DARI WOJTYLA SAMPAI BERGOGLIO

Daniel B. Gallagher (2025) memberikan contoh tentang “masuknya” pertimbangan geopolitik—meski tidak dinyatakan secara terang-terangan—dalam pemilihan seorang paus. Terpilihnya Kardinal Karol Wojtyla dari Polandia (16 Oktober 1978), merupakan pesan Gereja pada dunia, Blok Timur, khususnya Uni Soviet yang sudah terlihat terhuyung-huyung dan akhirnya bubar.
Bukan karena Wojtyla (Paus St. Yohanes Paulus II) berasal dari Polandia, tetapi, dialah yang paling memahami, mengetahui, dan merasakan penindasan yang otoriter dan sistematis terhadap agama Kristen Katolik. Jadi, para kardinal yang memilih Kardinal Karol Wojtyla secara diam-diam mewakili pengakuan atas sebuah kesempatan, meskipun berisiko, untuk menyemangati orang-orang Kristen yang menderita di Blok Timur atau di mana pun berada yang tertindas.
Banyak pula yang berpendapat bahwa terpilihnya Kardinal Ratzinger sebagai paus baru pada tahun 2005, tidak terlepas dari pertimbangan geopolitik. Para kardinal paham bahwa tidak seorang pun dari kardinal peserta konklaf yang memahami krisis budaya Eropa lebih baik dari mantan Uskup Agung Munich dan Freising itu, sekalipun bertahun-tahun bertugas di Roma.
Dalam kuliah umumnya di Saint Scholastica di Subiaco, Italia (2005), Kardinal Ratzinger menyoroti krisis budaya di Eropa. Ia mengatakan Eropa telah mengembangkan sebuah budaya yang, dengan cara yang sebelumnya tidak diketahui oleh manusia, mengecualikan Tuhan dari kesadaran publik, baik dengan menyangkalnya sama sekali, atau dengan menilai bahwa keberadaannya tidak dapat dibuktikan, tidak pasti dan, oleh karena itu, termasuk dalam ranah pilihan subjektif, sesuatu yang, dalam hal apa pun, tidak relevan dengan kehidupan publik (Education Resource Center) .
Demikian juga, banyak yang melihat bahwa dipilihnya Kardinal Jorge Mario Bergoglio pun, tidak terlepas dari pertimbanan geopolitik. Setiap suara yang diberikan untuk Jorge Mario Bergoglio pada 13 Maret 2013 menandakan setidaknya keterbukaan terhadap pola pikir yang berbeda yang tercermin dalam pidato “pinggiran” kardinal Argentina itu saat General Congregation (Kongregasi Umum) yakni pertemuan para kardinal untuk menyampaikan pandangan sekaligus penyelesaian masalah-masalah atau tantangan yang dihadapi Gereja dan dunia, sebelum konklaf dimulai.
Dengan menegaskan tentang “peripheries” , Kardinal Bergoglio saat itu ingin memberikan gambaran tentang semakin berkembangnya gereja di “pinggiran” dunia yang perlu mendapat perhatian. Dengan kata lain, “meninggalkan” orbit Eurosentris-nya dan mengarah ke pinggiran. Kardinal Bergoglio melihat bahwa Gereja milenium ketiga akan tumbuh di Asia; dan itu menjadi kenyataan.
Setelah terpilih dengan menyandang nama Fransiskus, kebijakan “pinggirannya” itu berbuah dengan pemulihan hubungan dengan China meski belum secara penuh, negara dengan potensi keagamaan sangat besar, yang didambakan oleh para pendahulunya. Sejak tahun 1951, Takhta Suci tidak memiliki hubungan diplomatik dengan China, tapi tahun 2018 Paus Fransiskus, mencapai kesepakatan bersejarah dengan Beijing yang menjadi kunci untuk memulai pencairan hubungan antara kedua pihak dan pada dasarnya terdiri dari mencapai konsensus tentang pengangkatan uskup ( El Pais, 2025)
Hubungan diplomatik, memang, belum dipulihkan. Tetapi ini adalah langkah pertama yang signifikan. Paus Fransiskus menjelaskan bahwa hubungan antara kedua pihak “sangat saling menghormati” dan bahwa saluran dialog terbuka. Vatikan sangat ingin keluar dari periode keterasingan dan konflik dengan negara tempat para ahli percaya ada sekitar 40 juta orang Kristen.
