BERGESER DARI EROPA

Hari Rabu sore, tanggal 7 Mei 2025, konklaf akan dimulai untuk memilih paus baru setelah wafatnya Paus Fransiskus, 21 April 2025. Siapa paus baru nanti? Itu pertanyaan yang wajar.
Apakah paus baru akan melanjutkan kebijakan-kebijakan pembaharuan Gereja yang dilakukan oleh Paus Fransiskus? Apakah setelah paus dari “pinggiran” akan kembali ke paus “tengah” atau tetapi di “pinggiran?” Itu pertanyaan lanjutannya. Masih ada pertanyaan-pertanyaan lain.
Bisa dipahami ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab, tercatat dalam sejarah bahwa kepausan Paus Fransiskus selama 12 tahun, dengan fokus pada “gereja miskin untuk kaum miskin,” menyerukan Gereja Katolik untuk meninggalkan zona nyamannya dan mendirikan tendanya di antara komunitas termiskin. “Gereja berperan sebagai ‘rumah sakit lapangan’, yang lebih peduli kepada mereka yang menderita daripada membela kepentingannya sendiri, mengambil risiko akan hal-hal baru, agar lebih setia kepada Injil,” katanya (Vatican News, 14 Mei 2022).
Kata Paus, saat bertemu dengan kelompok Iglesias Hospital de Campaña, Gereja Rumah Sakit di Lapangan, (Vatican News, 4 November 2024), Gereja perlu untuk menabur harapan, “bagi setiap orang yang Anda sambut,” apakah mereka tuna wisma, pengungsi, bagian dari keluarga yang rentan, korban perang, atau terpinggirkan karena alasan apa pun. Sebab, “harapan Kristen lebih besar daripada situasi apa pun, karena didasarkan pada Tuhan dan bukan pada manusia.”
Paus Fransiskus membuka diskusi tentang topik-topik yang dulunya dianggap terlarang, seperti peran perempuan. Ia menyambut umat Katolik LGBTQ sebagai “anak-anak Tuhan” dan membuka pintu bagi mereka yang bercerai dan menikah lagi untuk menerima komuni. Ia juga menarik perhatian dengan kritiknya yang keras terhadap ketidakadilan ekonomi dan seruannya untuk melindungi lingkungan.
Meskipun, tidak semua kalangan Gereja menyepakati pembaharuan atau reformasi yang dilakukan Paus Fransiskus selama 12 tahun masa kepausannya. Karena itu, Paus Fransiskus menghadapi perlawanan sengit dari kelompok Katolik konservatif yang kecil tetapi berisik, dan sejumlah ketidakpedulian serta perlawanan diam-diam dari para uskup dalam hierarki.
Padahal, bukankah ada kata-kata bijak dalam bajasa Latin, _“Ecclesia semper reformanda”_, Gereja selalu membutuhkan reformasi. Kata Kardinal Pietro Parolin (Secretary of State, zaman Paus Fransiskus), kata-kata bijak itu berarti, “Gereja harus selalu dikembalikan kepada bentuknya yang semestinya”, sambil mengingat ajaran Lumen Gentium, Terang Bangsa-bangsa (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, 21 November 1964) bahwa Gereja, “yang mencakup para pendosa dalam pangkuannya” “membutuhkan pemurnian, terus maju di jalan pertobatan dan pembaruan”. (Vatican News, 25 April 2024)
Kondisi Eropa

Persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja lebih banyak berada di negara di luar Eropa—meskipun banyak negara Eropa kebanjiran migran. Gereja Eropa, memang, menghadapi persoalan yang sangat besar pula. Kata Jørgen Skov Sørensen, sekretaris jenderal Konferensi Gereja-gereja Eropa salah satunya adalah sekularisasi massal di Eropa (World Council of Churches, 16 Februari 2022).
