“RELIQUIAE”

Para suster yang berkaul kekal tidur               tiarap sebagai tanda penyerahan                     diri secara total (Foto: Erick Sadewa)

Pekan lalu, kami diundang untuk menghadiri acara-acara yang dilaksanakan di tempat yang benar-benar memberikan kedamaian. Begitu masuk ruangan tempat acara berlangsung, rasa damai segera menyergap, hawa perdamaian menguasai kami dan menyusup masuk ke dalam paru-paru memberikan kesegaran baru.

Ketika kami masuk ke tempat acara–di Curia Generale Fratelli Minori Cappuccini (semacam biara pusat para romo Kapusin), Basilica di San Lorenzo in Damasco, dan Basilica Maria Maggiore–hanya suasana, hawa, napas kedamaian yang terasa. Meskipun di luar biara, di luar basilika hiruk-pikuk.

Ke Curia Generale Fratelli Minori Cappuccini atau Biara Via Cairoli, kami menghadiri acara perpisahan dengan Romo Victorius Dwiardy OFMCap (Ordo Saudara-saudara Dina Kapusin didirikan pada1528, sebagai jawaban terhadap kehidupan Gereja pada masa itu yang dianggap sudah menyimpang).

Romo Victorius OFMCap akan pulang ke Indonesia, setelah 10 tahun berkarya di Italia. Ia diangkat menjadi Uskup Banjarmasin.

Letak biara ini persis di depan Wisma KBRI Roma. Yang sangat mengesankan dan menularkan suasana damai di biara dan kepada para penguninya adalah sebuah kamar yang di atas pintu masuk bertuliskan “Sacellum, Sacrarum, Reliquiarum”, Kapel, Tempat Suci, Relikui”.

Kapel itu kecil: kira-kira panjang empat meter dan lebar tiga meter saja. Tapi, di kapel disimpan banyak relikui. Itu yang membuat kamar tersebut sangat penting. Menurut KBBI relikui adalah barang peninggalan orang suci yang dianggap berharga.

Relikui berasal dari bahasa Latin reliquiae, artinya: peninggalan. Relikui orang kudus adalah suatu material peninggalan dari orang kudus yang sudah wafat, baik berupa bagian tubuh, maupun benda-benda yang pernah bersentuhan dengan mereka.

Dengan menghormati relikui para kudus,  diharapkan  umat beriman dapat terdorong untuk berjuang dalam kekudusan meniru teladan mereka.

Suasana aman, damai, nyaman, tentram, sepi, bahkan sejuk terasa sekali. Meskipun ketika masuk, mula-mula merinding, namun lama-lama terasa damai; tenteram. Nyala lilin yang berkerlip-kerlip menambah suasana magis di ruang itu. Tempat yang pas untuk berdoa, bermeditasi.

***

  1. Kapel relikui

Di hari lain, kami diundang ke Basilica di San Lorenzo in Damasco, untuk menghadiri kaul kekal delapan suster (enam di antaranya dari Timor, NTT, Indonesia) Ordo Santa Brigita (Ordo Sanctissimi Salvatoris). Ordo kontemplatif ini didirikan pada tahun 1344 oleh seorang mistikus dari Swedia, St Brigita dan disetujui Paus Urbanus V tahun 1370.

Dengan mengucapkan kaul kekal, mereka (enam dari Indonesia Sr M Orsola Amu, Sr M Aureliana Boys, Sr M Pamela Anunut, Sr M Lany Noreng, Sr M Martha Koa, dan Sr M Clarissa Mako), menyerahkan diri secara total, kepada Tuhan. Mereka dengan tulus ikhlas berjanji, sepenuh hati menaati dan menjalakan semua regula (aturan), serta misi suci ordo.

Dengan berkaul kekal, mereka dituntut bukan hanya siap diutus tetapi siap untuk pergi. Harus mau melangkah, harus mau pergi untuk melakukan hal-hal yang baik bagi banyak orang, Gereja dan masyarakat.

Sama dengan para romo Kapusin yang hidup dengan penuh ketaatan, kemiskinan, dan suci, regula menggariskan semua anggota St Brigita mengikuti kaul kemiskinan suci secara ketat, dilarang memiliki apa pun. Meskipun pada saat yang sama mereka mungkin mengharapkan kepala biara untuk menyediakan semua kebutuhan mereka.

Satu kemewahan diperbolehkan bagi mereka. Yakni, boleh memiliki buku sebanyak yang mereka suka untuk dipelajari. Semua pakaian bekas dan kelebihan pendapatan tahunan mereka, setelah semuanya tercukupi, harus diberikan kepada orang miskin.