Roh Kudus

Lalu, di mana peran Roh Kudus kalau geopolitik juga berperan? Begitulah kira-kira pertanyaannya. Pertanyaan itu dijawab oleh Joseph Ratzinger (waktu itu tahun 1991; yang kemudian menjadi Paus Benediktus XVI). Ketika ditanya oleh seorang jurnalis Bavaria pada tahun 1991 apakah Roh Kudus yang memilih paus, Kardinal Ratzinger saat itu memberikan jawaban yang membumi ( Zenit, 4 Maret 2025):
Katanya: Saya akan mengatakan bahwa Roh Kudus tidak benar-benar mengendalikan urusan tersebut, tetapi seperti seorang pendidik yang baik, seolah-olah, memberi kita banyak ruang, banyak kebebasan, tanpa sepenuhnya meninggalkan kita. Dengan demikian, peran Roh Kudus harus dipahami dalam pengertian yang jauh lebih elastis, bukan bahwa ia mendikte kandidat yang harus dipilih. Mungkin satu-satunya jaminan yang ia tawarkan adalah bahwa hal itu tidak dapat sepenuhnya hancur.
Dalam bahasa lain Ignatius Kardinal Suharyo mengatakan jangan dibayangkan bahwa Roh Kudus menjelma menjadi seekor merpati putih yang hinggap di bahu para kardinal yang ikut konklaf. Tapi, Roh Kudus memberikan pikiran dan hati yang bening, yang bersih dan menuntun para kardinal untuk mengambil pilihan yang tepat, penuh kejujuran, kebebasan, dan tanggung jawab demi masa depan dan kebaikan Gereja dan Dunia.
Kata Kardinal Ratzinger, jika para pemilih mengindahkan suara Roh dengan cara seperti itu selama konklaf, mereka akan mempertimbangkan beberapa faktor untuk mempersempit sejumlah kandidat menjadi beberapa, siapa pun yang mereka anggap kompeten untuk memimpin Gereja di masa mendatang. Meskipun sedikit yang akan mengakuinya, geopolitik adalah salah satu faktor tersebut.
Sebelum konklaf modern, memang, motivasi politik adalah hal yang lumrah, jika tidak perlu, untuk pemilihan Uskup Roma. Pemilihan paus di Viterbo yang berlangsung hampir tiga tahun (1268 – 1271) karena tarik ulur kekuatan dan persaingan kepentingan: antara kekuatan Italia dan Perancis. Lagi pula, selama lebih dari seribu tahun, para paus memegang kekuasaan duniawi (temporal power) , bukan hanya spiritual dengan adanya Negara Kepausan. Bahkan pada abad keempat, adalah hal yang wajar bagi otoritas kekaisaran untuk menentukan siapa yang akan menggantikan Petrus.
Maka menurut Kardinal Ratzinger, adalah naif jika berpikir bahwa geopolitik tidak ada hubungannya dengan pemilihan Kardinal Karol Wojtyła (Paus Santo Yohanes Paulus II) pada bulan Oktober 1978. Saat tampil di balkon Basilika St Petrus untuk pertama kalinya, Paus asal Polandia itu mengakui bahwa para kardinal memanggilnya “dari negara yang jauh” meskipun ia “selalu dekat dalam persekutuan iman dan tradisi Kristen.” Mereka yang mengenal Uskup Agung Kraków tahu bahwa ia adalah seorang yang memiliki bakat luar biasa, dan mereka mampu meyakinkan orang lain tentang hal yang sama.
Demikian pula, Paus Fransiskus mengatakan hal yang sama ketika tampil pertama kali di balkon basilika. “Tampaknya saudara-saudara saya (para kardinal) pergi ke ujung dunia untuk memilihnya,” katanya pada tanggal 13 Maret 2013 dari balkon tengah Basilika Santo Petrus. Maka, sering dikatakan “Dialah Paus dari ujung dunia”; dari pinggiran dunia.
Tidak Diragukan

Apakah kemudian berlebihan kalau dikatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa geopolitik merupakan faktor dalam pemilihan paus, meskipun misi spiritual utama seorang Paus memastikan bahwa mereka tidak akan pernah menjadi faktor tersebut. Seberapa besar pengaruh mereka—banyak dicatat sejarah, seperti peran Paus Santo Yohanes Paulus II terhadap runtuhnya komunisme.
