CAHAYA DI MALAM HARI

Di Timur Matahari….(Foto: Trias Kuncahyono)

Carlo Musso, co-author buku Hope, The Autobiography (2025) karya Paus Fransiskus, dalam catatan pendeknya di bagian akhir buku, mengungkapkan cerita yang menimbulkan pertanyaan. Setumpuk pertanyaan.

Catatan Carlo Musso hanya terdiri atas 10 alenia, pun pula lima alenia di antaranya hanyalah berupa kalimat pendek, yang satu di antaranya kalimat sangat pendek: tujuh kata. Tapi, catatan akhir Carlo Musso ini, sangat menyimpan misteri.

Kalimat pertama dalam catatan pendeknya mengungkapkan bahwa sebenarnya buku ini–dokumen ini–baru akan diterbitkan setelah Paus Fransiskus wafat. Lho?

“Sesuai dengan keinginan Yang Mulia Paus Fransiskus, dokumen luar biasa ini awalnya dimaksudkan untuk diterbitkan setelah wafatnya.” Begitu tulis Carlo Musso.

Mengapa akhirnya buku diterbitkan saat ini? Tentu pertanyaan itu–mungkin pertanyaan banyak orang yang sudah membaca buku autobiografi ini–yang muncul. Apa urgensinya?

Paus “dari ujung dunia”, seperti dikatakan pada penampilannya pertama di balkon Basilika Santo Petrus, setelah terpilih 13 Maret 2013, memang kondisi fisiknya semakin lemah.  Sejak tahun 2022 menggunakan kursi roda. Meskipun dapat berjalan pelan-pelan dan dalam jarak yang pendek. Bahkan, ketika cerita ini ditulis, Paus Fransiskus sedang dirawat di Rumah Sakit Agostino Gemelli, sejak 14 Februari 2025.

Tidak ada yang tahu jawaban pertanyaan itu, kecuali Paus sendiri atau mungkin juga Carlo Musso. Tetapi, Carlo Musso hanya menulis “Namun Jubilee Harapan yang baru dan keadaan saat ini telah menggerakkannya untuk menjadikan warisan yang berharga ini tersedia sekarang.”

Sejak tahun 2019, dimulailah proyek penulisan buku ini. Buku itu antara lain menceritakan adanya usaha pembunuhan terhadap Paus Fransiskus pada 7 Maret 2021 yang mengunjungi Mosul, Irak, setelah bertemu dengan Grand Ayatollah Ali Al Sistani di Najaf. Usaha pembunuhan yang berhasil digagalkan itu, dilakukan seoran perempuan pengebom bunuh diri dan sebuah truk pembawa bom (bom mobil).

***


Paus Fransiskus mengawali bukunya dengan menulis, “Buku biografi hidupku ini adalah kisah perjalanan, sebuah perjalanan yang tak dapat kubayangkan terpisah dari perjalanan keluargaku, umatku, dan seluruh umat Tuhan. Di setiap halaman, di setiap bagian, ini juga merupakan buku orang-orang yang telah bepergian bersamaku, orang-orang yang datang sebelumnya, dan orang-orang yang akan mengikutiku.”

Maka, meskipun suatu autobiografi, buku ini  menceritakan banyak pihak. Sebab, kata Paus “Autobiografi bukanlah kisah pribadi kita, melainkan beban yang kita bawa. Dan memori bukan hanya apa yang kita ingat, tetapi apa yang ada di sekitar kita. Memori tidak hanya berbicara tentang apa yang telah terjadi, tetapi juga apa yang akan terjadi. Memori, dalam rumusan seorang penyair Meksiko, adalah masa kini yang tidak pernah berhenti berlalu.”

Memori bukan nostalgia. Kata Paus Fransiskus, nostalgia “menghalangi kreativitas dan menjadikan kita manusia yang kaku dan ideologis bahkan dalam lingkup sosial, politik…..” sementara ingatan, yang “secara intrinsik terkait dengan cinta dan pengalaman,” merupakan dimensi penting dalam kehidupan manusia (ChicagoCatholic.com).

