“ARCH OF CONSTANTINE”

    Monumen Kemenangan “Arch of Constantine” (Foto: Erik Sadewa)

Hari itu, saya menemani empat sahabat dari Jakarta yang datang bersama rombongan para wartawan Indonesia mengunjungi Roma. Kami berdiri beberapa meter di depan monumen “Arch of Constantine”.

Diberi nama “Constantine”, karena memang dibangun untuk mengabadikan kemenangan Kaisar Constantine the Great atau Konstantinus Agung atas Kaisar Marcus Aurelius Valerius Maxentius pada 28 Oktober 312 dalam pertempuran di Jembatan Milvian.

Dengan kemenangan itu, Kaisar Konstantinus menguasai seluruh Kekaisaran Romawi Barat. Lalu pada gilirannya menaklukan penguasa Romawi Timur, Kaisar Licinius. Maka, Konstantinus menjadi penguasa tunggal atas Kekaisaran Romawi. Ia lalu mendirikan kota Konstantinopel, sebagai pusat kekuasaannya.

Itulah sepenggal kisah yang bisa “dibaca” dari monumen kemenangan yang berdiri tegak beberapa puluh meter dari Colesseum. Sambil memerhatikan para wisatawan berfoto di depan monumen, kami mengagumi warisan sejarah setinggi 20 meter dan lebar 25 meter itu.

Meskipun sudah melintasi banyak zaman–diresmikan 25 Juli 315–monumen itu masih terlihat kokoh, megah, serta terpelihara. Dan, menjadi tujuan wisata (menurut catatan, tahun 2022, jumlah wisatawan yang mengunjungi Roma, 75 juta orang).

***

Helm dan teropong serdadu Romawi (Foto:pixabay.com)

Monumen Kemenangan itu bagaikan buku sejarah yang berisi banyak catatan tentang masa lalu. Masa lalu yang tidak semua gemilang tapi juga buram; bahkan berlumuran darah dan beralaskan nyawa. Nyawa para prajurit yang menjadi pijakan Konstantinus untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa Kekaisaran Romawi.

Kekuasaan itu, berdarah-darah. Memang. Kekuasaan itu menuntut pengorbanan. Tetapi, siapa yang harus berkorban? Seharusnya orang yang akan menikmati kekuasaan itulah yang pertama-tama berani berkorban, bukan menuntut pengorbanan orang banyak untuk dirinya.

Tetapi, banyak kali bahkan biasa terjadi justru orang banyak lah yang menjadi korban, menjadi tumbal dari mereka yang haus dan lapar akan kekuasaan. Mereka yang haus dan lapar kekuasaan akan tega memangsa teman-temannya, tetangganya, anak buahnya, rakyatnya, bahkan mungkin anaknya sendiri.

Nafsu akan kekuasaan, memang ganas. Ketika nafsu akan kekuasaan merajalela dan menutup matahatinya, martabat dan kebebasan manusia diperlakukan dengan hina. Dihinakan demi kekuasaan.

Begitulah yang terjadi dari zaman ke zaman. Mengapa Kaisar Konstantinus menyingkirkan Kaisar Maxentius, misalnya? Kekuasaan! Pada masa Kekaisaran Romawi dikacaukan perang saudara, Konstantinus dan Maxentius berebut kekuasaan atas Italia.

Akhirnya 28 Oktober 312, Konstantinus mengalahkan Maxentius dalam Pertempuran Ponte Milvio (Jembatan Milvian) yang membentang di atas Sungai Tiber di luar kota Roma. Maxentius mati tenggelam di Sungai Tiber. Kemudian tubuhnya ditarik dari sungai, lalu kepalanya dipenggal dan diarak menyusuri jalan-jalan di Roma.

Itulah ekspresi kemenangan, pada masa itu. Itulah wajah kepongahan kemenangan. Dan, itulah keganasan kekuasaan yang menang.

Kemenangan ini membuka jalan Konstantinus menjadi penguasa tunggal Kekaisaran Romawi. Dan, kemenangan itulah yang diabadikan dengan Monumen Kemenangan “Arch of Constantine”.

***

Patung Kaisar Konstantinus Agung (Foto: Ancient Pages)

Tetapi, Konstantinus merasa belum cukup menyingkirkan saudara iparnya, Maxentius dan menjadi penguasa tunggal Kekaisaran Romawi Barat. Kekuasaan memang rakus. Ia seperti tikus: mengerat dan mengerat, merusak tapi sekaligus beranak pinak tak kenal waktu.

Konstantinus ingin membereskan sekaligus penguasa Kekaisan Romawi Timur yang berpusat di Nicomedia (sekarang Izmit, Turki).

Penguasa Kekaisaran Romawi Timur adalah Kaisar Valerius Licinianus Licinius, yang juga saudara tiri Konstantinus. Licinius kawin dengan Flavia Julia Constantia adik tirinya.

Konstantinus berhasil mengalahkan Licinius, dalam pertempuran di Chrysopolis (sekarang wilayah Turki), 18 September 324. Padahal, selain saudara iparnya, Licinius juga sekutu Konstantinus.

Pada tahun 313, mereka meneken Kesepakatan Milan (313). Lewat perjanjian ini mereka sepakat mengakhiri persekusi terhadap umat Kristiani, menjamin kebebasan beragama dan mendirikan tempat ibadah serta mengembalikan harta gereja yang disita negara.

Tapi seperti kata Paus Fransiskus, kelaparan dan keserakahan kekuasaan akan membuat manusia tega menghancurkan manusia lain. Licinius menjadi korban kehausan dan kelaparan kekuasaannya Konstantinus.

Seperti biasa, korban utama dari keserakahan manusia ini adalah yang lemah dan rentan. Di mana-mana, yang tak berdaya menjadi korban yang berdaya. Yang tak punya kuasa, menjadi korban yang berkuasa, menjadi tumbal yang punya kuasa.

***

Topeng-topeng kekuasaan (Foto: Istimewa)

Begitulah tabiat kekuasaan. Kekuasaan selalu memiliki banyak wajah. Kekuasaan bisa berwajah lembut memesona tapi juga garang menakutkan; bisa pula gagah memikat hati tapi bisa memuakkan.

Dan, siang itu kami memandang Monumen Kemenangan yang berdiri kokoh menerjang zaman; sekaligus yang sejatinya adalah lambang kerakusan, kehausan, dan kelaparan kekuasaan seorang kaisar di masa Imperium Romanum, Kekaisaran Romawi. ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
51
+1
19
Kredensial