NGOBROL DI MEJA MAKAN

Dubes Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo (kanan)…

Petang itu, kami ngobrol sambil makan. Meski belum malam, kami sebut makan malam. Yah, itu soal sebutan saja.  Ada rendang daging sapi. Ada ayam bakar. Ada balado ikan. Ada sup. Enak semuanya. Kami–istri, anak, dan saya–menikmatinya.

“Ayo, makan di rumah saja,” kata Dubes Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo di ruang kerjanya suatu petang. Pak Tomi, begitu saya biasa memanggilnya.

Kami pernah bertahun-tahun satu kantor, di Kompas. Maka cerita-cerita dan kisah-kisah lama pun hidup kembali. Kata William Faulkner (1897-1962) peraih Hadiah Nobel Sastra 1949 dari Amerika Serikat, The past is never dead. It’s not even past. Masa lalu tak pernah mati. Bahkan, ini bukanlah akhir.

Dalam rumusan lain, Pak Swantoro, salah satu pimpinan kami dulu di Kompas, mengatakan, masa lalu selalu aktual. Masa Lalu Selalu Aktual, menjadi judul bukunya (2007). Sejarah bertalitemali dengan masa kini dan masa datang. Dalam masa sekarang kita dapatkan masa lalu, dalam masa sekarang kita mendapatkan apa yang akan datang.

Maka, tak jarang ada orang yang merasa hebat, sehebat ketika masih berkuasa. Orang itu lupa bahwa sudah tidak mempunyai kuasa lagi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan; setelah kekuasaannya terlepas dari genggaman.

Itu yang disebut post power syndrome atau sindrom pascakekuasaan. Yakni, kondisi kejiwaan ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu. Post power syndrome sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun, terlebih lagi yang sebelumnya memiliki kekuasaan. Hilangnya kekuasaan menimbulkan penurunan harga diri (self esteem).

Orang yang kejangkitan post power syndrome, kerap kali berperilaku aneh-aneh. Apalagi kalau sudah tak lagi berada di lingkaran kekuasaan, karena satu dan lain hal. Misalnya,  gemar mengkritik pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis.

Siapa saja bisa mengalami sindrom ini. Artinya, semua manusia mempunyai kemungkinan  untuk terperosok ke dalam jurang itu. Bila hal itu terjadi,  seseorang akan sulit untuk berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan kekuasaan pribadi.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Ketika obrolan kami menyinggung  soal politik, ingatan langsung kembali ke masa ketika kami masih satu kantor. Dalam setiap rapat, setiap obrolan ringan isu politik di negeri ini menjadi menu utamanya.

Dulu, kami selalu bicara tentang partai politik. Kami ngobrol soal para elite politik. Kami berdiskusi soal keputusan-keputusan politik. Kami juga ngomongin soal money politic dan sebagainya. Bagi kami, yang kerja di koran, politics matters,  meminjam istilahnya Andrew Gamble (2019).

Sebab, hidup kita tidak bisa lepas dari politik. Kata Herry-Priyono (2022), politik (dari polis) salah satu lapis artinya adalah sebutan bagi realitas kumpulan orang yang hidup bersama secara khas (antara lain dengan pemerintahan, dengan hukum dan aturan-aturan, ada yang mengelola, dan ada yang bertanggung jawab).

Maka itu, kita tidak bisa lepas dari politik. Apalagi, kita hidup di tengah masyarakat, anggota masyarakat. Manusia adalah makhluk yang hidup bersama orang lain. Itulah kodrat manusia. Manusia memerlukan manusia lain untuk kelangsungan hidupnya. Di situlah ada politik. Sejak lahir, kita adalah warga organisasi politik yang disebut negara.

Dalam politik itu ada tiga sikap yakni mendukung, menentang dan membiarkan atau tidak ikut-ikutan. Namun, ketiga sikap yang berbeda ini harus tetap tunduk pada pemenang. Itulah demokrasi. Dan, itulah yang terjadi di negeri ini.

Mereka yang kalah pada Pemilu 2019, bersatu dengan pemenang. Meski ada yang malu-malu kucing; ada pula yang “berlagak” bermain di luar, sebagai semacam oposisi; ada yang menentang dan bersikap sinis terhadap apa pun yang dilakukan pemerintah; terakhir mengomentari secara sinis terhadap misi damai Jokowi ke Ukraina dan Rusia.

***

    Ilustrasi gambar: Istimewa

Petang itu, kami memang hanya ngobrol ringan. Yah, kadang-kadang nyinggung sana nyinggung sini, nyebut ini dan itu, juga ngobrol soal media karena kami wartawan.

Berbagai peristiwa yang kami obrolkan memberikan gambaran bahwa manusia itu adalah makhluk yang keras kepala. Apalagi, kalau sudah menyangkut masalah politik dan kekuasaan.

Tidak jarang, bahkan kerap kali terjadi atau malah selalu terjadi, kekuasaan itu membutakan mata hati mereka yang menguasainya dan yang memburunya. Kata Machiavelli (begitu selalu dikatakan orang), segala cara dilakukan untuk meraih dan memertahankan kekuasaan.

Satu hal yang kerap terjadi, manusia tidak pernah mau belajar dari sejarah. Merasa diri hebat. Populer. Kondang. Punya uang dan pengaruh serta pengikut. Akibatnya, terjungkal dan gagal mencapai cita-citanya. Itu terjadi tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang kali terjadi, sama dan serupa seperti sebelumnya.

Begitulah, bukan sejarah sendiri yang siklis, tetapi kekuasaan dan politiklah yang menjadikan sejarah ini siklis. Orang Jawa bilang cakra manggilingan. Kata cakra (bahasa Sanskerta) berarti cakram atau roda. Sedangkan manggilingan (bahasa Jawa, yang kata dasarnya giling) yang artinya berputar atau menggerus. Istilah cakra manggilingan diartikan sebagai kehidupan ibarat roda berputar, kadang di atas kadang di bawah, selalu berubah.

Di tengah ngobrol, tiba-tiba telepon Pak Dubes berdering. Eh, dari  tanah air. Tiga kali  telepon genggamnya berdering. Pak Dubes, tersenyum… ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
1
+1
15
+1
5
Kredensial