Dua tahun setelah Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, pada tanggal 6 Juli 1947, Paus Pius XII mengangkat Mgr Georges-Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d’Ardoye MEP sebagai “Apostolic Delegate” (utusan apostolik) untuk Indonesia.
Dengan menempatkan, Mgr de Jonghe d’Ardoye di Indonesia, secara jelas ini mengungkapkan sikap dan posisi Takhta Suci (Vatikan) terhadap negara baru bernama Indonesia yang akan dijajah lagi oleh Belanda, setelah kemerdekaannya.
Keputusan Paus Pius XII itu tidak terlepas dari peran diplomasi yang dilakukan uskup agung pribumi pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Pada 18 Januari 1947, Mgr Soegijapranata mengirim surat kepada Paus Pius XII.
Dalam laman Soegijapranata Catholic University, unika.ac.id, diungkapkan lewat surat itu, Mgr Soegijapranata SJ menguraikan kekejaman tentara Belanda di Indonesia, setelah kemerdekaan kepada Paus Pius XII.
G Budi Subanar SJ dalam “Kisah-Kisah Soegijapranata” (2012) menjelaskan, tanggal 18 Januari 1947, Mgr Soegijapranata mengirim surat balasan kepada Kardinal Fumasoni Biondi (Prefek Kongregasi Propaganda Fide) di Vatikan. Kardinal Fumasoni mengirim surat kepada Mgr Soegijapranata, pada 20 Desember 1946.
Dalam suratnya, Mgr Soegijapranata antara lain menjelaskan sikap tentara Jepang terhadap karya misi; situasi aktual yang ada berkaitan dengan usaha diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia berhadapan dengan pemerintah Belanda; pandangan positif (dukungan) Mgr Soegijapranata terhadap rencana penunjukan nuntius (duta besar) untuk Indonesia serta saran-saran kriteria nuntius yang cocok dan pas untuk ditugaskan di Indonesia.
Diplomasi surat itu berhasil. Bahkan, tidak hanya berhasil baik tetapi sangat baik. Tergerak oleh belas kasih, semangat persaudaraan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia kokektif dan individual demi tegaknya nilai-nilai dan tatanan spiritual, moral, dan kemanusiaan, maka Takhta Suci pun memutuskan untuk bersahabat bahkan bersaudara dengan bangsa Indonesia. Dengan ini, Takhta Suci membawa misi kemanusiaan, persaudaraan, dan perdamaian yang menjadi tugas perutusannya.
Bagi Takhta Suci, Diplomasi adalah salah satunya cara untuk mewujudkan kehadiran resmi Gereja dalam komunitas internasional, yang pada dasarnya diarahkan untuk menggunakan dialog di tingkat kelembagaan untuk mewujudkan perdamaian antar bangsa, anti-penjajahan dan kolonialisme, menjaga serta memelihara ketertiban internal dan kemajuan masing-masing negara.
Maka, Paus Pius XII, mengangkat Mgr de Jonghe d’Ardoye sebagai “apostolic delegate” (perwakilan gerejawi Takhta Suci dalam hierarki Katolik di negara lain) pertama di Indonesia. Selain itu, Vatikan pun menggerakkan hati pemeluk Katolik di dunia untuk melakukan hal yang sama.
Tiga pekan setelah ditunjuk, hari Minggu, 27 Juli 1947, Mgr de Jonghe d’Ardoye tiba di Batavia sekarang Jakarta. (nuntiatureindonesia.org). Dengan itu, Takhta Suci menjadi negara pertama di Eropa yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Meskipun, hubungan diplomatik secara resmi (tingkat duta besar) baru dilakukan pada tahun 1950. Tetapi, hubungan baik antara Takhta Suci dan Indonesia terus meningkat sejak tahun 1947 itu.
Di zaman revolusi, misalnya, Paus Pius XII (1876 – 1958) mendoakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pada tahun 1948, ia menerima kunjungan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri pertama) yang ditugaskan Bung Hatta untuk mencari dukungan bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Hasil usaha-usaha diplomasi berbagai pihak itu, telah mendorong hati Paus Pius XII, pada tanggal 4 Januari 1950, menginstruksikan kepada Mgr de Jonghe d’Ardoye untuk menyampaikan kepada pemerintah Indonesia bahwa Takhta Suci mengakui NKRI. Dua hari kemudian Mgr de Jonghe d’Ardoye secara pribadi memberitahu Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri Hatta tentang keputusan ini.
Dengan penuh syukur Bung Hatta menerima kabar baik dari Takhta Suci itu. Lalu, Bung Hatta mengusulkan agar Takhta Suci menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia.
