MACHIAVELLI AMERIKA

Pemandangan Kota Firenze (Foto: pixabay.com)

Kapan ke Firenze, ke biara kami? Begitu pertanyaan yang selalu diajukan para suster biarawati dari Firenze saat bertemu di KBRI Takhta Suci Vatikan. Mereka datang untuk mengurus perpanjangan masa berlakunya paspor.

Firenze? Apakah Firenze itu sama dengan Florence? Ya, kata seorang suster biarawati. Firenze, dalam bahasa Inggris dan Perancis ditulis Florence; dalam bahasa Latin disebut Florentia; lalu dalam bahasa Italia Kuno disebut Fiorenza dan akhirnya menjadi Firenze yang dalam bahasa Jerman ditulis Florenz.

Ah, seperti Jakarta saja. Dulu, Jakarta pernah bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Stad Batavia, Gemeente Batavia, Stad Gemeente Batavia, lalu Djakarta Toko Betsu Shi. Dari Batavia itu muncul nama Betawi. Yogyakarta juga. Awalnya adalah Ngayogyakarta (ibu kota Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat), lalu Yogyakarta yang juga disebut Jogja (Yogya).

Sejak bertugas di Takhta Suci Vatikan, kami memang belum pernah mengunjungi Firenze kota yang terletak sekitar 273 km sebelah utara Roma itu. Firenze sangat menarik apalagi kalau dikaitkan dengan tokoh Zaman Renaisans, Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527).

Machiavelli adalah seorang pelopor pemikiran teori-teori politik yang sekularistik. Ia pelopor pemikiran konsep negara sebagai karya seni. Keputusan-keputusan politik bukan ditentukan atas dasar kriteria agama atau moralitas, tetapi atas dasar kriteria politik (St Sularto, 2023)

Maka, menurut Machiavelli yang diakui sebagai pelopor ilmu politik moderen, pertimbangan kebaikan dan nilai moral bisa ditinggalkan demi keberhasilan politis. Pertimbangan moral dan agama dianggap tidak relevan dalam kehidupan politik.

Barangkali dari sini, pemikirannya banyak disalah-pahami. Ia dianggap sebagai tidak bermoral karena dipandang menghalalkan segala cara; tujuan menghalalkan cara. Maka “machiavellisme” diartikan sebagai paham yang menghalalkan segala cara: dalam berpolitik menggunakan cara-cara kotor, kejam, licik, dan cara-cara lain sejenisnya.

Padahal kata Sastraprateja (St Sularto, 2003) Machiavelli sebetulnya tak pernah merumuskan patokan “moral” tujuan menghalalkan sarana. Dia hanya bermaksud mengemukakan apa yang bermanfaat bagi yang berkuasa dengan menggunakan penyelidikan obyektif tanpa tambahan pernyataan moral.

Machiavelli mau mengemukakan adanya dua moralitas: moralitas politik dan moralitas pribadi. Dengan kata lain, dalam politik dan dalam berpolitik ada moralitas politik. Moralitas tak bisa dibuang dari politik.

Tapi, sulit dipungkiri banyak orang “sepakat” bahwa, mengutip kata Franz Magnis-Suseno SJ dalam St Sularto (2003), Machiavelli menjadi simbol sebuah pengertian tentang pemakaian kekuasaan negara yang membenarkan pemerintahan penguasa dengan tangan besi dan menolak pertimbangan moral dalam berpolitik.

Dan, penekanan Machiavelli pada kekuasaan absolut serta pemerintahan otoriter adalah sumber gerakan fasis. ‘Il Principe’ karyanya adalah buku teks bagi penguasa otoriter. Ia ibarat pedoman bagi para penguasa dalam mengatur negara atau ketatanegaraan.

Maka banyak penguasa atau pemimpin yang mengikuti ajaran Machiavelli: para pemimpin harus selalu menutupi niat mereka yang sebenarnya, dan sering kali “bertindak melawan belas kasihan, melawan iman, melawan kemanusiaan, melawan kejujuran, melawan agama, demi melestarikan (kekuasaan) negara.”

Tak heran kalau kemudian nama Machiavelli identik dengan tiran yang licik.

***

Citta Metropolitana di Firenze (dok.pribadi)

Nama Machiavelli beberapa hari lalu muncul di koran The New York Times (1/12), The Strait Times (1/12), ansa.it (30/11), dan banyak media lainnya berbahasa Italia ketika tersiar mantan Menlu AS Henry Kissinger meninggal dunia. Ia disebut sebagai “Machiavelli-nya Amerika”.

Bisa jadi sebutan itu menempel pada dirinya karena Kissinger
adalah seorang praktisi realpolitik–menggunakan diplomasi untuk mencapai tujuan praktis daripada mengutamakan terwujudnya cita-cita luhur.