Karena memori merupakan dimensi penting dalam kehidupan manusia, maka pelestarian memori sangatlah penting untuk keperluan eksistensi identitas suatu bangsa, suatu budaya, peradaban maupun menjawab masa lalu ketika sudah berada di masa depan, misalnya. Mereka yang sadar akan arti pentingnya memori, akan menolak lupa. Tetapi, ada pula yang dengan sengaja buru-buru menghapus memori dan memilih lupa.

Memori seperti sejarah. Ia masa lalu yang selalu aktual. Hanya saja, sejarah adalah warisan bersama,  communal inheritance. Maka, kita harus mengingat masa lalu kita dan menjadi kenangan akan kehidupan dan perjalanan kita sendiri. Kita harus menoleh ke belakang dan mengingatnya serta melakukannya sesering mungkin. Tidak berhenti di masa lalu. Tentu, untuk tidak mengulanginya bila masa lalu itu hitam, tapi sebagai pengingat.

Itulah sebabnya,  Paus Fransiskus memberi judul buku autobiografinya “Hope” Kata Paus, “Harapan Adalah Cahaya di Malam Hari.”  Harapan adalah keutamaan hati yang tidak tertutup dalam kegelapan, tidak berhenti di masa lalu, tidak hanya bertahan di masa kini, tetapi tahu bagaimana melihat masa depan.

Memang, tidak mudah untuk selalu berharap, kalau realitas di sekitarnya tidak menumbuhkan untuk berharap. Maka banyak orang kehilangan harapan karena berbagai alasan.  Mereka tidak lagi mampu melihat, bahkan setitik cahaya, dalam gelapnya malam.  Bagi mereka ini, harapan bukan hanya bagaikan barang langka sekarang, tetapi tidak ada. Karena, pesimisme menguasai mereka.

Dalam situasi seperti itu, ada dua pilihan sekurang-kurangnya. Mengutuk kegelapan atau menjadi lilin untuk mengusir kegelapan. Bila pilihan kedua yang diambil, maka akan menimbulkan harapan. Harapan adalah sebuah energi untuk mendorong perubahan, seperti tema Tahun Jubelium 2025 ini adalah “Pilgrims of Hope”, Peziarah Pengharapan.

***

Paus Fransiskus (Foto: Trias Kuncahyono)

Dengan buku ini, Paus Fransiskus mengajak siapa saja untuk selalu, atau sekurang-kurangnya berusaha melihat “Cahaya di Malam Hari”, sekalipun di tengah kegelapan, sekalipun kecil, sekalipun sulit sekali, memerlukan perjuangan berat. Karena memang gelap-gulita yang berkuasa.

Maka, mereka yang memiliki harapan terus berharap jangan sampai harapan itu hanyalah fatamorgana. Kata Paus Fransiskus, tragedi di Lampedua, pulau kecil di Laut Mediterania, memberikan gambaran yang jelas tentang hal itu.

Lampedusa, bagi para migran dari Timur Tengah dan Afrika adalah solidaritas dan jembatan  untuk ke Eropa. Mereka menggunakan perahu seadanya meninggalkan daratan Timur Tengah dan Afrika, membelah laut menuju pulau harapan sebelum sampai “Tanah Harapan”, Eropa. Tapi ternyata, Lampedusa itu juga sekaligus melambangkan kontradiksi dan tragedi migrasi serta kuburan bagi begitu banyak orang sebelum sampai ke tanah harapan.

Lampedusa menjadi gambaran tragedi manusia, kehidupan manusia. Di sana ada harapan, di sana pula ada tragedi, pupusnya harapan, karena kematian lebih dahulu menemuinya. Tragedi mengajarkan pada manusia, bahwa manusia tak lebih dari setitik debu di dalam keluasan dan keagungan kosmos yang ada. Ada kekuatan yang jauh lebih besar dibanding manusia. Tapi, yang sering dilupakan manusia, apalagi ketika berada di puncak kuasa.

Maka, Paus lewat bukunya mengajak semua pembaca, kita semua, agar selalu memiliki “Hope“, harapan. Harapan merupakan kerinduan, keinginan, dan cita-cita manusia. Harapan hanya ada dalam diri manusia, karena manusia yang diberikan perasaan dan akal budi. ***

Foto-foto lain:

                      

 

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
19
+1
37
Kredensial