buruh.

Lewat novel ini diperkenalkan istilah-istilah kriminal Italia seperti consigliere atau consigliore (seorang penasihat keluarga dan kadang-kadang menjadi “tangan kanan” Bos), caporegime atau capo (orang yang bertanggung jawab atas sekelompok tentara dan “penegak hukum” atau tukang pukul, yang melapor langsung kepadanya), Cosa Nostra (nama tradisional yang digunakan oleh mafia untuk merujuk pada organisasi mereka, yang dalam bahasa Italia berarti “Hal Kami”), omertà (sikap dan kode kehormatan; tutup mulut).

 

Ketiga
Ada yang mengatakan, novel Mario Puzo ini layak dibaca para politisi. Nggak tahu kenapa. Apa untuk belajar bersandiwara? Apa belajar kejam, tegaan, bersikap tanpa ampun terhadap lawan? Apa belajar munafik? Apa belajar kesetiaan? Apa belajar tutup mulut? Atau belajar apa lagi…

Padahal, dunia gelap (mafia) dan dunia terang (politisi) berbeda. Dalam dunia gelap, apa saja dihalalkan, tidak dianggap melanggar hukum. Bahkan, membunuh! Tentu, dunia terang tidak demikian, meski kadang ada yang menyimpang.

Meski berbeda, tetapi ada yang sama dan dipegang teguh:  integritas, kesetiaan, kemunafikan, keserakahan, dan pengkhianatan. Integritas (integer,  bahasa Latin) berarti “tidak rusak, murni, utuh, jujur, lurus, dan dapat dipercaya atau diandalkan.” Orang yang memiliki integritas diperlukan di mana saja.

Pada umumnya, integritas dihubungkan dengan suatu keutamaan/kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Integritas semacam ini tumbuh dari pendidikan keluarga, berkembang di sekolah, lingkungan masyarakat, dan teruji dalam kehidupan profesional, kehidupan nyata.

Tetapi, kadang  juga muncul orang-orang yang tidak berintegritas. Dalam kehidupan ini, selalu ada orang yang menyimpang dari jalan lurus. Malah ada yang bangga, bisa menyimpang. Koruptor, misalnya salah satu contoh orang yang tidak berintegritas, menyimpang.

Dalam dunia gelap, yang dianggap melanggar hukum  adalah mereka yang mengkhianati omertà.  Pengkhianat omertà pasti dihukum mati. Dalam dunia terang, berkhianat, mengkhianati sepertinya biasa. Ini termasuk mengkhianati sumpah jabatan yang diucapkan saat pelantikan. Walhasil, banyak pejabat pemerintah dan juga wakil rakyat walaupun ketika mengucapkan sumpah jabatan menumpangkan tangannya di atas kitab suci, didampingi pemimpin agama, jatuh juga, karena korupsi.

Dan, dunia terang pun  mulai gelap, yang memiliki aturan: “Anda tidak boleh mengkhianati rahasia masyarakat ini, menghormati tradisi kuno _omertà_. Hukuman bagi pelanggar hukum ini adalah kematian.”  Itu kata Michael Corleone (1920 – 1997) pemimpin Keluarga Corleone pengganti Vito Corleone.

Begitulah, Dura lex, sed lex. Hukum memang keras, tetapi itulah hukum. Karena itu selalu diingatkan Si decem habeas linguas, mutum esse addecet. (Bahkan) jika engkau memiliki sepuluh lidah, sebaiknya engkau tetap diam. Itu hukum besinya dalam mafia. Kecuali ingin mati.

Melanggar omertà adalah sebuah pengkhianatan. Kata sejarawan Taufik Abdulah, korupsi juga sebuah pengkhianatan (2009). Berkhianat terhadap ideologi bangsa.

“Kemerdekaan Indonesia tidak dihadiahkan secara cuma-cuma, jadi jangan melakukan korupsi. Sama halnya mengkhianati bangsa secara ideologis. Pejabat negara yang melakukan korupsi adalah pengkhianat negara, berkhianat terhadap sejarah,” kata Taufik Abdulah (lipi.go.id)

Tapi, rasanya cap sebagai pengkhianat itu sama sekali tidak ngefek, tak berpengaruh. Nyatanya korupsi terus terjadi, yang artinya koruptor makin banyak. Buktinya, menurut KPK, antara 2004 hingga Mei 2020  ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi (Kompas.com  30/9/2020).

Kata Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono saat itu,  kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif tersebut mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK.

Tentu, jumlah tersebut belum termasuk yang ditangkap dari tahun 2021 hingga bulan Mei 2022 ini. Misalnya, hari Kamis, 2 Juni 2022 (tempo.co),  KPK melakukan operasi tangkap tangan antara lain terhadap mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti yang baru saja menyelesaikan masa jabatan keduanya.

Mengapa orang korupsi? Karena nafsu keserakahan. Nafsu inilah yang menjadi akar kejahatah, radix malorum est cupiditas, akar dari kejahatan adalah nafsu. Begitu pula nafsu akan kekuasaan akan melahirkan kejahatan.

Ambisi kekuasaan merupakan bagian dari keinginan hawa nafsu.  Nafsu mendorong orang–termasuk Godfather yang menyingkirkan empat keluarga mafia lainnya Tattaglia, Barzini, Stracci, dan Cuneo–untuk melakukan segala cara demi tercapainya tujuan.

Bila sudah demikian, ibarat kata,  domba  pun bisa menjadi singa. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
0
+1
24
+1
3
Kredensial