Masa lalu tak pernah selesai. Begitu katanya. Maka ketika kemarin saya bertemu dengan teman-teman lama yang dulu sama-sama di harian Kompas, masa lalu itu segera segar kembali.
Sebenarnya, belum lama-lama amat kami tidak berjumpa setelah sama-sama purnakarya, bahasa halusnya dari pensiun. Tetapi, yang namanya pertemuan, apalagi dengan kawan lama, tetaplah menyenangkan, mengesankan, dan menghidupkan lagi kenangan lama.
Kami diskusi ringan-ringan, cerita-cerita, ngobrol, ketawa-ketiwi, sambil menikmati kopi, teh, dan makanan ringan di kafe tempat kami bertemu. Dan, foto-foto, seperti biasanya dalam suatu pertemuan.
Perbincangan tentang politik mendominasi obrolan kami. Bicara tentang politik, tentang kekuasaan–walau kami tak punya kekuasaan apa pun–selalu menarik. Apalagi politik saat ini yang mulai menghangat menyongsong Pilpres 2024.
Dalam kaitan dengan Pilpres 2024, politik mengandung arti keterampilan meraih serta memertahankan kekuasaan dan keunggulan kekuasaan. Kata Herry-Priyono (2022), di akhir abad ke-16 dan terutama awal abad ke-17, istilah “politik” punya arti peyoratif sebagai kegiatan penuh siasat, culas, dan kotor untuk meraih kekuasaan dan memertahankan kekuasaan.
Itulah mungkin lalu ada anggapan umum bahwa politik itu kotor. Tetapi, kata Franz Magnis-Suseno (1992), anggapan “politik itu kotor”, menjegal semua politisi atau calon politisi yang tetap mau jujur, yang sungguh-sungguh percaya pada cita-cita mereka.
Anggapan tersebut juga sekaligus berfungsi sebagai pembenaran atau legitimasi ketidakjujuran dalam politik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa anggapan itu mempunyai fungsi yang lebih mendasar dan berdampak lebih luas: prasangka ini melegitimasikan negara kekuasaan.
***
Apalagi, kata banyak orang panggung politik sekarang ini semakin menjadi panggung sandiwara, meminjam istilahnya Ahmad Albar. Memang, orang seringkali lebih fokus pada aspek-aspek negatif politik. Bisa dipahami. Karena di dunia politik terjadi korupsi dan juga ketamakan-ketamakan lain dalam beragam bentuk dan wajah.
Maka tidak bisa dipungkiri, ada kesan bahwa orang biasa biasanya kurang atau malah tidak tertarik pada politik. Mengapa demikian? Ini karena wacana politik di negeri ini sering hanya di sekitar kekuasaan, dan jarang sekali wacana itu berkenaan dengan kesejahteraan umun (bonum commune).
Tetapi, kata Andrew Gamble (2019), tanpa politik kita akan tersesat. Nah, itulah. Politik membingkai semua yang kita lakukan; membingkai hidup kita.
Dengan kata lain, politik hadir dalam semua situasi. Oleh karena itu, kita menemukan politik di mana-mana: di perusahaan, organisasi sukarela, organisasi sosial, organisasi olah raga, di sekolah dan sebagainya. Bahkan di lembaga-lembaga agama sekalipun.
Politik juga memiliki kekuatan untuk membawa perubahan yang nyata dan positif; juga bisa sebaliknya. Sebab bisa jadi di tengah jalan dibajak, dan arahnya dibelokkan. Atau, naik penumpang-penumpang gelap, yang memiliki tujuan berbeda.
***
Maka sebenarnya, politik itu bukan tujuan, tetapi sarana. Tujuan politik adalah menciptakan kesejahteraan bersama. Politik juga bukan produk, tapi proses. Proses untuk mewujudkan kesejahteraan bersama itu. Lewat politik, kesejahteraan hendak diwujudkan. Lewat politik, sebuah masyarakat dengan tatanan adil dan makmur, diwujud-nyatakan.
Karena itu salah satu definisi politik berbunyi politics is the art of government, politik adalah seni memerintah. Seni memerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Itu kata Otto von Bismarck, perdana menteri Prussia dan pendiri serta kanselir pertama Kekaisaran Jerman.