***
Usulan Bung Hatta itu ditanggapi positif Takhta Suci. Pada tanggal 10 Januari 1950 Takhta Suci memberitahukan kepada Jakarta bahwa mereka telah menerima usulan tersebut.
Lalu, tanggal 6 Maret 1950, Takhta Suci meresmikan Apostolic Internunciature. Sepuluh hari kemudian, Paus Pius XII, pada tanggal 16 Maret 1950 menunjuk Mgr Georges-Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d’Ardoye MEP sebagai Wakil Paus pertama di Indonesia (L’Osservatore Romano, March 17, 1950). Kata Paus Yohanes XXIII, Duta Besar (nuntius) adalah kepanjangan tangan Paus.
Mg De Jonghe d’Ardoye yang lahir di Bruxells, Belgia dan pernah menjadi misionaris di China (1910 – 1933 di Sichuan; 1933-1938 di Yunnan), menyerahkan “Credential Letters” kepada Presiden Soekarno, pada tanggal 6 April 1950 di Istana Negara (sementara hubungan diplomatik antara Indonesia dan Italia dimulai, 29 Desember 1949).
Tugasnya di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai tahun 1947, sejak Takhta Suci mengakui kemerdekaan Indonesia yakni sebagai “apostolic delegate“.
Sebelum bertugas di Indonesia, Mgr De Jonghe d’Ardoye bertugas sebagai “Apostolic Delegate” di Irak (1938 – 1947); dan setelah selesai bertugas di Indonesia, ia ditugaskan di Mesir (1955 dan mundur 1956) sebagai “Apostolic Internuncio”.
Sebulan kemudian, 25 Mei 1950, setelah Mgr De Jonghe d’Ardoye menyerahkan “Surat Kepercayaan” kepada Presiden Soekarno, Dubes Soekardjo Wirjopranoto menyerahkan “Credential Letters” kepada Paus Pius XII.
Mulai 1950 itulah, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci, secara resmi dimulai. Meskipun, hubungan keduanya sudah dimulai sejak tahun 1947, ketika Takhta Suci memberikan pengakuan kemerdekaan kepada Indonesia dan memutuskan untuk mengirim “Apostolic Delegate”.
Enam tahun kemudian Apostolic Internunciature menjadi Apostolic Nunciature (Kedutaan Besar Takhta Suci) pada 7 Desember 1966. Apostolic Internuncio adalah diplomat Vatikan dengan pangkat menteri berkuasa penuh. Ia menjalankan tugas-tugas sesuai dengan tugas apostolic nuncio (duta besar). Ada lagi pronuncio.
Pada tahun 1965, nama pronuncio diberikan kepada para duta besar yang pangkatnya dalam korps diplomatik bergantung pada senioritas (brittanica.com).
***
Duta Besar pertama Indonesia untuk Takhta Suci adalah seorang tokoh pergerakan yang sangat menarik. Di Ensiklopedia Sejarah Indonesia dijelaskan, Soekardjo dilahirkan di Desa Kesugihan, Cilacap, 4 Juni 1903. Sejarah hidup Soekardjo sebelum diangkat menjadi Dubes untuk Takhta Suci merangkap Italia di zaman Kabinat M Natsir, sangat menarik.
Putra Cilacap ini lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Batavia (1923). Lalu, bekerja di Pengadilan Negeri Purwokerto; pindah ke Magelang, terus ke Lumajang. Di ketiga kota itu, Soekardjo antif di perkumpulan “Jong Java.”
Di dalam perkumpulan ini, rasa nasionalisme Soekardjo makin bertumbuh kuat. Ia lalu keluar dari dinas pemerintahan kolonial dan bergabung dengan Boedi Oetomo, Cabang Malang. Kemudian, ia diangkat menjadi anggota “Volksraad” (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1931, sebagai wakil Boedi Oetomo.
Di “Volksraad” ia masuk Fraksi Nasional yang dipimpin M.H. Thamrin. Di sini, ia bertemu R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, Suangkupan, dan Moh. Nur. Pada 24 Desember 1935, Boedi Oetomo dan PBI (Partai Buruh Indonesia) berfusi menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Soekardjo berperan dalam pembentukan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Soekardjo aktif dalam majalah bulanan Soeara Parindra dan memimpin Sarekat Pekerja. Dan di zaman Jepang, memimpin koran Asia Raya, sehingga ia diangkat sebagai Ketua Muda Jawa Shinbun Kai pada 1 Februari 1943. Selanjutnya, ia menjadi Ketua Muda Majelis Pertimbangan Poetera (1 Maret 1944) dan anggota Dokuritsu Zunbi Cosakai atau BPUPKI.
