PERCAKAPAN DI RUANG UGD

Satu

Ruang UGD di sebuah rumah sakit (Foto: Istimewa)

Hari Minggu, 17 April 2024. Sambil melangkah agak sempoyongan masuk ke ruang UGD RS Puri Cinere, kulihat sekilas jam dinding warna putih berbentuk bulat yang digantung di ruangan itu. Pukul 23.45.

Untuk kedua kalinya dalam tempo 10 hari, saya harus dibawa ke UGD.

“Boleh saya langsung tiduran di bed, tidak perlu duduk untuk ditanya-tanya? Saya merasa lemah dan pusing,” kata saya pada seorang lelaki tenaga medis.

“Oh, boleh Pak. Silakan. Di bed nomor tiga ini saja,” jawabnya sambil menunjuk bed nomor tiga. Sepuluh hari lalu, saya di bed nomor dua, yang malam itu ada pasiennya.

Sambil terbaring, saya bertanya pada diri sendiri: ada apa dengan badan ini? Mengapa harus ke rumah sakit, bukan ke hotel atau rumah makan atau mal, atau tempat-tempat yang menyenangkan lainnnya.

Beberapa hari lalu, lewat WhatsApp beberapa kawan kirim pesan dan nasihat dari yang biasa sampai yang luar biasa: semoga segera sembuh, cepat sembuh dan beraktivitas kembali, semoga sempat sembuh dan nulis lagi, tak tunggu tulisannya, sudahlah nggak usah ngaya-ngaya, ingat usia nggak usah ngaya, jaga kondisi alias ingat umur.

Ada lagi yang nulis: Saiki iki semangat kudu nari awak. Yen nuruti pikir ora ana enteke. Wis wayahe akeh tetirah ben awet. Nggih mboten? Enggal dangan. Ndang dolan dolan.

Yang lain nulis, Enggal dangan Pakde, Gusti tansah mberkahi. Ndherek nyenyuwun Mas mugi enggal sehat.

Nderek nyenyuwunke mas, kanti istirahat gerah, diparingi Gusti wektu kanggo lelimbang, refleksi, nimba semangat anyar. ( entuk Gusti)….Walah gerah tho… Enggal dangan lan bregas maneh. Tetep Semangat, Bung…

Dua

Foto: Kompasiana.com

Banyak teman dan sahabat baik. Memperhatikan. Saya pejamkan mata, berusaha memahami pesan teman-teman, sambil berdoa, terima kasih Tuhan, saya masih punya teman yang peduli.

“Kenapa, Pak?”  Saya dengar suara bariton menyapa. Buru-buru saya buka mata. Saya lihat seorang dokter berbadan besar, berkulit coklat, rambut agak sedikit gondrong melihat saya dengan pandangan ramah.

Belum sempat saya jawab, dokter itu mengatakan, “Menurut perawat, tensi ok, gula darah juga ok, saturasi ok, saya baca hasil lab seminggu lalu ok meski ada catatan kecil, ….”

“Lalu, kenapa ya Dok, saya pusing, lemas, perut perih sekali, mual-mual?” tanya saya.

“Muntah-muntah? Berapa kali? Apa sama dengan waktu beberapa waktu lalu datang ke sini?” tanya dokter.

“Iya, muntah-muntah tapi cuma dua kali,” jawab saya.

“Sampeyan mikir apa, Pak?” Pertanyaan dokter membuat dahi saya berkerut?  Lalu bertanya, “Memangnya kenapa, Dok?”

“Sudah, Pak, semeleh saja. Disyukuri saja…kalau bisa muntah-muntah ya alhamdulillah asam lambung keluar, kalau nggak muntah-muntah ya alhamdulillah asam lambung cair, kalau bersendawa terus ya bagus gas lambung keluar…Nggak usah mikir negara, negara sudah ada yang mikir, macam-macam. Ada yang mikir bagaimana cara mbangun. Ada yang mikir bagaimana caranya ngrusak, bagaimana caranya korupsi, caranya nipu, dan banyak lagi,” kata dokter

“Lho, ini ceritanya gimana, Dok?” tanya saya karena nggak paham

“Ini menurut saya, asam lambung naik. Itu yang bikin perut perih, mual-mual, sesak napas, juga rasa perih sampai tenggorokan, dan suara sampeyan serak….asam naik itu bisa karena pikiran berat dan…”

“Maaf, Dok…dokter namanya siapa?” kata saya memotong penjelasan dia.