Peran global Paus Fransiskus pun tidak mungkin dipungkiri. Saat pemakaman banyak pemimpin dunia dari berbagai spektrum politik dan agama memberikan penghormatan padanya atas karya dan kehidupannya. “Paus Fransiskus adalah suara transenden untuk perdamaian, martabat manusia, dan keadilan sosial. Ia meninggalkan warisan iman, pelayanan, dan belas kasih bagi semua orang – khususnya mereka yang terpinggirkan atau terjebak oleh kengerian konflik. Ia juga memahami bahwa melindungi rumah kita bersama, pada hakikatnya, merupakan misi dan tanggung jawab moral yang mendalam yang menjadi milik setiap orang.” António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB. (Catholic Herald, 30 April 2025).
Imam Besar Al-Azhar, Cairo, Mesir, Ahmad al-Tayyib menggambarkan Paus Fransiskus sebagai “tokoh kemanusiaan yang terhormat” dan “sahabat sejati bagi umat Islam”. Ia memuji dedikasi Paus dalam melayani kemanusiaan, membela yang lemah, dan memromosikan dialog antar-agama, khususnya menekankan upaya untuk memajukan hubungan Islam – Kristen, misalnya dengan menandatangai Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan (sering disebut sebagai Deklarasi Abu Dhabi; saat di Jakarta, September 2024, Paus menandatangani Deklarasi Istiqlal yang memiliki napas yang sama dengan Deklarasi Abu Dhabi). Al-Tayyib juga mengakui pembelaan Paus Fransiskus terhadap Palestina dan rakyat Gaza (Ahram Online, 21 April 2025)
Kata pemimpin umat Muslim Shiah di Iran, Grand Ayatollah Sistani, “Paus Fransiskus memainkan peran penting dalam memperjuangkan perdamaian dan hidup berdampingan, serta berdiri dalam solidaritas dengan mereka yang tertindas dan teraniaya di seluruh dunia. Otoritas Agama Tertinggi menyampaikan belasungkawa kepada para pengikut Gereja Katolik dan berdoa agar mereka diberi kesabaran dan penghiburan, dan agar Tuhan memberkati umat manusia dengan kebaikan, belas kasihan, dan kedamaian.”
Maka, “Paus Fransiskus akan dikenang sebagai salah satu pemimpin paling berpengaruh di zaman kita dan saya merasa lebih baik karena pernah mengenalnya. Ia membuat semua orang merasa diterima dan diperhatikan oleh Gereja. Ia mempromosikan kesetaraan dan mengakhiri kemiskinan dan penderitaan di seluruh dunia. Di atas segalanya, ia adalah Paus untuk semua orang. Ia adalah Paus Rakyat – cahaya iman, harapan, dan cinta.” Mantan Presiden AS Joe Biden
Pada akhirnya, kita semua menunggu bagaimana para kardinal dengan bimbingan Roh Kudus memilih seorang Uskup Roma, Vikaris Yesus Kristus, Penerus Para Rasul, Paus Tertinggi Gereja Universal, Primat Italia, Uskup Agung dan Metropolitan Provinsi Romawi, Penguasa Negara Kota Vatikan, Hamba para Hamba Tuhan…..
Apakah nama-nama kardinal yang sudah beredar, yang difavoritkan atau apakah akan muncul nama lain; akan muncul kejutan seperti Konklaf 1979 dan Konklaf 2013. Karya Tuhan memang seringkali selalu mengejutkan.
Kata pepatah Italia “Ia yang masuk ke Konklaf sebagai paus, keluar sebagai kardinal.” ***
Foto-foto lain:

Nuansa politik memang ada dimana2 yaaa…
Yang penting kebaikan beragama tetap berjalan seperti yang sudah-sudah…
Selamat berbahagia di sisi-Nya Paus..
🤲🌹🤲
Dad dig dug… siapa pengganti Paus Fransislus…. berharap yang terbaik… berserah kpd penyelenggaraan Ilahi..dg bimbingan Roh Kudus.
Untuk meneruskan karya Paus Fransiskus, semoga Paus berikitnya berasal dari imam ordo Serikat Yesus.
Pasti segera hadir lagi cahaya iman, pembawa perdamaian dan harapan-harapan yang mengangkat martabat manusia . . .
Semoga Roh Kudus menuntun para Kardinal untuk memilih Paus yang tepat dan karya2 Bapa Paus Fransiskus dapat dilanjutkan ….🙏
Semoga Paus yang terpilih dapat melanjutkan misi suci Sri Paus sebelumnya. Tks pencerahan yg disampaikan Pandito Ias. Salam
Semoga para Kardinal berhasil memilih Paus bàru dengan bimbingan Roh Kudus. Terima kasih Mas Trias untuk pengamatannya
Mencerahkan. Terima kasih pa Dubes
Terima kasih ilmunya Mas