Yang dimaksud dengan realpolitik (brittanica.com) adalah politik berdasarkan tujuan praktis dan bukan cita-cita ideal. Pengertian yang diberikan merriam-webster.com pun tak jauh berbeda. Yakni, politik berdasarkan faktor praktis dan material, bukan pada tujuan teoretis atau etis.

Definisi senada juga disodorkan kamus politik.com. Realpolitik adalah sistem politik yang didasarkan pada tujuan-tujuan konkret dan praktis, bukan pada moralitas atau cita-cita abstrak.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, The Financial Times mencatat bahwa dalam realpolitik, “politik adalah tentang kekuasaan, tentang manuver koalisi, tentang kekuatan sosial dan kapasitas mereka untuk mempengaruhi politik, dan tentang kekuatan gagasan dalam membentuk kemungkinan-kemungkinan politik.”

Dengan demikian, realpolitik menunjukkan pandangan yang pragmatis, sungguh-sungguh, dan mengabaikan pertimbangan etis. Istilah ini, realpolitik, pertama kali digunakan pada tahun1895. Realpoliti diambil dari bahasa Jerman: “real” berarti “aktual” and Politik means “politik.”

Sebenarnya, realpolitik tidak beda-beda amat dengan politik kekuasaan. Kata Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari moral. Karena itu, kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada kebajikan, keadilan dan kebebasan dari Tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat untuk mengabdi pada kepentingan negara. Itulah prinsip politik kekuasaan.

Machiavelli berpendapat bahwa politik kekuasaan adalah cara, dan negara absolut yang otoriter adalah tujuan akhirnya.

***

Henry Kissinger (Foto: dreamstime.com)

Paham realpolitik itu ditunjukkan Kissinger ketika menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional dan Menlu (1969-1977) di bawah Richard Nixon dan Gerald Ford. Ia mendukung sejumlah kebijakan dengan alasan bahwa kebijakan tersebut praktis, meski tidak etis. Misalnya, ia mendukung penuh bahkan menyerukan pengeboman intensif terhadap di Vietnam Utara.

Ia juga bersekutu dengan para pemimpin diktator, misalnya, orang kuat Chile Augusto Pinochet (1973) dan Shah Iran. Kissinger mendukung junta militer Argentina (1976-1983) dengan Dirty War-nya, mendukung Indonesia masuk Timor Timur (1975-1976) dan berpihak pada Pakistan saat Perang Pembebasan Bangladesh (1971).

Kissinger pionir kebijakan detente (1970-an) AS dengan US. Orang juga mencatat Kissinger sebagai tokoh yang membuka (1979) hubungan diplomatik kembali dengan China dimulai dengan kunjungan Nixon ke Beijing (1972). Kissinger dengan diplomasi ulang-aliknya mengakhiri Perang Yom Kippur (1973) antara Israel dan negara-negara Arab.

Dan, Kissinger berjasa dengan ditandatanganinya Paris Peace Accords (1973) yang mengakhiri keterlibatan AS dalam Perang Vietnam. Puncaknya Kissinger menerima Hadiah Nobel Perdamaian 1973.

Kata Nancy Benac (AP) para pendukung Kissinger mengatakan kecenderungan pragmatisnya menguntungkan kepentingan AS; tapi para kritikus melihat pendekatan Macheviallian yang diambilnya bertentangan dengan cita-cita demokrasi. Meski demi kepentingan nasional.

****

Foto: depositphotos.com

Para suster biarawati itu, memang, tidak cerita tentang Machiavelli, meski mereka tinggal di Firenze. Mereka juga tidak bicara soal Kissinger atau malah tak tahu. Apalagi, soal politik. Mereka apolitik (dalam arti politik kekuasaan) tetapi mereka tetap berpolitik: politik kemanusiaan seperti dikatakan Paus Fransiskus.

Mereka mengabdikan seluruh hidupnya untuk orang lain: mengajar agama, mengajar di sekolah-sekolah, mengasuh anak-anak yatim piatu, merawat orang-orang jompo atau yang sudah tidak diurusi keluarganya, melayani Gereja, menjadi pendoa, mengurusi kebun, mengurusi peternakan, dan sebagainya. Ada pula yang tugas belajar.

Karena itu, mereka tidak perlu berpihak kepada partai, kelompok dan golongan tertentu. Dalam kekuatan kharisma, mereka dipanggil entah sebagai pribadi atau komunitas untuk mengambil sikap kritis di hadapan proses historis-sosial-politik demi kebaikan bersama – bonum comune.

Para suster biarawati tetap berpegang pada ajaran luhur, Gloria Dei vivens homo, kemuliaan Allah adalah purnanya hidup manusia. Seluruh hidup dan karyanya demi Ad maiorem Dei gloriam, untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar.

Maka cerita indah-indah di Florence saja yang dikisahkan saat bertemu di KBRI Takhta Suci, bukan soal politik, bukan soal kekuasaan, dan bukan pula soal Machiavelli. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
43
+1
16
Kredensial