ABBAZIA DI FOSSANOVA

 

Salah satu ruangan terbuka di pinggir taman. Di sinilah dahulu, di pagi hari, para rahib bertemu membicarakan banyak hal. (Foto: Trias Kuncahyono)

Ketika sampai di  kompleks Biara Abbazia di Fossanova, Priverno, Latina, Lazio Italia, ingat sejumlah biara yang pernah kami kunjungi. Di biara, sekitar 100 km tenggara Roma inilah St Thomas Aquinas meninggal dunia (1274) dalam perjalanan ke Roma dengan tujuan akhir Lyon, Perancis untuk menghadiri konsili atas undangan Paus Gregorius X.

Thomas Aquinas (1225 – 1274) dimakamkan di gereja itu hingga kemudian dipindah ke Toulouse, Perancis.  Ia adalah tokoh terhebat di Eropa abad ke-13 dalam dua ilmu unggulan pada masa itu, filsafat dan teologi.

Kami bersama para romo dan suster yang tergabung dalam Irrika (Ikatan Rohaniwan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi Roma–tapi sekarang di seluruh Italia), berziarah ke Abbazia di Fossanova.

Biara Fossanova yang sebelumnya bernama Fossa Nuova, terletak di lembah di kaki pegunungan Lepini, antara Priverno and Sonnino. Selain berada di lembah, biara ini juga berada di tepi Via Appia, jalan kuno bersejarah. Karena itu, dulu, biara ini menjadi tempat persinggahan para peziarah yang akan ke Roma.

Menurut catatan sejarah biara, yang pertama kali membangun biara di tempat ini adalah para rahib Ordo Benediktin pada tahun 529 M di lokasi sebuah vila Romawi. Biara didedikasikan untuk St Stephanus, martir pertama. Lalu pada tahun 1135 diserahkan kepada kepada para rahib Ordo Cistercians pada tahun 1135.

Mereka lalu membangun kanal baru (fossa nova) untuk drainase rawa. Karena lembah itu berawa. Para Cistercian terkenal karena keterampilan teknik pengairan mereka. Pembangunan gereja biara dimulai pada tahun 1163; itu diberkati oleh Paus Innocent III pada tahun 1208.

Gereja disebut sebagai permata arsitektur Cistercian dengan elemen Romawi dan Gotik. Dalam perjalan sejarahnya, tercatat biara ini ditutup oleh Napoleon pada tahun 1810, tetapi dibeli oleh Paus Leo XII yang memberikannya kepada Carthusian dari Trisulti. Ordo Fransiskan Konventual (OFM Conv) mengambil alih biara pada tahun 1936 dan menjadikannya sebuah perguruan tinggi.

Dan saat ini, Biara Fossanova tetap menjadi biara Fransiskan dan gereja paroki yang aktif di lingkungan yang elok dan tenang, cocok untuk menyepi, retret, dan bermeditasi…

***

Pintu masuk gereja di kompleks biara (Foto: Trias Kuncahyono)

Italia memiliki banyak biara dan biara bersejarah. Sebagian besar biara-biara tersebut berasal dari abad pertengahan. Banyak  biara di antaranya dibangun di lokasi terpencil yang menakjubkan, di puncak gunung, misalnya, atau di bukit berbatu atau daerah terpencil pada masa itu. Ada berbagai alasan mengapa biara-biara itu dibangun di tempat terpencil. Misalnya, untuk menghindari persekusi dari para penguasa yang anti-agama.

Ada masa yang disebut Era Eksekusi (Great Persecution; britannica.com), 303 sampai akhirnya, menurut David F Wright dalam  Christian History Institute (1990), ditandatangani Dekrit Milan, 313 oleh Kaisar Romawi Barat Konstantinus I (Agung) dan Kaisar Romawi Timur  Licinius.

Dekrit ini mengakui agama Kristen secara sah, dan umat dapat dengan bebas beribadah. Ada yang nyebut, ini “Dekrit Toleransi.”

Dekrit Milan menandai transisi menuju era Christian Empire telah dimulai. Dalam arti tertentu, kata Kardinal Angelo Scola, Uskup Agung Milan, dalam tulisannya di International Center for Law and Religion Studies 2012, “Dekrit Milan menandai kemunculan pertama dalam sejarah, dua fenomena yang saat ini disebut ‘kebebasan beragama’ dan ‘negara sekuler’ …”

Selama Great Persecution, para gubernur diberi dekrit langsung dari kaisar. Gereja-gereja dan kitab-kitab  suci Kristen dihancurkan demikian juga gereja-gereja, pertemuan ibadah dan misa dilarang, dan orang-orang Kristen yang menolak untuk menarik kembali ajarannya kehilangan hak hukum mereka.

Sebenarnya (Florin Lăiu dalam The Great Persecution, 2022) persekusi terhadap orang-orang Kristen sudah terjadi di masa sebelumnya. Misalnya di zaman Kaisar Nero berkuasa  (54-68), Domitian (81- 96), Trajan Decius (249 – 251), dan Valerian (253 – 260). Di zaman Nero, Rasul Petrus dan Paulus, dibunuh.

Alasan lain, biara abad pertengahan adalah komunitas biarawan, pertapa yang tertutup dan terkadang terpencil,  untuk menjauhi keduniawian dalam segala macam bentuknya, dan menjalani kehidupan sederhana dalam doa dan devosi.