Itu mungkin definisi klasik tentang politik, yang dikembangkan dari makna asli istilah tersebut di Yunani Kuno. Kata ‘politik’ berasal dari polis, yang secara harfiah berarti negara-kota.
Masyarakat Yunani kuno dibagi menjadi kumpulan negara-kota independen, yang masing-masing memiliki sistem pemerintahannya sendiri. Yang terbesar dan paling berpengaruh dari negara-kota ini adalah Athena, yang sering digambarkan sebagai cradle of democratic government, palungan tempat lahirnya pemerintahan yang demokratis.
Banyak yang memiliki kesan bahwa orang biasa biasanya tidak tertarik pada politik karena berlangsung pada tingkat yang terlalu abstrak atau terlalu jauh dari mereka. Politik itu bikin pusing. Pendapat seperti yang sering terdengar.
Karena itu, kalau ada yang bertanya apa benar ya bahwa politik itu sarana bukan tujuan, tidaklah aneh…ini sekurang-kurang tercermin dari masih ada dan hidupnya ungkapan “The End of justifies the Means”, tujuan menghalalkan cara.
Begitulah, katanya, politik itu. ***
selalu menarik dan segar ulasannya, Romo
Ustadz, terima kasih banyak..telah meluangka waktu untuk membaca dongeng ini…salam
Ulasan yg menarik dan menambah wawasan
Terima kasih banyak telah meluangkan waktu untuk membaca…salam
Pada awalnya, jaman para filsuf Yunani, politik itu bagus, indah dan tujuan mulia karena bertujuan bagi kebaikan bersama, kesejahteraan bersama.
Politik menjadi buruk karena yg ingin dicapai bukan lagi kesejahteraan bersama dan kebaikan bersama tetapi tujuan egois pribadi dan golongan dan dengan melegalkan segala macam caraa. Semakin lama semakin parah.
Sepakat Romo… begitu yang sekarang kita lihat….politik bukan atau tidak lagi menjadi ladang pelayanan namun
ladang penghidupan…kekuasaan atau jabatan dipraksiskan dengan mental animal laborans…sehingga nggak peduli pada kebaikan umum.
kebajikan yang sering diucapkan, seiring pula semakin dilupakan….nuwun
Sebagian orang takut dengan kata politik karena terkandung di dalamnya keserakahan, permusuhan, saling jegal, saling menjatuhkan. Sebagian orang justru berpandangan positih ttg politik karena bertujuan kesejahteraan bersama. Ternyata politik sangat bergantung pada manusianya. Pisau tidak jelek. Menjadi jdlek karena manusia menggunakannya secara salah.
Betul sekali, Tjok Rai, the man behind the gun..akan sangat menentukan..karena pada dasarnya politik
memiliki tugas mulia….mengusahakan bonum commune…yang banyak terjadi adalah bonum untuk dirinya sendiri,
dan banyak yg menghalalkan segala cara untuk mewujudkan “bonum” bagi dirinya itu…nuwun
Alangkah indahnya Indonesia bila para pemimpin partainya memiliki hikmat seperti ini. Politik yang beradab dan menumbuh kembangkan peradaban Indonesia yang beragam. Bukan hanya menunggangi peradaban asing dan mengerdilkan peradaban bangsa sendiri.
Semoga demikian…itu harapan kita semua..terima kasih
Ada orang yg kekeh dg idealismenya. Ada yg menyesuaikan tuntutan keadaan.
Rupanya bbrp org pdi dh mulai berubah, demi tujuan ttt.
Ngaket nggih !
Nggih matur nuwun….ya, memang berpolitik pada prinsipnya adalah pengabdian
Aku tiwas dandan ra diajak
Hahaha…ayo, Pak Bre..ngupi2…
Lha, ayo Pak Bre…ngupi-ngupi….
kata Franz Magnis-Suseno (1992), anggapan “politik itu kotor”, menjegal semua politisi atau calon politisi yang tetap mau jujur, yang sungguh-sungguh percaya pada cita-cita mereka….terima kasih terus mengingatkan makna politik untuk kesejahteraan, Pak IAS
Sama-sama, Fikri…saya ya terus belajar…