
Beberapa hari lalu, saya bertemu beberapa kawan di sebuah warung makan di belakang Balai Kota Jakarta Selatan. Warung itu milik sahabat saya, Retno.
Ia hebat, setelah purnakarya tidak duduk manis, diam saja menikmati hari-harinya. Tidak! Tetapi, ia memilih bersibuk-sibuk mengisi hari-hari penuh makna: berwira usaha.
Retno, lebih senang tempat usahanya itu disebut, “warung makan”, bukan kafe atau resto, atau restoran Mie Kinoy. Di bawah kata “Mie Kinoy” ada tulisan “Mie dibuat sendiri setiap hari tanpa pengawet dan pewarna.”
Sepertinya tulisan tersebut, biasa saja. Tapi itu bagian dari cara berpromosi bahwa mie yang dijualnya beda dengan mie di warung-warung makan lain.
Di zaman yang serba palsu-palsu ini, tulisan tersebut sangat lah penting artinya. Penuh makna. Sebab, sekarang ini, banyak yang palsu-palsu: beras palsu, mie palsu, telor palsu, KTP palsu, identitas palsu, sertifikat tanah palsu, ijazah palsu, uang palsu, rayuan palsu, janji palsu, situs internet palsu, link palsu, berita palsu, nabi palsu, bahkan ada politik palsu.
“PHP”-lah, istilah anak zaman sekarang: Pemberi Harapan Palsu atau sekarang malah sudah menjadi Politik Harapan Palsu.
***
Tapi, ya namanya politik maka orang sering mengatakan, “wajar” kalau ada yang palsu-palsu. Orang seperti memaklumi kalau dunia politik itu penuh kepalsuan. Panggung sandiwara, kata Ahmad Albar. Di sana, kata Andre Gamble (2019) From the sublime to the ridiculous is only one step, dari yang agung ke yang konyol hanya satu langkah.
Maka ada juga yang nyebut dunia politik itu dunia topeng. Dunia topeng adalah dunia kepalsuan. Karena membuang yang aseli, dan menampilkan yang palsu. Kata David Ranciman, dunia dua muka. Mungkin, malah banyak muka, seperti Rahwana yang berdasa muka.
Dalam dunia topeng, masing-masing topeng mewakili karakter atau watak tertentu, seperti manusia. Karakter topeng antara lain digambarkan dari warna, raut wajah, mata, mulut, dan sebagainya.
Ada topeng kelana, panji, rumyang, samba; paminda, tumenggung, Prabu Asmoro Bangun, dan Dewi Sekartaji, Bapang, dan Gunung Sari. Di Bali, ada topeng keras (sosok petarung), topeng tua (sosok sesepuh), topeng bondres (rakyat biasa), dan topeng ratu (kalangan bangsawan). Semua itu memiliki karakter sendiri-sendiri.
Di Jepang, ada yang disebut topeng Oni. Topeng paling terkenal dalam dunia topeng Jepang ini menggambarkan wujud setan khas Jepang yang kemerahan, bergigi panjang, bertanduk, dan juga memiliki ekspresi wajah yang menyeramkan.
Jadi, topeng yang dipakai oleh seorang penari menunjukkan tokoh yang diperankannya; menutup wajah dan katakter aselinya. Misalnya, Topeng Tumenggung menggambarkan sosok seorang pemimpin yang mengayomi, membimbing dan menaungi rakyat dengan penuh kasih sayang. Siapa pun yang berada di dekatnya merasa sejahtera, aman, tenteram, dan damai.
Sosok Tumenggung digambarkan dengan raut wajah yang tegas, mata tebelalak dan kumis yang semakin menunjukkan kegagahannya. Sosok tumenggung ini menunjukkan sikap kedewasaan seseorang.
Topeng Bapang menggambarkan karakter seorang tokoh jahat. Maka warna topeng ini merah yang melambangkan sifat pemarah dan jahat. Karakter topeng Bapang ini mirip-mirip dengan topeng Kelana.
Topeng Kelana berwarna merah tua. Ini untuk menggambarkan watak angkuh dan kejam. Mata membelalak. Mulut menyeringai. Kelana memiliki karakter yang penuh dengan dinamika dan hawa nafsu. Namun, gagah.
Topeng Panji Asmoro Bangun, contoh lain. Topeng ini menggambarkan tokoh protagonis yang mengatur naik turunnya konflik dalam suatu cerita. Warna hijau pada wajah melambangkan bahwa ia seorang yang baik hati. Sifat jujur, sabar, gesit dan perwira ditunjukkan oleh matanya yang berbentuk bulir padi.
Bibirnya yang sedikit terbuka mengartikan bahwa ia lembut dan berbudi luhur. Titik emas diantara alisnya menunjukkan bahwa ia adalah keturunan dewa.