Pada masa awal kemerdekaan, Soekardjo menjadi anggota Yayasan Dharma dengan menerbitkan majalah Mimbar Indonesia di Jakarta bersama Ir. Pangeran Mohammad Noor, Mr. Jusuf Wibisono, Gusti Mayur, S.H., H.B. Jassin, dan Djamaluddin Adinegoro (Shadily, t.t.: 3933; Notodidjojo 1987: 76).
Majalah tersebut dipandang membahayakan keberadaan Belanda saat mereka menduduki Jakarta setelah Agresi Militer I sehingga Soekardjo diusir dari Jakarta ke ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta (Koderi 2006: 269-270). Pada zaman kemerdekaan, Soekardjo hijrah sebagai anggota PNI.
Pada masa pemerintahan PM Sutan Sjahrir (14 November 1945 – 27 Juni 1947), Soekardjo ditetapkan sebagai juru bicara negara dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Lalu pada masa Kabinet M. Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951), Soekardjo diangkat sebagai duta besar untuk Takhta Suci merangkap duta besar luar biasa di Italia.
Pada tahun 1956, Soekardjo diangkat menjadi duta besar untuk Republik Rakyat China (RRC); merangkap sebagai kepala perwakilan diplomatik di Mongolia.
***
Saat menerima Soekardjo Wirjopranoto, Paus Pius XII (Kamis, 25 Mei 1950) menyebut Indonesia sebagai “sahabat perdamaian sejati.” Paus ketika itu, juga melihat betapa berat perjuangan Bangsa Indonesia dalam mengkonsolidasikan, memperkuat kebebasannya dan mendapatkan berkat dan buah dari perdamaian yang adil dan abadi. Karena itu, perlu mendapat dukungan dan dorongan.
Kata Cicero (106 – 43 SM), Amicus certus in re, incerta cernitur, sahabat sejati dikenal di saat-saat sulit. Begitulah yang ditunjukkan Takhta Suci yang segera menjadi sahabat bangsa Indonesia ketika bangsa Indonesia tengah berjuang untuk berdiri tegak, untuk melawan kekuatan kolonial, imperialisme yang ingin menguasi kembali.
Bagi Takhta Suci, persahabatan sejati mengandaikan keterbukaan hati untuk senantiasa setia, baik dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang, dalam kegagalan maupun keberhasilan. Demikian pula prinsip persahabatan yang dipegang teguh bangsa Indonesia. Kata Cicero, “Verae amicitiae sempiternae sunt”, yang kurang lebih berarti, persahabatan sejati itu langgeng.
Paus Pius XII (bertakhta, 1939 – 1958) kagum dan memuji Pancasila yang menjadi prinsip-prinsip negara yang baru saja merdeka. Apalagi Pancasila menempatkan “nama dan otoritas tertinggi Yang Maha Agung” di sila pertama.
Pancasila, kata Paus Pius XII menjadi jembatan kepercayaan melintasi hamparan luas daratan dan lautan untuk menghubungkan Indonesia dan Takhta Suci.
Kata Paus Pius XII, “Tuhan Yang Maha Mengetahui, mengetahui betapa tulusnya keinginan Kami, agar bangsa Indonesia yang sangat Kami sayangi, pada saat keberadaannya dapat mengambil langkah cepat menuju kebahagiaan, kemajuan, dan kesejahteraan. Ini adalah keinginan semua orang yang memiliki iman dan keyakinan yang sama dengan Kami.”
Beberapa tahun kemudian, saat Bung Karno mengunjungi Vatikan untuk yang ketiga kalinya, 12 Oktober 1964, Paus Paulus VI mengatakan, “Kami berharap agar kunjungan ini dapat mempererat hubungan antara Takhta Suci dan Republik Indonesia, dan tercapainya kebaikan yang didambakan semua orang, Perdamaian di bumi” (L’Osservatore Romano, 1964).
Paus Paulus VI mengunjungi Indonesia, tahun 1970. Lalu, Paus Yohanes Paulus II, ke Indonesia 9 – 14 Oktober 1989. Saat itu, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Kunjungan saya ke Indonesia tidak secara eksklusif ditujukan untuk umat Katolik. Saya datang sebagai sahabat seluruh rakyat Indonesia….”
Ini sama dengan yang dikatakan Paus Pius XII saat menerima Soekardjo Wirjopranoto, sebagai duta besar untuk Takhta Suci…Dan, Paus Fransiskus pun, akan datang sebagai sahabat seluruh rakyat Indonesia…
Sepucuk surat Mgr Soegijapranata, telah membuka pintu persaudaraan antara Indonesia dan Takhta Suci…. ***
Foto-foto lain, Trias
Mgr. SOEGIJAORANATA memang luar biasa. Nasionalis sejati, bersama para pejuang kemerdekaan membangun NKRI.
MATUR NUWUN
Salam Kredensial n berkah Dalem