Eropa yang dulunya perkasa itu—sumber para misionaris ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia—kini runtuh. Eropa dulunya adalah pusat gravitasi bagi Kekristenan dunia, tetapi kini Eropa adalah tanah yang paling pagan dan ladang misi yang terbesar. Akibat sekularisasi itu terjadi kekosongan spiritual. Humanisme sekuler tidak dapat melakukan tugasnya. (Culture Watch, 4 Januari 2015)
Kardinal Lamberto dalam film The Godfather III (1990) bahkan sudah menyindir kondisi Eropa, “Lihatlah batu ini. Batu itu telah lama berada di dalam air, tetapi air tidak menembusnya.… Hal yang sama telah terjadi pada pria-pria di Eropa. Selama berabad-abad mereka dikelilingi oleh agama Kristen, tetapi Kristus tidak menembusnya, Kristus tidak hidup di dalam diri mereka.”
Peran Geopolitik

Dengan gambaran seperti di atas—Eropa dan luar Eropa—apakah pertimbangan geopolitik memainkan peran dalam pemilihan seorang paus? Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa pertanyaan tersebut mengada-ada. Tetapi, bila Anda ragu bahwa geopolitik memainkan peran dalam pemilihan paus, pikirkanlah ini: saat memilih seseorang untuk menggantikan nelayan miskin dari Galilea, Rasul Petrus, para kardinal juga memilih head of a sovereign, juridical entity (kepala entitas hukum yang berdaulat) yakni Takhta Suci yang kedaulatannya “diletakkan” di Negara Kota Vatikan.
Tentang Takhta Suci, sebagai badan pemerintahan tertinggi Gereja Katolik, merupakan entitas yuridis yang berdaulat berdasarkan hukum internasional, dijelaskan dałam antara lain, dalam Bureau of European and Eurasian Affairs, Augustus 27, 20209. Sebelumnya, Cedric Ryngaert (2011) menyatakan, dalam Perjanjian Lateran (1929) yang bisa dikatakan “ibu Kandung” Negara Kota Vatikan” ditulis, “Italia mengakui hak Takhta Suci untuk melakukan tugas perwakilan pasif dan aktif, sesuai dengan aturan umum Hukum Internasional.”
Bahkan kata Cedric Ryngaert, sejak abad pertengahan—ketika masih merupakan Negara Kepausan—Takhta Suci memiliki _international legal personality._ Karena itu, Takhta Suci memiliki hubungan diplomatik dengan 184 negara. Dengan demikian, seorang Paus, selain pemimpin spiritual Gereja Katolik Roma seluruh dunia, juga menurut rumusan Timoty Byrnes (2019) adalah seorang major global celebrity, dan first citizen of global civil society, seorang pemimpin global.
Di masa kepausan Paus Fransiskus (1936 – 2025), misalnya, kebijakan Vatikan yang mempertimbangkan geopolitik terlihat dari berkurangnya pengaruh historis Eropa. Ini terlihat dari pengangkatan kardinal, tidak lagi fokus ke Eropa tetapi menyebar ke seluruh bagian dunia.
Distribusi regional dari 135 kardinal elektor sekarang mencakup 23 dari Asia (dari 37), 16 dari Amerika Utara (dari 28), Amerika Selatan 17 (dari 32) Amerika Tengah 4 (dari 8), Afrika 18 (dari 29), Asia 23 (dari 37), dan Oseania 4 (dari 4). Dengan demikian, Eropa secara benua masih memiliki paling banyak kardinal dari 114 kardinal yang ada, 53 kardinal-elektor dan 61 kardinal-nonelektor (Bolletino Sala Stampa della Santa Sede)
Selama masa kepausannya, Paus Fransiskus mengangkat 163 kardinal—sebanyak 110 orang di antaranya adalah kardinal-elektor— dari 76 negara. Misalnya, Paus Fransiskus pada tahun 2017 mengangkat kardinal pertama dari Skandinavia sejak Reformasi atau Reformasi Protestan pada abad ke-16, yakni Kardinal Anders Arborelius (75) dari Stockhlom, Swedia; kardinal pertama dari Goa (2022) sejak 465 tahun lalu, yakni Kardinal Filipe Neri Ferrao (Cardinalium Collegii Recensio). Kardinal Ferrao sekarang ini adalah salah satu kardinal-elektor karena usianya baru 72.
