Sebutannya saja pemburu, maka kerjanya memburu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuliskan, salah satu arti dari kata “memburu” adalah “berusaha keras supaya mendapat (uang, pangkat, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya).
Arti kata “memburu” itu sejalan dengan apa yang dihasrati manusia, yakni kata Herry-Priyono (2022) mengutip filsuf pokitik Thomas Hobbes (1588-1679) keberhasilan atau felicity. Yang dimaksud keberhasilan adalah meraih obyek hasrat secara terus menerus. Untuk mencapai itu, manusia butuh sarana yang disebut kekuasaan (power): harta, reputasi, jaringan teman, jaringan pemilik modal, jaringan tokoh termasuk tokoh agama, jaringan ormas, dan sebagainya termasuk jaringan buzzer.
Kata “pemburu” bila disandingkan dengan kata lain, akan memiliki arti lain. Misalnya, pemburu rente (secara sederhana yang dimaksud pemburu rente adalah pengusaha yang memanfaatkan penguasa untuk mendapat keuntungan lebih dari selisih yang diperoleh antara jumlah yang dibayar dengan kebaikan hati penguasa atau pejabat pemerintah).
Ada lagi pemburu harta karun, pemburu kuntilanak, pemburu preman, pemburu kepala (headhunter), pemburu hadiah, pemburu tepuk tangan, pemburu risiko, pemburu hikmah, pemburu mimpi, pemburu cinta, pemburu kebenaran atau filsuf ( yang diburu adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan), dan masih banyak lagi, bisa ditambah sendiri.
Yang belakangan ini populer adalah pemburu kuasa. Bila kembali ke KBBI, “pemburu kuasa” ini dapat diartikan sebagai “pengejar dan pemuja kekuasaan.” Untuk dapat menangkap yang dikejar itu (kekuasaan) maka segala cara dilakukan: mulai dari yang lembut sampai yang kasar, dari yang intelek hingga yang tampak kurang terpelajar, dari yang santun sampai yang tak tahu malu, dari yang rasional hingga yang irrasional. Pendek kata, dengan menghalalkan segala cara dan jalan, yang oleh orang-orang pintar disebut Machiavellian.
Maka tidak mengherankan –tetapi, aja kagetan, aja gumunan–kalau para pemburu kekuasaan itu sekarang ini tampak alim, saleh, agamis, santun, sopan, peduli, penuh belarasa, merendah, dan tebar pesona; bahkan menyebut-nyebut dirinya keturunan tokoh besar dan kondang di masa lalu.
Yah, semuanya boleh-boleh saja. Wong namanya usaha. Yang mereka lakukan, tak hanya menebar pesona lewat baliho besar-besar yang dipasang di mana-mana, di berbagai kota, tapi ada juga yang menumpang program pemerintah, misalnya dalam hal penanganan Covid-19 atau program minyak goreng. Ada pula yang menumpang isu yang tengah menjadi pergunjingan atau tengah menjadi kontroversi di masyarakat atau memberikan komentar sekadar untuk cari simpati dari kelompok sasaran buruannya. Meskipun, komentar tersebut bagi yang waras, yang punya nalar, yang punya hati dirasakan tidak mutu. Ora mutu.
Pendek kata, semua cara dan jalan dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas. Karena itu, mereka berusaha tampil sehebat mungkin, sememesona mungkin, semenarik mungkin, sememikat mungkin agar diyakini sebagai tokoh yang ditunggu-tunggu, seperti “Ratu Adil.”
Tetapi, kalau kealiman, kesalehan, kerendahan hati, kepedulian, kesantunan, kesopanan, dan sikap belarasa yang kental itu tidak berasal dari hati alias hanya sekadar gincu, maka akan segera pudar. Tidak awet. Apalagi bila “pesta” sudah selesai dan gagal mencapai tujuannya. Karena semuanya hanya lamis, manis di bibir saja. Maka ada peribahasa “lidah tak bertulang.”
Kedua
Itulah politik gincu. Bila politik itu semata-mata hanya diartikan– seperti disampaikan Maurizio Viroli— sebagai “keterampilan meraih serta memertahankan kekuasaan dan keunggulan kekuatan”, akan terjadi politik gincu itu; akan terjadi semacam itu.
Padahal, politik memiliki arti yang luhur, mengemban arti baik yakni perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, bonum commune. Untuk mewujudkan hal itu kata Nicolai Rubinstein (1911-2002) sejarawan Italia Renaisans kelahiran Jerman, perlu ada regimen politicum, rezim politik, yakni pemerintahan menurut hukum yang dibuat sendiri oleh warga. Ini berarti hukum untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali, tidak diskriminatif, tidak sektarian, dan menjamin terciptanya kedamaian dan keadilan.
Tetapi, arti yang ini terlupakan atau sengaja dilupakan. Sebab, dengan digenggamnya kekuasaan di tangan, lalu yang diperjuangkan adalah kesejahteraan diri, keluarganya, golongannya, dan juga kelompoknya. Maka, nggak usah heran dan risau kalau politik pun lalu dianggap sebagai kegiatan penuh siasat culas dan kotor untuk meraih kekuasaan dan memertahankan kekuasaan.
