NGOBROL DI BACCANO

 

Paus Fransiskus di Kapel Sistina, Vatikan (Foto: Trias Kuncahyono)

Malam itu, kami bertemu di Baccano, sebuah restoran di Via delle Muratte, Roma. Boccano Mediterranean restaurant, begitu tulisannya. Restoran ini tak jauh dari Trevi Fountain, letaknya. Hanya, sekitar 650 meter. Jalan kaki hanya butuh waktu tiga menit.

Trevi Fountain atau La Fontana di Trevi adalah sebuah air mancur yang menjadi tujuan wisata yang begitu kondang. Meskipun namanya La Fontana di Trevi, Tiga Air Mancur, namun air mancurnya tidak tiga melainkan hanya satu. Nama ini diambil dari adanya tiga jalan yang mengarah ke air mancur itu tre via atau tiga jalan.

Barangkali air mancur bergaya
baroque di Piazza di Trevi yang dibangun dari 1732 hingga 1762 ini, paling terkenal di dunia. Air mancur ini dipersembahkan kepada Paus Clemen XII.

Ada tradisi, bila berwisata ke air mancur itu, para wisatawan melemparkan uang koin ke dalam air mancur. Saat melempar pun ada caranya. Berdiri membelakangi air mancur.

Lalu, melempar dengan tangan kanan, melewati bahu kiri. Dan kedua mata tertutup. Menurut legenda yang melempar koin ke dalam air mancur dengan cara seperti itu, akan kembali lagi ke Roma, suatu hari.

***

Bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (Foto: Erick)

Sambil menikmati makan malam di restoran Baccano, kami–Haedar Nashir bersama istri Siti Noordjannah Djohantini serta saya dan istri–ngobrol banyak hal. Namanya ngobrol, apa saja diomongkan; tidak bertema, tidak sistematis. Apalagi ilmiah, tentu saja tidak. Mungkin malahan tidak berbobot.

Tapi, sekalipun tidak berbobot, obrolan kami malam itu menyenangkan. Kami senang bisa ngobrol mulai dari nanam cabe, tomat, kangkung, dan pisang kepok; makan bulgur, ketela, ubi, uwi, dan talas; ngobrol soal teman-teman dan saudara-saudara di desa (ternyata antara kami dan Bu Siti Noordjannah masih agak “bau-bau” sedulur katut); hingga ngobrol soal politik, walau hanya sambil lalu, pun tidak substansial.

Ketika masuk ke ranah politik, kami sama-sama hati-hati. Bukan apa-apa. Pertama, kami bukan politisi apalagi ahli politik. Maka tahu diri. Kedua, sekarang ini kalau bicara politik bisa ke mana-mana, termasuk ngrasanin orang lain, njelek-njelekin orang, dan bisa emosi. Maka kami memilih menghindar.

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu bersama istri berada di Roma atas undangan untuk berauduensi dengan Paus Fransiskus. Selain Haedar Nashir yang mewakili Muhammadiyah, diundang juga Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Yahya Cholil Staqub. Hanya saja Gus Yahya Staqub diterima Paus pada hari berikutnya.

Malam itu, kami sama-sama menikmati teh panas, bukan kopi hitam atau cappuccino atau minuman beralkohol. Kami memilih minuman yang moderat saja. Sebenarnya, Gus Staqub juga kami undang untuk ketemuan, karena satu dan lain hal, tidak bisa datang.

***

Bersama Ketua Umum PB NU, KH Yahya Cholil Staqub (Foto: Erick)

Kerja kemanusiaan. Itu kata kuncinya. Baik Muhammadiyah maupun NU, banyak melakukan kerja kemanusiaan di pelbagai pelosok Indonesia, sehingga dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan.

Misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah di tempat terpencil–di NTT, Papua, dan Maluku–juga usaha memberdayakan kaum perempuan di wilayah-wilayah jauh itu, wilayah-wilayah pinggiran atau sering disebut wilayah garis depan.

Kerja kemanusiaan adalah wujud dari politik kemanusiaan. Dalam Ensiklik (surat edaran) Fratelli Tutti (Semua Saudara) tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, 4 Oktober 2020, Paus Fransiskus menjelaskan tentang politik kemanusiaan ini.