“Oh, nama saya? Nama saya Bedjo. Kok berkerut jidatnya, pasti nggak percaya kalau nama saya Bedjo. Lha, saya ini wong ndeso. Saya dari Batang, tapi ndeso. Ya, oleh orangtua saya diberi nama ndeso, Bedjo. Lengkapnya Bedjo Soebakti,” jelasnya.

Mendengar nama lengkapnya, saya langsung ingat kawan SMA saya dari Magelang entah sekarang di mana yang namanya hampir-hampir mirip: Bedjo Subekti. Kawan itu juga pinter, suka menceritakan banyak hal. Pengetahuannya luas. Bacaannya banyak dalam berbagai bidang, ya budaya, filsafat, humanisme, politik, pendidikan, dan tentu agama yang sekarang ini menjadi komoditas yang sangat popular.

“Jadi, Pak,” kata dokter Bedjo “naiknya asam lambung ke tenggorokan yang biasa disebut GERD atau Gastroesophageal reflux disease–nggak usah diingat-ingat, Pak, sekadar pernah dengar saja dari dokter Bedjo (lalu tertawa)–adalah suatu keadaan ketika cairan di lambung berbalik naik ke kerongkongan. Cairan tersebut dapat memicu peradangan dan mengiritasi lapisan dalam kerongkongan.”

“Lalu gejalanya apa, Dokter?”

“Ya, seperti yang sampeyan katakan dan alami itu. Gejala utamanya adalah nyeri pada ulu hati yang terus-menerus dan naiknya asam lambung ke kerongkongan. Tapi ada pula orang yang mengalami GERD tanpa merasakan nyeri di ulu hati; mereka mungkin merasakan sakit di dada, suara serak di pagi hari, atau kesulitan menelan,” jelas dokter Bedjo sambil berdiri di sisi kanan bed saya.

“Apa ada gejala lain, Dok?”

“Ada. Misalnya,  merasakan urat pada kerongkongan seolah ditarik, mirip saat tersedak makanan. GERD juga dapat menyebabkan batuk kering dan bau napas tak sedap. Hanya dokter yang dapat mendiagnosis GERD. Jika Anda merasakan kondisi seperti ini, segera hubungi dokter. Hahaha…seperti iklan, ya” katanya disusul tawa.

Kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.35. Oh, sudah lebih setengah jam kami ngobrol soal GERD. Dokter Bedjo begitu semangat menjelaskan. Sambil tetep tiduran saya mendengarkan, nggak ada tindakan medis. Obrolan dengan pasien itu bagian dari tindakan medis, barangkali. Saya senang.

Kata dokter Bedjo kemudian, “Pak, asam lambung yang berlebihan di kerongkongan bisa menjadi masalah serius. Karena itu, penting bagi sampeyan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat mencari obat sakit maag yang lebih manjur.”

Tiga

SMA Kolese De Britto (Foto: Semarang.bisnis.com)

Kami masih ngobrol panjang soal penyakit dan bagaimana menyikapinya. Lalu, Dokter Bedjo cerita perjalanan karirnya, dari sejak SMA di Yogya, Kolese De Britto lalu Fakultas Kedokteran UGM. Ia cerita permusuhannya dengan ibu kos selama bertahun-tahun.

Sejak SMA, Bedjo indekost di daerah Ngupasan depan kantor polisi. Tapi, nyaris sejak awal ia musuhan dengan ibu kostnya. Bedjo pernah bilang kepada mbok-nya  ingin pindah kost, eh dilarang disuruh bertahan hingga lulus SMA.

“Di waktu SMA, oleh guru saya, namanya Pak Mantri….saya diberi nama Purba…Kata dia….” belum selesai omongannya sudah saya sela. “Oh, Pak Mantri bong supit..”

“Betul. Lho, sampeyan kok tahu..ya dia. Saya diberi nama Purba. Katanya nama itu cocok untuk saya, sesuai dengan wajah saya yang jelek ini,  seperti wong purba….hahahaha….”

Kami yang mendengar cerita itu tak kuasa menahan tawa…ruang UGD pun seperti hidup. Tetapi, ada rasa bersalah pada pasien di bed nomor dua. Saya nggak tahu, apa yang dirasakan pasien itu, mendengar ledakan tawa kami, yang kudengar hanya suara tuit…tuit…tuit….tuit….

Begitu tawa reda, saya lalu bertanya, “Dok, katanya, Pak Mantri suka kasih nama murid-muridnya dengan nama yang aneh-aneh, ya?”

“Oh, iya, Pak…itu kenangan kala esema yang tak terlupa.”

“Lalu bagaiman cerita ibu kost tadi  yang sampeyan musuhi?”