***

Selasar di pinggir taman tengah biara (Foto: Trias Kuncahyono)

Biara-biara semacam ini,  pertama kali berkembang pada abad ke-4 di Mesir dan Suriah dan pada abad ke-5. Misalnya St.  Antonius (251 – 356) lahir di Koma, dekat Al-Minyā, Heptanomis,  Mesir, menarik diri dari dunia ramai pergi ke gurun. Ia menjalani hidup asketis; mematikan hawa nafsu badani dan rohani, melampaui batas-batas alam. Sepenuh-penuh hidupnya untuk Tuhan.

Ketika monastisisme dimulai,  tidak dimulai di biara-biara, tetapi di gua-gua yang tersebar di pegunungan, dan daerah terpencil. Namun, setelah itu, mereka mulai membangun biara. Biara dibangun pada pertengahan abad keempat, atau mungkin beberapa tahun sebelumnya.

Sebetulnya, di zaman sebelumnya, juga di Mesir sudah ada yang mempraktikkan hidup menyendiri di gurun. Yakni, Paulus dari Thebes. Ia disebut  St. Paul the first hermit. Kata hermit dipungut dari bahasa Latin ĕrēmīta, yang berarti gurun, tidak berpenghuni atau penghuni gurun.

Menurut  catatan Unesco (2003), Biara St. Anthonius dan St. Paul dari Thebes, terletak sekitar 10 km selatan Zafarana, sebuah tempat di pantai barat Laut Merah (sekitar 230 km tenggara Kairo). Biara pertama berada di sisi Gabal al-Alaa al-Qibliya, di sanalah terdapat gua St. Antonius dan tempat tinggalnya sampai wafatnya pada tahun 356 M. Biara kedua terletak sedikit lebih jauh ke barat di gunung yang sama tempat tinggal St. Paul selama 60 tahu.

St. Antonius disebut Desert Fathers.  Ia merupakan pertapa Kristen mula-mula yang praktik asketismenya menjadi dasar monastisisme Kristen. Mengikuti contoh kehidupan Yesus yang miskin, pelayanan, dan penyangkalan diri, para biarawan awal ini mengabdikan diri mereka pada kaul pertapaan, doa, dan kerja.

***

Bagian dalam gereja di biara. Gereja ini diberkati Paus Innosensius III, tahun 1208 (Foto: Trias Kuncahyono)

Cita-cita menjadi orang suci dan hidup sendirian di padang gurun dari waktu ke waktu makin menarik banyak orang. Adalah Pachomius atau Bakhum (292 – 348) dari Mesir yang mengembangkan ide cenobitic monasticism: meninggalkan hidup keduniawian, tinggal bersama dan beribadah bersama di bawah satu atap. Dengan kata lain, tradisi yang menekankan hidup berkomunitas.

G Romel, L Sherif, S Anshour, dalam The History of Monasteries in Egypt as self-sustained settlements (2020), menjelaskan, penerus Pochomius yakni Shenoute (348 – 465) yang nantinya disebut St Shenoute Agung menggabungkan cara hidup St Antonius Agung yang disebut semi-cenobitic dengan cara hidup St Pochomius. Menurut model St. Shenoute,para pertapa memiliki kamar sendiri-sendiri, memiliki kehidupan doa pribadi, tapi juga doa bersama-sama, dan bekerja bersama-sama.

Para anggota komunitas ini, menurut Mark Cartwight dalam Medieval Monestary–World History Encylopedia (2018) awalnya,  tinggal bersama di sebuah tempat yang dikenal dengan nama lavra, tempat mereka melanjutkan kehidupan menyendiri dan hanya berkumpul untuk melakukan ibadah. Pemimpin mereka, seorang abba (yang kemudian disebut sebagai ‘abbot, atau bapak memimpin kelompok ini.

Karena alasan itulah mereka disebut monachos dalam bahasa Yunani, yang berasal dari kata mono yang berarti ‘satu’, dan merupakan asal kata monk,  ‘biarawan’. Jadi, monachos berarti orang yang menyendiri. Mereka hidup menyendiri, menjauhi dunia ramai.

Sejak itu, tumbuh berkembang biara-biara di Mesir, terutama di sekitar Nitria (Wadi El Natrun), yang disebut “Kota Suci.”  Sejak abad ke-5 M, gagasan tentang biara menyebar ke seluruh Kekaisaran Bizantium dan kemudian ke Eropa Barat.  Santo Benediktus dari Nursia  (480- 543), yang dianggap sebagai pendiri model biara Eropa. Benediktus mendirikan Ordo Benediktin dengan sebuah biara di Monte Cassino di Italia.

***

Ketika diajak masuk ke gereja lalu kompleks biara, yang pertama kami rasakan adalah aroma masa lalu. Aroma itu masih tercium. Masih pula seperti kami rasakan ambience, suasana biara yang hidup. Kami serasa mendengar para rahib mendaraskan doa dalam nada bernyanyi:

De profundis clamavi ad te, Domine (Dari jurang yang paling dalam aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan);
Domine, exaudi vocem meam
(Tuhan dengarkanlah suaraku)
Fiant aures tuæ intendentes in vocem deprecationis meæ
(Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku)
Si iniquitates observaveris, Domine, Domine, quis sustinebit?
(Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahanku).
Domine, quis sustinebit? (Ya Tuhan, siapakah yang dapat tahan?)

Dan, bau harum dupa itu menyusup masuk hidung…. Domine, exaudi vocem meam…

Foto-foto lain:

   ç 

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
26
+1
35
Kredensial