KEFFIYEH DI PALUNGAN

 

Paus Fransiskus di depan patung kayu bayi Yesus beralaskan keffiyeh, di Aula Paus Paulus VI, Vatikan (Foto: Vatican News)

Apakah akan memunculkan reaksi–entah itu dukungan, pujian, atau kritikan dan kecaman–kalau menjadikan kain batik sebagai alas patung bayi Yesus di gua Natal?

Apakah reaksi kritikan dan kecaman akan ramai seperti ketika beredar foto Paus Fransiskus dan patung bayi Yesus yang terbuat dari kayu zaitun beralaskan keffiyeh? Paus membuka pameran seni tahunan di Aula Paulus VI, Vatikan.

Ketika itu, Paus mengatakan, “Jangan dilupakan saudara-saudari, yang ada di sana (Bethlehem), dan bagian bumi lainnya yang menderita karena tragedi perang.”

Jelas, bagi Paus Bethlehem, Palestina adalah penderitaan; tragedi kemanusiaan. Maka, para korban tragedi peperangan; mereka yang menderita; orang-orang tak berdaya adalah yang diingat Paus ketika membuka pameran instalasi seni itu.

Paus tidak bicara soal politik. Tapi soal kemanusian. Kalaupun itu politik maka itu politik kemanusiaan, politic of humanity. Humanities is central to politics, meminjam yang dikatakan Hannah Arendt.

Politik kemanusiaan itu menuntut keadilan yang manusiawi, di mana setiap orang secara universal dan setiap orang secara khusus dihormati, di mana kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas saling bersinggungan secara suportif.

***

Gua Natal di Lapangan St. Petrus (foto: Trias Kuncahyono)

Tapi, patung Yesus dari kayu beralaskan keffiyeh–bagian dari instalasi seni karya dua seniman Palestina, Johny Andonia dan Faten Nastas Mitwasi–telah ditarik ke ranah politik. Politik Timur Tengah yang dicirikan konflik antara Israel dan Palestina.

Konflik berkepanjangan yang telah melahirkan perang hampir seratus tahun–kalau kita sepakati perang dimulai tahun 1917, setelah dikeluarkannya Deklarasi Balfour– dengan korban jiwa tak terhitung…

Pemaknaan secara politis ini telah menimbulkan reaksi-reaksi politis pula. Padahal, Gua Natal dengan seluruh kelengkapannya, bagi Paus dan umat Kristiani merefleksikan simbolisme adegan kelahiran Yesus di Betlehem; menekankan pesan universal berupa harapan dan cinta.

Gua Natal, kata Paus adalah Admirabile Signum, Tanda Mengagumkan (Surat Apostolik). Gua Natal adalah simbolisme cinta, kedamaian dan perdamaian, persaudaraan, serta kerendahatian.

Maka, “Pemandangan Natal mengingatkan kita pada mereka yang, di tanah tempat Anak Allah dilahirkan, terus menderita akibat tragedi perang,” kata Paus.

Perang, kata Paus dalam audiensi bulan Januari 2024, adalah “kejahatan terhadap kemanusiaan. Perang bukanlah cara untuk menyelesaikan konflik. Jangan kita lupakan ini…Rakyat butuh perdamaian, dunia butuh perdamaian.”

Dalam konteks ini, sebenarnya patung Natal dari kayu zaitun itu dihadirkan di Vatikan. Tapi, keberadaannya, karena patung bayi Yesus beralaskan keffiyeh, telah disalah-mengerti; atau sengaja diartikan lain.

***

Diorama Gua Natal di susteran Castellammare

Mudah dicari tahu jawabnya mengapa patung bayi Yesus dari kayu zaitun yang dibaringkan di palungan beralaskan keffiyeh dimaknai sebagai bermuatan politik? Karena, keffiyeh menjadi simbol nasionalisme dan revolusi Palestina sejak tahun 1930-an (history of keffiyeh).

Yasser Arafat lah yang sejak tahun 1960-an, mempopulerkan lagi keffiyeh sebagai pakaian nasional dan simbol solidaritas global (Middle East Eye, 2023).

Maka orang-orang Palestina memakai keffiyeh sebagai simbol persatuan dan untuk melawan penindasan. Keffiyeh juga dipakai oleh orang-orang di seluruh dunia untuk menandakan solidaritas mereka dengan warga Palestina.

Tapi, keffiyeh juga dipakai oleh petani dan suku Badui sebagai pelindung dari terik matahari gurun, panas, pasir dan debu yang tersapu angin. Keffiyeh memiliki sejarah panjang.

Syal katun tradisional berbentuk persegi ini diyakini berasal dari tahun 300 SM, ketika bangsa Sumeria dan Babilonia mengenakan kain itu untuk membedakan kehormatan atau pangkat tinggi mereka. Syal seperti ini, tidak hanya ada di Palestina tetapi juga di banyak negara Arab (dengan nama yang berbeda-beda: Kufiyah, gutrah, Shemagh atau Hattah) seperti Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Kuwait, Qatar dan Bahrain.

***

Tradisi menghiasi Lapangan St Petrus di Vatikan dengan pohon natal dimulai tahun 1982 di zaman Paus St Yohanes Paulus II. Pohon Natal setinggi 30 meter berasal dari hutan Val di Ledro, Italia Utara (Foto: Trias Kuncahyono)

Tetapi bagi Faten Nastas Mitwasi, salah seorang seniman dalam proyek instalasi seni itu kepada The New Arab: “Karya instalasi ini merefleksikan keberagaman identitas masyarakat Palestina, baik Kristen maupun Islam, dengan menghadirkan kisah lokal yang terjadi di Betlehem 2000 tahun lalu, dengan menggunakan material lokal dan simbol nasional.”

Kata perempuan seniman ini, keffiyeh bukanlah simbol kekerasan. Ini adalah bagian dari warisan budaya kami. “Saya rasa mereka yang melihatnya sebagai simbol kekerasan perlu belajar lebih banyak tentang sejarah dan budaya Palestina.”

Patung kayu bayi Yesus beralaskan keffiyeh, sudah disimpan. Yang tinggal adalah patung kayu Bunda Maria, Santo Yusuf, serta beberapa binatang.

Meski demikian, kisah Bethlehem tetaplah Admirabile Signum. Adegan di Gua Natal, kata Paus merupakan, artisanal image of peace…. Maka, Paus selalu mengatakan, jadilah seniman perdamaian (artisans of peace) di sekitarmu dan dalam dirimu; duta perdamaian, agar dunia dapat menemukan indahnya cinta, hidup bersama…saling hormat-menghormati sebagai saudara….

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
29
+1
9
Kredensial