Kami pergi ke Padua. Kota di Italia utara itu sekitar 489 km jaraknya dari Roma. Di pagi hari, ketika masih gelap dan diguyur hujan, kami meninggalkan Roma. Dan, lima setengah jam kemudian sampai Padua.
Kata seorang suster yang menyambut kedatangan kami, hanya butuh waktu 30 menit lagi, dengan naik kereta, sudah sampai Venezia atau Venetia. Kota pelesiran yang indah dengan gondolanya itu.
Lain kali saja, kami ke sana. Sekarang, kami bertugas untuk membuka “Warung Konsuler” di Padua.
Kami ke Padua, memang, untuk membuka “Warung Konsuler”; bertemu dengan para WNI yang adalah para biarawan dan biarawati yang tinggal, berkarya, dan studi di Padua dan sekitarnya; mendengarkan cerita-cerita mereka; menampung masukan-masukan dan keluhan serta mendata ulang.
***
Padua, lebih tua 430 tahun dibandingkan Roma. Kota ini didirikan pada tahun 1183 SM oleh Pangeran Antenor dari Troya yang memimpin orang-orang Eneti atau Veneti dari Paphlagonia, sekarang wilayah Turki utara.
Dari Padua ini pada abad ke-14, berangkatlah seorang misionaris Fransiskan, Romo Mattiussi OFM yang nama Italianya adalah Odorico (Odericus) da Pordenone (Mattiusi adalah nama keluarga) ke wilayah Timur dan sampai ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia serta tiga tahun tinggal di China.
Dalam bukunya Travels of Friar Odoric of Pordenone, disebutkan ia mengunjungi beberapa tempat (sekarang) Indonesia: Sumatra, Jawa, dan Banjarmasin, antara 1318 dan 1330.
Di Jawa, ia mengunjungi Majapahit yang disebutnya sebagai kerajaan yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Buddha. Bila Romo Mattiusi mengunjungi Majapahit antara 1318 dan 1330, berarti yang meraja di Majapahit waktu itu adalah Kalagemet atau Sri Jayanagara (1309-1328). Raja kedua setelah Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309), pendiri Majapahit.
Padua memang istimewa. Ini sampai-sampai JW Goete, melabelinya sebagai zwei Seelen in einer Brust, dua jiwa dalam satu hati. Yakni rohani (agama) dan pendidikan (kebudayaan). Dari Padua-lah, bagi umat Kristiani lahir orang kudus, Santo Antonius, meskipun berasal dari Lisboa, Portugal tapi disebut Santo Antonius dari Padua, tempat peristirahatan terakhirnya. Inilah jiwa pertama.
Jiwa kedua yang menghidupi Padua adalah Universitas Padua. Universitas tertua kedua di Italia ini didirikan tahun 1222. Yang tertua adalah Universitas Bologna yang didirikan pada tahun 1088.
Maka sejak 1222, Padua menjadi pusat pendidikan (terus ingat Yogyakarta yang juga disebut Kota Pendidikan juga Kota Budaya). Universitas Padua ada dalam di barisan universitas tua di dunia: Bologna, Oxford, Cambridge, dan La Sorbonne.
Kata sejarawan Italia Paolo L Bernardini, sejak tahun 1970-an, Padua tidak hanya memiliki dua jiwa tapi tiga. Jiwa ketiga adalah kapitalis-industri. Ketiganya, terus menerus bersaing atau setidaknya jiwa ketiga berusaha hidup harmoni dengan dua jiwa lainnya yang lebih dulu hidup berdampingan secara harmonis; aman, dan damai.
***
Cerita Padua adalah cerita tentang Copernicus, Galileo Galilei, dan Dante Aligheri; selain Santo Antonius yang menjadi tujuan perziarahan umat Kristiani, untuk ngalab berkah, tentu.
Copernigus (1473-1543), ahli matematika dan astronom kondang yang menyatakan bahwa Matahari berada di pusat alam semesta dan Bumi berputar mengelilinginya, memang bukan orang Italia; apalagi Padua. Ia orang Polandia tapi pernah menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran, Universitas Padua.
Galileo Galilei (1564-1642) bukan orang Padua, tapi Pisa. Filsuf, astronom, dan ahli matematika ini pernah tinggal di Padua. Astronom yang mendukung teori Copernigus ini akhirnya dihukum Gereja.
Pada 22 Juni 1633, Galileo diadili Gereja. Dia dinyatakan bersalah karena meyakini ajaran sesat: Matahari adalah pusat alam semesta dan tidak bergerak, dan bahwa Bumi tidak berada pada pusatnya, dan memang bergerak mengitari Matahari (plato.stanford.edu).
Menurut cerita, tapi bukan fakta sejarah, setelah menyangkal pendapatnya sendiri, Galileo bergumam, “Eppur si muove” (namun “Bumi” tetap bergerak). Galileo dijatuhi hukuman penjara. Lalu diubah menjadi tahanan rumah.
Dante Alighieri (1265-1321) kondang dengan puisi epiknya, La Commedia, yang kemudia disebut La Divina Commedia. Ini tentang takdir manusia yang bersifat sementara dan kekal. Perjalanan manusia melalui neraka, api pencucian, dan sorga.
