PECI BUNG KARNO

Jumat petang lalu, tiba-tiba saya menerima video call dari Tunis, Tunisia, negeri yang menjadi pengobar Musim Semi Arab. Inilah “musim” yang begitu ganas. Karena  menyingkirkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak dan juga pemimpin Libya Muammar Khadafi, dan menghancurkan Suriah, serta memaksa negara lain seperti Arab Saudi berubah.

Video call itu dari Dubes Indonesia untuk Tunisia  Zuhairi Misrawi, yang biasa saya sapa Gus Dubes. Sebelum jadi dubes, saya sapa dia, Gus Mis. “Hai, Mas….apa kabar?” sapa Gus Dubes disusul tawa lepas yang menjadi ciri khas putra Madura ini.

“Kabar baik, Gus,” jawab saya. Sudah lama saya berkenalan dengan alumnus Universitas Al-Azhar Cairo Mesir, yang juga  cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU) ini. Kami bahkan,  bersahabat dekat.  Dulu, semasa dia masih di Jakarta, kami sering ketemuan atau telpon-telponan pada malam hari, untuk ngobrol, diskusi.

Banyak yang kami obrolkan dan diskusikan. Selain soal Timur Tengah yang menjadi minat perhatian kami berdua, yang kami obrolkan antara lain soal toleransi, moderasi kehidupan beragama, terorisme, isu-isu politik mutakhir, bahkan soal Bung Karno. Kalau sudah ngobrol soal Bung Karno, Gus Mis sangat bersemangat.

“Peci ini, Mas,” katanya sambil menunjuk peci hitam yang dipakainya, “oleh orang-orang Tunisia disebut peci Bung Karno. Bung Karno kan selalu berpeci, Mas. Itu yang dikenang orang-orang Tunisia. Pada tanggal 30 April 1960, Bung Karno, mengunjungi Tunisia (dilanjutkan ke Maroko), dan sampai sekarang tetap dikagumi, dipuja sebagai pahlawan. Bung Karno, dipandang berjasa bagi kemerdekaan Tunisia.”

***

    Bung Karno (Foto: Istimewa)

Gus Dubes bercerita, Bung Karno dan Bapak Bangsa Tunisia, Habib Bourguiba (1903-2000), bersahabat karib. Kedua negarawan, nasionalis, arsitek kemerdekaan, dan tokoh besar itu memiliki pandangan yang sama tentang model negara dan peran agama di dalamnya.

Habib Bourguiba berkunjung ke Jakarta dan bertemu Bung Karno pada tahun 1951. Sejak itu, Indonesia secara aktif mendukung perjuangan  kemerdekaan Tunisia. Puncak dari upaya diplomatik Tunisia untuk meraih kemerdekaan adalah lobi yang dilakukan di arena Konferensi Asia Afrika di Bandung, 1955.

Konferensi ini menjadi saksi sejarah, bahwa kita mampu menggalang negara-negara Asia-Afrika untuk menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan. Indesia, turut berjuang bagi kemerdekaan negara-negara Arab yang berada di kawasan Afrika Utara, seperti Maroko, Aljazair, dan Tunisia.

Setelah KAA, Indonesia membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara. Ini  sebagai wujud konkret mendukung kemerdekaan Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Panitia  diketuai oleh Mohammad Natsir, Sekretaris Jenderal Hamid Algadri, Bendahara I.J. Kasimo, anggota A.M. Tambunan dan Arudji Kartawinata.

Panitia menyediakan kantor bagi utusan dari Maroko, Tunisia, dan Aljazair, di Jalan Cik Ditiro No. 56 Jakarta Pusat. Setahun kemudian, Prancis angkat kaki dari negeri itu. Maroko dan Tunisia merdeka pada 1956; sedangkan Aljazair baru merdeka pada 1962.

***


Dua kali, saya diundang untuk mengunungi Tunisia, pasca-revolusi. Karena itu, saya sempat mempelajari serba sedikit tentang Tunisia. Ada beberapa kesamaan: kesamaan ideologi agama, kesamaan sejarah politik  dan kesamaan peran dalam memerangi radikalisme. ” Mereka mempelajari Pancasila, Mas. Karena sangat kagum pada Pancasila,” kata Gus Dubes.

Indonesia dan Tunisia memiliki ideologi agama yang moderat. Tunisia adalah negara yang penuh toleransi, koeksistensi (hidup berdampingan secara damai), dan kebebasan beragama, berkeyakinan. Di Tunisia ada komunitas  Yahudi terbesar di Afrika Utara. Mereka sudah tinggal di Tunisia sejak zaman Romawi.

Padahal, Konstitusi menyatakan agama negara  adalah Islam. Tetapi, Konstitusi juga mengamanatkan, pemerintah sebagai “guardian of religion”,  “penjaga agama” dan mewajibkan negara untuk menyebarluaskan nilai-nilai “moderasi dan toleransi”. Konstitusi juga menyatakan Tunisia  adalah  “civil state”, “negara sipil.”

Indonesia dan Tunisia juga pernah sama-sama dipimpin  presiden diktator selama puluhan tahun. Kedua negara sama-sama pula menghadapi perang melawan radikalisme dan terorisme domestik, karena sebagian kecil warganya pernah menjadi kombatan di negara-negara konflik, seperti Irak, Suriah, dan Afghanistan.

Menurut ‘International Religious Freedom Report for 2018″, Konstitusi Tunisia menjamin kebebasan beragama, berkeyakinan, dan menjalankan praktik hidup keagamaan. Konstitusi juga menyatakan bahwa masjid dan rumah ibadah lainnya, harus bebas dari “instrumentalisasi partisan.” Ketentuan ini mewajibkan negara untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi dan toleransi, melindungi tempat-tempat suci.

Undang-undang mensyaratkan bahwa semua pelaksanaan ibadah  dilakukan di dalam rumah ibadah tidak di tempat umum. Iklan-iklan keagamaan juga tidak boleh dipasang di tempat umum. Undang-undang mengharuskan asosiasi dan partai politik menghormati supremasi hukum dan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan melarang mereka mendorong kekerasan, kebencian, intoleransi, atau diskriminasi atas dasar agama.

***

Suat ketika di Tunis, Tunisia

“Banyak yang menarik, Mas. Kalau kita, menyebut Indonesia, mereka pasti akan segera mengatakan ‘Soekarno.’  Bangga menjadi orang Indonesia dan punya Soekarno. Maka, saya selalu pakai peci, seperti Bung Karno,” kata Gus Dubes lalu tertawa lepas…

Satu hal lagi, Tunisia telah mengubah wajah negara-negara Arab, lewat Revolusi Musim Semi…Memang, tidak semuanya berhasil. Bahkan, seperti Suriah dan Libya, hancur hancuran.

….Tetapi, kata Gus Dubes, Tunisia berjalan di jalur yang benar, setelah revolusi.***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
15
+1
5
Artikel Internasional Kredensial