Mereka ini suster-suster pendoa. Maka sering dipanggil oleh rumah sakit dan keluarga untuk membantu orang sakit, terutama di saat-saat terakhir sebelum meninggalkan dunia.

***

 

Altar utama

Basilica di San Lorenzo in Damasco, tempat kaul kekal itu, indah. Di altar utama terdapat lukisan santo-santo dan koronasi Bunda Maria karya arsitek dan pelukis Federico Zuccari (1539-1609). Di bawah altar terdapat relik Paus Eutychian (menjadi Paus 275-283) dan Paus Damasus I (menjadi Paus, 366-383).

Di sebelah kiri altar terdapat duplikat patung teolog St. Hippolytus (170-235). Di basilika itu ada pula patung St. Fransiskus Xavierius dan St. Carolus Borromeus karya Stefano Maderno, pematung kondang awal abad ke-17.

Basilika di Roma ini berdiri di atas gereja lama yang dibangun pada akhir abad keempat atas inisiatif Paus Damasus I. Dulu, gedung gereja di dalam kompleks rumahnya. Lalu pada abad kedelapan dan kesembilan direstorasi.

Tapi pada akhir abad ke-15, seluruh bangunan dirobohkan dan di tempat itu didirikan Basilika San Lorenzo di Damasco. Sejarah menceritakan, pada tahun 1798 diduki pasukan Napoleon. Fresco (lukisan dinding) dirusak.

Setelah itu, dua kali direstorasi: 1807-1820 dan 1868-1882. Hasil restorasi itu, masih bisa kita nikmati sekarang, meskipun pada 31 Desember 1939, terbakar. Dan, banyak yang rusak.

***

Tempa-tempat itu memberikan kedamaian; memberikan rasa damai. Meskipun di luar biara dan basilika, hiruk-pikuk oleh banyak hal dan banyak kepentingan.

Bahkan di luar yang lebih jauh lagi, tidak hanya hiruk-pikuk tetapi horor, menakutkan, dan peristiwa yang begitu tragis. Di tempat-tempat itu perdamaian dan rasa damai, dilemparkan, dibuang, dan dicampakkan oleh mereka yang tidak peduli pada orang lain, pada manusia lain yang berusah payah mencari kedamaian hidup, hati dan jiwa; yang ingin hidup damai.

Sementara, di mana-mana orang yang masih memiliki hati nurani terus berjuang mencari dicari perdamaian dan kedamaian. Perdamaian dan damai dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Segala usaha dan upaya dilakukan untuk mewujudkannya.

Maka kata filsuf Perancis Albert Camus (1913-1960), perdamaian adalah satu-satunya perjuangan hidup mati yang harus dilakukan; perjuangan harus dilakukan sampai tetes darah yang terakhir karena perdamaian itu sangat berharga.

Sebab, kata Paus Fransiskus (2013) menjadi manusia berarti peduli satu sama lain! Artinya, tidak menyengsarakan manusia lain dengan segala macam cara dan bentuk; segala macam tujuan dan kepentingan. Tapi, berjuang mewujudkan perdamaian dan kedamaian.

Namun, ketika harmoni itu rusak terjadi metamorfosis: orang yang seharusnya diperhatikan dan dicintai menjadi musuh, dilawan, dibunuh. Orang yang seharusnya dilindungi, justru diabaikan. Orang yang seharusnya menjadi pelindung malahan menjadi predator, pemangsa laksana srigala.

Bila sudah demikian, kata dramawan Plautus (254-184), Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, terjemahan bebasnya, manusia bukan manusia tetapi serigala bagi orang lain.

Itulah sebabnya, mengapa terjadi kekerasan, banyak konflik, banyak perang yang menandai sejarah kita…Bahkan, kata Paus Fransiskus, hari ini kita membiarkan diri kita dibimbing oleh berhala, oleh keegoisan, oleh kepentingan kita sendiri.

Hati nurani kita tertidur. Kekerasan dan perang hanya membawa kematian. Kekerasan dan perang adalah bahasa kematian! Beda dengan biara dan basilika, meski adalah bangunan mati tapi memberi kehidupan. Karena dari sanalah mengalir napas kedamaian yang menghidupkan.***

Foto-foto lain:

Basilika Maria Maggiore

Di depan altar Basilika San Lorenzo

 

Basilika Maria Maggiore

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
41
+1
46
Kredensial