PESAN DARI ENDE

Begawan Abiyasa menguraikan ajaran Hastabrata pada Arjuna (ilustrasi gambar: Istimewa)



Pertama
Enam belas tahun silam  sosiolog Ignas Kleden menulis artikel di Kompas (6/6/2006). Ignas antara lain menulis, dewasa ini masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar.

Pemimpin seperti itu (panutan, teladan) kata Ignas mengutip istilah antropolog Clifford Geertz, diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan. Mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi juga model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), panutan artinya teladan.

Dalam rumusan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin itu harus Ing ngarsa sung Tuladha (pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya).

Lalu, Ing Madya Mangun Karsa (pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya); dan  Tut Wuri Handayani (pemimpin harus mampu mendorong orang–orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab).

 


Kedua
Setelah 16 tahun, sudahkah pemimpin panutan itu ditemukan? Pasti tidak mudah menjadi pemimpin panutan, pemimpin teladan.

Dalam masyarakat Jawa, dikenal falsafah kepemimpinan yang menjelaskan salah satu sifat baik dari seorang pemimpin yaitu pandai menempatkan diri.

Falsafah itu berbunyi ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan kemampuan menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya).

Falsafah tersebut tidak hanya berlaku bagi masyarakat Jawa, tetapi berlalu umum, bahkan universal. Sebab, di mana-mana orang dihargai atau tidak karena ucapannya, karena omongannya, karena lidahnya. Orang akan lebih dihargai oleh masyarakat bila mampu mengendalikan  ucapannya, omongannya, pernyataannya dan tindakan, perilakunya.

Dengan kata lain, orang akan dihargai, dihormati dan pantas menjadi pemimpin kalau memiliki integritas, ada kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Dalam rumusan lain dapat dikatakan kepemimpinan itu lebih banyak dilatih melalui perilaku dan tindakan, bukan dengan kata-kata.

Saat ini orang lebih suka berbicara (misalnya berbicara soal nilai-nilai Pancasila terlepas melaksanakan dengan penuh penghayatan nilai-nilai itu atau tidak), lebih suka ngomong, ngumbar omongan terlepas omongannya itu berisi atau tidak, bermutu atau tidak, mengandung kebenaran atau tidak. Yang penting, berani ngomong dan keras, serta disebar-luaskan lewat media sosial, dan media lainnya.

Foto: Istimewa


Ketiga
Kesimpulan sederhananya:  tidak mudah untuk menjadi pemimpin itu. Apalagi, pemimpin yang bisa menjadi panutan, teladan seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi di Ende.

Di Ende, dalam amanatnya saat memperingati Hari Lahir Pancasila di Kabupaten Ende, NTT, Rabu (1/6/2022), Jokowi mengajak seluruh pemimpin bangsa, terutama para pejabat pemerintahan, tokoh agama dan juga masyarakat, para pemimpin partai politik, serta tokoh ormas agar menjadi teladan dan contoh dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila (Kompas, 2/6/2022)

Sekarang ini,  banyak orang yang mengaku dirinya pemimpin. Banyak orang yang mengklaim sebagai pemimpin rakyat, tetapi tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan, tidak memiliki apalagi memraktikkan nilai-nilai perjuangan, seperti yang dulu dimiliki oleh para tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan Haji Agus Salim.

Kata Ignas (2011) nilai-nilai perjuangan itu adalah sikap berkorban, tidak mengutamakan kepentingan sendiri, setia kawan dalam penderitaan, keberanian mengambil risiko, rela menyabung nyawa, sikap tanpa pamrih, tidak mengharapkan pujian atau popularitas (justru sekarang yang dicari tepuk tangan, popularitas), serta cinta Tanah Air dan kemerdekaan.

Itulah yang oleh Robert Liefner Greenleaf (1904-1990) disebut sebagai pemimpin pelayan. Sebab, seorang pemimpin yang baik adalah mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Jadi, seorang pemimpin itu pertama-tama dan utama adalah pelayan  bagi orang lain.

Untuk bisa menjadi pelayan bagi orang lain, dibutuhkan sebuah dedikasi. Dedikasi tanpa pamrih. Karena itu, seperti kata Joseph Samuel Nye Jr (2008) seorang ilmuwan politik AS,  kepemimpinan lahir dengan banyak cara.

Kata Nye, orang besar tak harus karena kebesaran individualnya tapi karena ia menyatu dengan masyarakatnya. Yang dibutuhkan hanyalah langkah sederhana dan tepat yang bisa dilakukan siapa saja untuk mendengar, berempati, kesadaran, pengarahan, keefektifan, mengambil risiko, jujur, berjiwa melayani, mengobati/menyembuhkan, berinovasi dan persuasi/bujukan yang meyakinkan.

Nah, pertanyaannya sekarang: Apakah para tokoh yang namanya akhir-akhir ini disebut-sebut akan bertarung pada Pilpres 2024, memiliki kriteria seperti itu untuk nantinya menjadi pemimpin panutan?

Kalau tidak, lupakan saja!

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
22
+1
7
Kredensial