Karena yang diperjuangkan adalah meraih dan memertahankan kekuasaan, maka segala daya upaya dan cara dilakukan; termasuk jualan agama, politisasi agama, memainkan politik identitas.
Semua itu dilakukan tak peduli bahwa segala daya, upaya, dan cara itu merusak toleransi sosial, agama, dan budaya; bahkan membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Kata Buya Ahmad Syafii Maarif (1996) sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.
Cara-cara tersebut, menunjuk pada pokok dasar politik yang disampaikan pemikir Perancis Bertrand de Jouvenel. Yakni, politik berupa “upaya sistematik untuk menggerakkan orang-orang dalam rangka mengejar suatu rancangan kondisi yang dikehendaki si penggerak.”
Sekarang ini, menggerakkan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu untuk mewujudkan apa yang dikehendaki penggerak, banyak dilakukan. Antara lain misalnya dengan menggunakan agama; menggunakan politik identias yang memecah belah bangsa. Si penggerak melihat peluang itu dan lalu memanfaatkan bahkan mengeksploitasi sekuat tenaga, sebesar-besarnya, semaksimal mungkin tak peduli akibatnya, yang penting tujuannya tercapai.
Ini sontoloyo!
Tetapi, ya itu tadi, kekuasaan, memang membius sehingga membuat mata hati tertutup oleh tembok besar nafsu keserakahan, syahwat kekuasaan. Tentu itu bagi mereka yang haus, lapar, mabuk kekuasaan dan tidak bisa mengukur diri, merasa diri populer, merasa diri bisa kerja baik untuk negara dan bangsa.
Ada juga kelompok, karena didorong oleh syahwat kekuasaan yang menderu-deru, lalu menyodorkan, “menjagokan” orang yang sekadar popular namun tidak memiliki rekam jejak dan kualitas yang dibutuhkan bangsa dan negara ini. Mereka hanya menekankan aspek popularitas bukan kualitas. Hal itu tentu akan berpengaruh pada nasib negara dan bangsa di masa depan. Sebab, popularitas saja tidak akan menjadi modal yang cukup untuk membawa dan mengubah bangsa dan negara ini ke situasi dan kondisi yang lebih baik, ke zaman kemajuan, bila tanpa kualitas diri, bila miskin politik (dalam arti yang sesungguhnya) yang dibutuhkan bangsa dan negara ini.
Bagi mereka itu, istilah politik seakan-akan hanya berarti kekuasaan, hanya ada dalam kamus kekuasaan dan tidak berarti kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Karena itu mereka menggenjot aspek popularitas untuk menaikkan citra. Tetapi, sebenarnya bila hanya mengomunikasikan politik (di sini politik pencitraan) namun tidak disertai aksi politik yang konkret, nyata (sekali lagi, politik dalam arti yang adiluhung) maka sama saja menipu orang lain, mangsa “buruan” mereka. Karena yang mereka lakukan hanyalah menarik simpati untuk mendapat dukungan. Itu saja!
Ketiga
“Musim berburu” belum tiba, memang. Tetapi persiapan untuk perburuan sudah dilakukan. Bahkan sudah ada yang memulai perburuan sekalipun secara tidak resmi, sekalipun secara malu-malu kucing yang akhirnya memang memalukan bagi yang masih punya rasa malu, bagi yang kulitnya tipis.
Karena itu diingatkan oleh Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī (1207-1273), seorang sufi Persia, “Jangan pergi ke arah yang gelap, karena matahari masih ada.” Sekarang ini, semua terang-benderang. Dan, rakyat pun sudah pintar, mana pemburu kuasa dan mana pemburu hikmah, mana kebenaran…..mana penumpang kekuasaan yang akan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri serta kelompoknya dan mana yang akan menggunakan kekuasaan untuk kesejahteraan bersama. .
Ini permenungan gaya nyemoni, yen pak Jacob istilahnya ” mengingatkan” ya yng nau eling ya yg sdg ngarah 2024. Nyelekit tapi halus. Nyastra indah khas Trias, akhirnya khas kompas, krn waktu itu yg jadi Nakoda kompas ya Trias..he he he maju trus pantang mundur Kawan.
Matur nuwun, Pak Francis…terima kasih…ya, sekadar mengingatkan…moga2 ada gunanya…salam
Matur nuwun, Pak Francis…sekadar urun-urun rembug…moga2 ada gunanya….siap. terima kasih…Salam
Terima kasih, Pak Francis…sekadar urun rembuk…moga2 ada gunanya …Siap…Salam
Maturnuwun pencerahannya mas Trias. Semoga !!!
Suwun mas Trias pencerahannya…
Matur nuwun, Pakde…terima kasih……moga2 ada gunanya…salam
Sekarang ini, semua terang-benderang. Dan, rakyat pun sudah pintar, mana pemburu kuasa dan mana pemburu hikmah, mana kebenaran…..mana penumpang kekuasaan…sekarang sudah benderang…
Matur nuwun, Pak IAS
Pemburu kekuasaan dan cuan. Aneh memang pejabat nir prestasi bisa masuk 3 besar. Itukah rakyat kita? Semoga masih banyak yang waras.