***

Apakah itu adalah pseudo reality (realitas palsu” atau virtual reality (realitas maya), seperti yang suka disebut-sebut sobat saya Bre Redana? Bukankah kalau ada pseudo reality juga ada genuine reality
(realitas nyata atau realitas asli).
Ah, terus terang, saya nggak paham, bukan hanya kurang paham soal-soal itu. Tetapi yang jelas, begitu bertopeng, maka wajah dan watak aseli hilang digantikan wajah topeng, wajah palsu, realitas pseudo yang menggambarkan karakter tertentu. Namun, itu wajah kepalsuan. Wajah citra.
Sebab watak topeng berbeda dengan watak orang yang bertopeng. Bisa watak topeng lebih baik, juga lebih buruk dibanding watak aseli pemakai topeng.
Itulah politik citra. Politik citra adalah politik gincu, politik bedak, politik salon, politik sandiwara. Gampangannya, itu politik palsu. Meskipun, tentu hal itu mengkhianati misi suci politik.
Tapi, sudah menjadi permakluman umum bahwa dalam politik, bermain citra ya sah-sah saja. Sebab, politik itu citra. Politik pencitraan itu penting, tapi pencitraan bukan segala-galanya. Meski ada yang beranggapan demikian.
Sebab, masih ada faktor-faktor lain, yang menentukan dalam berpolitik. Misalnya, kualitas moral, kapabilitas intelektual, dan kekuatan jaringan, perlunya memiliki modal politik, modal elektabilitas, dan modal finansial.
Kualitas moral, misalnya, dapat dilihat dari rekam jejaknya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam memimpin organisasi yang pernah dipimpinnya. Pendek kata, bila seseorang memiliki kualitas moral yang tinggi, artinya benar-benar menjadi manusia yang bermartabat.
Lalu kapabilitas intelektual. Ini berarti, memiliki penguasaan konsep kepemerintahan yang terkait dengan jabatan publiknya nanti dan mampu melaksanakannya, mampu mewujudnyatakan konsep-konsepnya itu. Bukan orang yang istilahnya “esuk dele sore tempe” alias mencla-mencle, nggak bisa dipegang omongannya.
Tapi, di lingkungan kita yang menonjol memang soal pencitraannya. Maka tidak aneh kalau sekarang ini–sebetulnya selalu terjadi saat jelang pemilu/pilkada–banyak yang tiba-tiba bermanis-manis muka dengan rakyat. Padahal sebelumnya tak pernah peduli, karena lebih sibuk mengurusi kebutuhannya sendiri; kebutuhan keluarganya, kelompoknya, dan golongannya.
Bahkan, tak jarang bandit-bandit pun menjelma menjadi malaekat yang penuh perhatian dan belas kasih. Wajah-wajah seperti malaekat muncul di mana-mana. Begitulah yang muncul ketika musim topeng tiba.
Maka itu, pada akhirnya, seperti kata David Runciman, kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik. Kemunafikan adalah bagian penting dari sistem politik kita, terutama saat kita semakin terpolarisasi.
Ada dua jenis kemunafikan dalam politik. Pertama, kemunafikan di mana politisi berpura-pura peduli tentang sesuatu dan kemudian tidak melakukan apa-apa. Dan, kedua, kemunafikan di mana para politisi berpura-pura memikirkan sesuatu tetapi melakukan hal yang sebaliknya (The Guardian, 15/2/2020)
Hal itu terjadi, kata Herry-Priyono (2022) karena politik itu tidak lahir di Firdaus, tidak beroperasi dengan idealisme transendental. Orang yang lahir di Firdaus saja, jatuh ke dalam lembah dosa. Apalagi yang tidak.
Begitulah dunia politik, yang ketika musim topeng tiba, di mana-mana akan tampil penari topeng. Tapi, bukan topeng monyet. ***
Kemunafikan manusia (Mt 7 :5), kemunafikan org Indonesia (Muchtar Lubis) Di bidang politik praktis (politisi/politikus) tingkat kemunafikannya barangkali plg tinggi. Pekerjaan memengaruhi karakter, termasuk kemunafikannya. Orang yg bekerja dan berkegiatan di bidang penelitian dan pendidikan seyogyanya menjunjung tinggi kejujuran ilmiah shg kadar kemunafikannya lebih rendah. Ada adagium : ” Peneliti boleh salah, tetapi tdk boleh bohong” ; ” Pejabat tdk boleh salah, tetapi boleh bohong” Pejabat di sini jg termasuk politikus. Ironinya, orang² yg disekitarnya jg banyak pembohong dan munafik spt tuannya. Masyarkat jg tahu sedang dibohongi, tetapi menerima saja spt kata David Runciman itu.
Hemmm. Meraforanya nyelekit. Semoga masih ada yg tak perlu pakai topeng. Ha ha ha. Trias trims..renungan dewa.
Wah sindiran dan momentum yg tepat. Dunia politik menjadi panggung sandiwara yg nyaris sempurna.