***Itu cerita masa lalu. Masa di akhir Renaisans. Zaman yang sebenarnya adalah zaman pencerahan. Tapi di zaman itu sebagian orang, terutama pemimpin agama (Gereja), masih ada yang hati dan pikirannya diliputi awan gelap Zaman Kegelapan.
Abad Kegelapan merujuk pada 900 tahun sejarah Eropa antara abad ke-5 (setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, 476 M) dan ke-14. Ada yang menyebut masa itu sebagai Abad Pertengahan–pertengahan antara Zaman Klasik (zaman ketika budaya Yunani dan Romawi berkembang dan berpengaruh kuat) dan Zaman Renaisans yang dimulai di Italia.
Di Zaman Kegelapan itu, banyak orang–terutama para pemimpin Gereja–tidak mampu bahkan tidak berani mendengarkan pendapat, suara yang berbeda. Apalagi hal itu akan merugikan mereka. Salah satu korbannya adalah Galileo. Padahal, mereka telah meninggalkan Zaman Kegelapan, “The Dark Ages.”
Pada Abad Kegelapan, rakyat tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi kekuasaan penguasa. Di masa itu, rakyat merupakan pihak yang paling menderita karena dikenakan banyak tanggung jawab seperti pajak oleh penguasa, namun tidak mendapatkan timbal balik dari apa yang diberikannya. Penguasa adalah hukum.
Sebenarnya, pengalaman masa Zaman Kegelapan, dirasakan rakyat Indonesia pada masa otoriter Orde Baru. Pada masa itu, suara rakyat dibungkam.
Rakyat dilarang untuk mengeluarkan kebebasan pendapat. Kebebasan hanya diperbolehkan sejauh untuk melegitimasi kekuasaan penguasa. Maka ada kebulatan tekad.
Perbedaan pendapat dalam politik pun tidak diperbolehkan. Sehingga ketika seseorang kemudian berbeda pendapat dengan pemerintah ataupun mencoba mengkritisinya, maka dengan mudah seseorang ditangkap, dipenjarakan atau bahkan dihilangkan. Tidak ada kebebasan ataupun perlindungan hukum bagi rakyat.
Begitulah Abad Kegelapan. Abad yang telah lalu.
***
Memang, di setiap zaman kekuatan kegelapan selalu berusaha mencari celah untuk mengalahkan kekuatan terang. Meskipun, kekuatan kegelapan tidak akan melahirkan persatuan; justru sebaliknya perpecahan.
Sejarah telah mencatat dengan tinta tebal bahwa kekuatan kegelapan tidak akan mampu mengalahkan kekuatan terang. Sebab, terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak mampu menguasainya. Kegelapan tak akan punya daya memenjarakan terang.
Seperti Padua yang telah berjalan melewati abad-abad, tetap memberikan daya tarik, daya magis bagi banyak orang, para peziarah, memberikan terang hati bagi mereka yang percaya. Jiwanya tetap menghidupi siapa saja yang menghirup udaranya. Ia bagaikan terang yang muncul dari kegelapan…***
Foto-foto lainnya interior Basilika St Antonius:
Luar biasa. Matur nuwun pencerahannya. Dalam gati bertanya apakah Indonesia sudah lepas dari zaman kegelapan.
Dari gelap terbitlah terang kata ibu Kartini.
Josh
De, matur nuwun….Indonesia? Ya, zaman pasca-reformasi…
Gereja Katolik sudah melewati pelbagai macam jaman dan sudah banyak belajar dari hal itu sehingga tetap exist. Sekarang menjadi lebih arif dan bijaksana karena sudah belajar dari obagai situasi dan abad kegelapan yang sudah dilewati ratusan tahun lalu.
Semoga Indonesia juga bisa belajar dari sejarah pihak lain dan tidak perlu mengalami sendiri untuk semakin bijaksana.
Begitulah, Romo…jalan panjang telah dilalui…ya berkelok-kelok, naik turun-turun…jalan halus, jalan berlubang-lubang…banyak pelajaran…dan dengan tekun dijalani…
Sebenarnya kan jelas bahwa kejahatan, kekekerasan, kuasa kegelapan, kebencian terhadap sesama dan alam pasti bukan berasal Dari Allah. Tapi kok masih banyak orang meyakini dan memeluk ajaran ‘kegelapan’ itu ya?
Betul, Mas Rektor…yo itulah…menungso..menus…Salam
Wah, tulisan yang sangat menarik, Pak Dubes. Kapan-kapan kalau berkesempatan berkunjung ke Vatican, saya mampir ya…
Hei Tom, apa kabar? Ayo ke sini…lama tak bersua…
Luar biasa pak Trias Kuncono yang sudah memberikan pengalamannya dalam menjelajah dunia bahkan secara nyata menyaksikan tempat2 bersejarah Gereja dari jaman kegelapan sampai menuju jaman terang yang masih tetap mencari penerangan biar lebih terang dan bersinar dengan cahaya SurgawiNya, terima kasih dan ditunggu cerita yang lainnya Pak Kun..
Terima kasih, Mbak…sudah membacanya…Salam