BANDUNG DI WAKTU MALAM

 

Ilustrasi foto: Kompas.com

Di lobi sebuah hotel di Jalan Juanda, Bandung, saya duduk  menikmati malam, setelah seharian keliling kota. Malam itu, saya benar-benar menikmati lobi. Duduk. Minum. Ngelamun. Melihat orang keluar masuk hotel.

Saya ingat diskusi kecil saat makan pagi dengan Achmad Ubaedillah sahabat saya yang menjadi staf pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Saat itu, kami diskusi soal Pemilu 2024.

Dalam diskusi  muncul pertanyaan:  Apakah pemilu presiden 2024 mendatang akan segawat pemilu presiden 2019 yang sisa-sisanya masih terasa hingga saat ini atau benar-benar sebuah pesta demokrasi yang dirayakan dengan penuh suka cita?

Tentu, kami berharap–juga banyak orang di negeri ini atau bahkan rakyat banyak yang masih memiliki hati dan pikiran waras, kecuali yang suka mencari keuntungan entah itu keuntungan politik atau ekonomi di tengah situasi yang tak menentu–bahwa pemilu mendatang benar-benar berkualitas.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Pemilu semestinya sungguh-sungguh merupakan sebuah pesta demorasi. Pesta rakyat. Karena pesta maka situasi dan suasananya benar-benar menyenangkan; menghibur, membuat hati berbunga-bunga. Pesta semestinya tidak membuat orang saling bermusuhan,  saling benci, saling maki dan menyakiti hati.

Bukankah,  politik itu adalah “how to win the war without the battle”. Kata filsuf dan ahli strategi China zaman dulu Sun Tzu (544-496 BC), menang tanpa bertempur adalah hasil yang paling baik dari sebuah peperangan; ngluruk tanpa bala,  menang tanpa ngasorake.

Perang selalu berakibat fatal dan vital bagi eksistensi kedua pihak yang bertikai, bagaikan “kalah jadi abu, menang jadi arang”. Kalau sudah demikian, kita semua, rakyat banyak yang akan menanggung risikonya.

Tetapi, sayangnya selalu ada yang mengatas-namakan  demokrasi lalu bertindak semaunya. Ini yang sekarang sudah mulai terasa. Pelan tapi pasti hawa panas “pesta demokrasi” sudah mulai ditiupkan dari berbagai panggung dalam beragam acara, dan disebarkan lewat berbagai media.

Benar kata Herry-Priyono (2022) demokrasi menjadi istilah untuk membenarkan apa saja, dari penyebaran hoaks hingga tribalisme politik sentimen agama. Maka ada yang melemparkan kritik tanpa dasar, tanpa data yang lengkap dan sahih. Sebab, yang penting cari popularitas.

Mereka itu lupa bahwa pernah ikut menikmati manis, gurih, dan lezatnya kue kekuasaan. Mereka lupa bahwa ketika memiliki kekuasaan tak banyak berbuat bagi kemaslahatan rakyat banyak sebagaimana diamanatkan oleh demokrasi.

Memang, di negeri ini, tidak ada larangan mengritik pihak lain. Bahkan terhadap pemerintah. Apalagi negeri ini adalah negeri demokrasi; maka kritikan mendapat tempat terhormat. Hanya saja, semua itu dilakukan dengan cara yang benar untuk mengindahkan demokrasi. Mengritik berbeda dengan melecehkan,  mengecam, dan menghina, mencemarkan nama baik seseorang atau lembaga, dan juga menghasut, misalnya.

***

Malam itu, di lobi, saya juga ingat pertanyaan kecil saat makan pagi: “Apakah pemilu presiden 2024 akan lebih baik dibanding pemilu presiden 2019 atau lebih buruk?”

Pertanyaan lanjutannya adalah, apa yang menentukan bahwa pemilu itu baik atau tidak baik? Sebenarnya, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kalaupun bisa menjawab, jawaban itu pun hanya berdasarkan common sense, bukan berlandaskan teori politik yang “ndakik-ndakik“, canggih.

Rasanya, selama para kandidat masih hanya memikirkan kepentingan elektoral, maka pemilu presiden 2024 nanti tidak akan lebih baik, tidak lebih berkualitas dibanding pemilu presiden 2019.

Memikirkan dan memburu kepentingan elektoral itu penting. Tetapi, rakyat ingin tahu apa yang akan mereka lakukan untuk membawa negeri maju. Apa visi mereka tentang Indonesia ke depan. Apa ide-idenya, gagasan-gagasannya, program-programnya yang akan menjadi persiapan sekaligus landasan untuk memasuki 100 tahun Indonesia?

Mungkin, semua itu akan mereka “jual” pada rakyat pemilih bila waktunya–menurut mereka–tiba. Maka sekarang ini, mereka masih asyik jualan citra dengan berbagai cara. Mereka keluar masuk kota, desa dan kampung, pergi ke seluruh pelosok negeri memperkenalkan diri kepada rakyat jelata, pemimpin masyarakat, juga pemimpin agama dengan tanpa henti menebar senyum dan pelukan, serta kata-kata kosong.

Begitulah memaknai politik saat ini. Bebas. Sebebas saya malam itu, di lobi hotel membayangkan pemilu yang bermutu, yang lebih baik dibandingkan pemilu presiden 2019; membayangkan pesta demokrasi yang betul-betul pesta…bukan pesta miras yang membuat mabuk kepayang…sehingga merancau, ngomong sesukanya tak peduli kiri kanan, tak peduli orang lain….***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
48
+1
7
Kredensial