Sebelum menjawab dokter Bedjo tertawa. “Oh iya, jadi selama kuliah saya juga tetep kost di tempat itu. Meskipun setelah tamat SMA, mbok saya pernah bertanya  ‘Jadi pindah kost?’ Saya jawab, ‘Tidak.’ Saya bisa diterima di UGM juga karena nama saya, ‘Bedjo’. Lha gimana enggak, teman sekost bahkan sekamar saya, yang juga sama-sama di De Britto dan nilainya selalu lebih bagus dibanding saya, nggak keterima di Kedokteran UGM.”

“Selama kuliah saya juga nggak pernah baikan dengan ibu kost. Bahkan, pada tahun kelima, jelang tahun terakhir kuliah, saya tambah edan. Suka dugem, begadang, pulang malam bahkan subuh. Ibu kost marah. Pintu digembok. Pagar dipasang kawat berduri. Tapi, saya tidak peduli.”

“Wow…hebat banget sampeyan dok…hebat nekadnya.”

“Suatu malam, saat  pulang,  saya langsung diseret ibu kost masuk ke kamar. Di dalam, saya di marahi habis-habisan….yang saya masih ingat, ibu kost bilang, ‘…dasar anak randha nggak tahu diri…mbokmu mbanting-tulang cari biaya kuliah, kamu tak tahu diri, ngedan….’ Saya nangis mendengar itu……”

Kata dokter Bedjo, “Sejak itu, saya seperti dibangunkan, disadarkan…dan baru ingat, ini tahun terakhir…dan dari 12 nilai yang harus masuk, saya baru masukkan dua nilai…maka saya kejar yang 10 nilai….alhamdulillah berhasil….gara-gara dimarahi ibu kost.”

Empat

Ilustrasi foto: Istimewa

“Ya, begitulah jalan hidup saya, Pak. Saya si Bedjo ini beja ketemu ibu kost yang baik, walau saya musuhi. Maka sejak itu, saya jalani hidup ini dengan penuh syukur, juga berusaha mengajak pasien, termasuk sampeyan, untuk selalu bersyukur dalam kondisi apa pun. Tidak aneh-aneh. Sumarah. Sumeleh.”

Kata Imam Al-Gazali, “Ketahuilah bahwa rasa syukur merupakan tingkatan tertinggi, dan ini lebih tinggi daripada kesabaran, ketakutan (khauf), dan keterpisahan dari dunia (zuhud).”

Maka Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), seorang  teolog dan pastor Lutheran Jerman yang dibunuh di kamp konsentrasi Nazi pernah berkata, “Hanya oleh rasa syukur saja kehidupan ini menjadi kaya.”

Jika seorang seperti Bonhoeffer yang hidup dan disiksa di kamp penyiksaan bisa berkata demikian, maka terlebih lagi kita semua. Kita diminta untuk mengingat semua hal—baik itu besar ataupun kecil—yang telah diberikan kepada kita.

Maka, Confitemini Domino quoniam bonus! bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Mengucap syukur adalah pilihan, bukan perasaan. Sebab, tak satu peristiwa pun merupakan suatu kebetulan. Semua-nya dalam penyelenggaraan Ilahi, providentia Dei.

Rasa syukur memiliki dampak yang besar untuk jiwa kita. Secara psikologis maupun spiritual, rasa syukur dapat mengurangi stres, kegelisahan, dan juga kekhawatiran.

Mengucap syukur adalah kendali untuk tetap rendah hati. Bersyukur dalam setiap situasi membantu kita semua tetap kuat menghadapi segala persoalan.

Dokter Bedjo benar, bahwa kita harus selalu bersyukur. Dalam rumusan Pak Jakob Oetama, “Bersyukur tiada akhir.”

Maka di ruang UGD, malam itu dalam hati kuucapkan: Ya, Hyang Ilahi, Engkaulah yang membentuk buah pinggangku dan menenun aku di dalam  rahim ibuku. Engkau menyelidiki dan mengenal aku. Segala jalanku Kau maklumi.

Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat rumahku di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntunku, dan tangan kanan-Mu memegangku.

Maka kuserahkan segala diriku seutuhnya kepada-Mu…inilah tanda syukurku pada-Mu.

Mungkin ucapan syukur kita ibarat kata hanya setetes air di samudra.  Tetapi seperti kata Bunda Teresa “We ourselves feel that what we are doing is just a drop in the ocean. But the ocean would be less because of that missing drop”. Kita merasa bahwa perbuatan kita hanyalah setetes air di samudra. Namun, samudra akan berkurang jika setetes air tersebut tidak ada.

Terima kasih dokter Bedjo

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
2
+1
4
Feature Kredensial