Kata Paus politik kemanusiaan mencari dan menemukan kebaikan bersama yang bersifat universal yang berbasiskan
praksis amal kasih dan peningkatan martabat manusia. Dengan kata lain demi bonum commune, common good, kemaslahatan bersama.

Ensiklik ini menegaskan bahwa Tuhan yang Maha Esa hadir dalam setiap peristiwa dan dalam diri setiap pribadi manusia, tanpa memandang perbedaan melalui persahabatan dan persaudaraan sosial dalam wujud solidaritas dan dialog. Kehadiran Tuhan yang Maha Esa itu sekaligus memromosikan inklusivitas yang berbasiskan nilai-nilai Kitab Suci dan cinta kasih Kristiani yang bersifat universal.

Panggilan untuk mewujudkan persahabatan dan persaudaraan antar-umat manusia, menjadi panggilan universal. Ensiklik ini menegaskan, kesadaran sebagai sesama ciptaan yang bersaudara menjadi satu-satunya jalan ke depan yang lebih baik bagi umat manusia.

***

Semua dipersatukan: orang-orang, kapal, dan penderitaan. Patung di Lapangan St Petrus, Vatikan (Foto: Trias Kuncahyono)

Kemanusiaan itu penting bagi politik. Kalau politik abai atau meninggalkan kemanusiaan, maka politik tak akan mampu mewujudkan misi luhurnya yakni menciptakan bonum commune. Bila politik tak peduli pada kemanusiaan, maka tak akan mampu memahami persoalan utama manusia.

Pendek kata, politik kemanusiaan itu politik yang memersatukan. Ini selaras dengan asal kata politik yakni polis (Aristoteles). Kata polis yang selain berarti kota juga bisa berarti kumpulan orang yang hidup bersama secara khas; E pluribus unum, Bhinnneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.

Maka kata Aristoteles, bila penyatuan dipaksakan melewati batas, polis akan merosot menjadi keluarga, dan keluarga jadi urusan satu orang. Bahkan seandainya penentu hukum bisa membuat negara bersatu padu, dalam proses ia akan menghancurkan negara itu. Suatu polis tidak hanya berisi keragaman, tetapi keragaman manusia dengan kebhinnekaan ciri (B Herry-Priyono, 2022).

Sampai di sini jelaslah bahwa politik kemanusiaan berbeda, misalnya, dengan politik kekuasaan. Politik kekuasaan itu menomorsatukan kekuasaan: bagaimana merebut, memerkuat, dan memertahankan kekuasaan. Kalau perlu dan dibutuhkan, meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kata Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang diakui sebagai pelopor politik moderen, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu dan menindas. Tentu apa yang dikatakan itu bukan sebagai nasihat politik, melainkan Machiavelli memandang kekuasaan memang tak semurni dunia surgawi.

Machiavelli mengatakan hal itu setelah melihat apa yang nyata-nyata terjadi di zamannya, bukan apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang penguasa untuk merebut, memertahankan, dan kehilangan kekuasaan (dalam Politik Kerakyatan, 1996).

Kata Machiavelli, ketika itu banyak orang muak dengan ekses Renaisans: keliaran seksual, ambisi kekuasaan, penumpukan harta, haus kemasyuran dan sebagainya. Dalam pandangannya, kekuasaan adalah dunia yang penuh intrik, kekejian dan ketololan.

***
Tapi, malam itu, kami benar-benar lulus tidak bicara soal politik kekuasaan; hanya politik kemanusiaan. Karena kemanusiaan di atas segala-galanya. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Demikian rumusannya dalam Pancasila.

Makan malam pun terasa enak. Tak terasa yang ada di piring sudah habis. Makanan penutup juga sudah. Teh panas kami, sudah pula habis. Tapi, kami masih semangat untuk ngobrol.

Hanya karena, besok paginya Haedar Nashir beserta istri masih harus melanjutkan perjalanan ke Amsterdam, Belanda, kami mengakhiri obrolan malam itu. Yang sebenarnya belum malam, tapi hawa dingin makin terasa.

Kami berpisah tanpa ketemu KH Yahya Cholil Staqub.

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
26
+1
13
Kredensial