Paus Fransiskus untuk pertama kalinya pada tahun 2018 mengangkat putra dari kelompok indigenous peoples dari Bolivia Amerika Latin, yakni Uskup Emeritus Corcoro, Toribio Ticona Porco menjadi kardinal (Cardinalium Collegii Recensio). Meskipun tidak bisa ikut konklaf karena usianya sudah 88 tahun, tetapi kebijakan Paus Fransiskus tersebut mencerminkan visi pinggirannya.
Untuk pertama kalinya seorang uskup dari kasta paling rendah—bahkan mereka dipandang tak berkasta karena secara status sosialnya sangat rendah—di India, Dalit, yakni Uskup Agung Hyderabad, Anthony Poola, oleh Paus Fransiskus diangkat menjadi kardinal (Vatican News, 8 Juni 2022). Dalam konklaf nanti, Kardinal Poola adalah salah satu kardinal-elektor.
Pengangkatan Kardinal Poola menjelaskan visi pinggiran Paus Fransiskus: Kasih, belas kasih, dan mengulurkan tangan kepada orang-orang pinggiran, yang paling miskin di antara yang miskin. Ini juga menjelaskan tentang “Gereja yang miskin untuk orang miskin.”
Diversifikasi ini sejalan dengan visi Fransiskus tentang Gereja yang benar-benar hadir di seluruh dunia. Perjalanan apostolik Paus Fransiskus lebih jauh mencerminkan perubahan orientasi global ini, dengan membawanya ke tempat-tempat seperti Irak, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Mongolia, Indonesia, PNG, Timor Leste, dan Singapura. Tentu, kebijakan ini ada kaitannya dengan situasi global belakangan ini dan perkembangan ke depan.…(Bersambung)
Foto-foto lain:
Bersama Roma Markus Solo, Gus Ulil dan istri, Arifatul Choiri Fauzi (sekarang Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) di Kapel Sistina; para Dubes Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia di Kapel Sistina.
Kami tunggu informasi – pencerahan selanjutnya . . . Pasti menambah wawasan . . .
Sangat mencerakan dan sangat perlu. Tks pandito Ias, saya terus menunggu informasi pencerahan lainnya yang berguna, bermanfaat, serta menambah wawasan. Salam
Sangat mencerahkan, informatif dan rinci… menatap Gereja masa depan… Roh Kudus yg selalu hadir.
Mas Trias, Tks. Data terinci, sajian komposisi dan sebaran para Bapa Kardinal sangat membantu memahami geopolitik dan “kawasan pinggiran”. Semoga para Bapa Kardinal memasrahkan diri dalam pelukan Roh Allah. Berkah dalem.
Terima kasih atas tulisan yang ringkas dan komprehensif dalam memahami Konklaf yang akan segera berlangsung, teriring doa semoga Paus baru bisa menderong dan berperan kehidupan global semskin baik.Ditunggu lanjutannya mas Trias. Matur nuwun.🙏🙏
Hari ini 7 Mei 2025 konklaf mulai berlangsung; semoga 133 Kardinal elektor dari 70 negara di lima benua diberikan kesehatan yg utuh (sekurang-kurang difinisi kesehatan menurut WHO : *Bukan hanya bebas dari penyakit atau gangguan fisik, melainkan keadaan merasa baik seluruhnya, baik secara badaniah maupun secara secara spiritual dan sosial*).
Dengan demikian 133 Kardinal elektor mampu memilih Paus baru berdasarkan hati nurani dan tuntunan Roh Kudus.