DUA PENJAHAT

Penyaliban di zaman Romawi kuno (ilustrasi gambar: factsanddetails.com)

Alkisah, dua ribu tahun silam, ada dua penjahat–ada yang menyebut mereka itu perampok dan pencuri– yang disalib bersama Yesus di Bukit Golgota. Mereka adalah Gestas yang disalib di sebelah kiri dan Dismas di sebelah kanan.

Sebenarnya tidak aneh, kalau penjahat, apa pun kejahatannya, dihukum.  Di mana-mana, penjahat dihukum. Kejahatan berat, dihukum berat. Di zaman Romawi pelaku kejahatan berat dihukum salib, disalib.

Ribuan orang disalibkan. Pada waktu itu, disalib dianggap sebagai salah satu cara kematian yang paling brutal dan memalukan. Di zaman Romawi, proses penyaliban berlangsung lama. Sebelum disalib, terpidana mati dicambuk–ujung cambuk ada tembaga runcing–terlebih dahulu sampai tidak berdaya.

Penyaliban paling sering digunakan untuk menghukum para agitator politik, agitator dan penghasut agama, bajak laut, budak, atau mereka yang tidak memiliki hak sipil. Pada tahun 519 SM raja Persia, Darius I, misalnya, menyalibkan 3.000 lawan politiknya.

Lalu, pada tahun 88 SM Alexander Jannaeus, raja dan imam besar Yudea, menyalibkan 800 lawan orang Farisi. Dan,  sekitar tahun 32 M Pontius Pilatus memerintahkan agar Yesus dari Nazaret disalib.

***

Ilustrasi gambar: Istimewa

Sekarang ini, bentuk dan jenis kejahatan, semakin beragam. Cara malakukan kejahatan pun, semakin canggih, mengikuti kecanggihan teknologi. Atau bahkan tidak mau kalah dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi.

Apalagi kini banyak penjahat yang bertopeng, berbagai macam topeng. Entah itu topeng pejabat; topeng wakil rakyat; topeng aparat keamanan; topeng aparat penegak hukum; topeng pendidik; topeng ilmuwan dan cendekiawan; atau bahkan topeng pemimpin agama. Semua ada!

Jenis kejahatannya pun, macam-macam. Misalnya, menurut standar Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional  (Rome Statute of the International Criminal Court/ICC).

Keempat pelanggaran HAM berat tersebut adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada warga sipil, yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental), genosida (pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut).

Dua lainnya adalah kejahatan perang (pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun sipil), dan agresi (inilah sebabnya, beberapa waktu lalu ICC menyatakan Vladimir Putin sebagai penjahat perang karena melakukan agresi terhadap Ukraina).

***

    Ilustrasi gambar: shutterstock.com

Jangan lupa, korupsi juga kejahatan. Di negeri kita ini, korupsi disejajarkan dengan kejahatan luar biasa lainnya yaitu terorisme, penyalahgunaan narkotika, atau perusakan lingkungan berat. Bahkan korupsi dengan statusnya ini telah sejajar dengan extraordinary crime berdasarkan Statuta Roma, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.

Bukankah itu luar biasa? Kejahatan luar biasa. Maka, koruptornya pun, penjahat luar biasa.  Bahkan bisa dikategorikan sebagai pengkhianat bangsa dan negara.

Ternyata, pengkhianatan tidak hanya terjadi di panggung politik. Bukan hanya jabatan dan kekuasaan politik yang mendorong orang berkhianat. Uang juga bisa membuat orang berkhianat. Mengapa uang? Sebab, pecunia omnes vincit, uang mengalahkan segala-galanya.  Uang adalah kekuatan yang mahadahsyat.

Maka, demi uang orang melakukan apapun. Mereka memburu dan mengumpulkan uang dengan segala cara. Bahkan dengan cara-cara yang  tak legal,  tak etis, tak bermoral terang-terangan maupun secara rahasia. Pendek kata, menghalalkan segala cara, kata Machiavelli, termasuk mencuri, menerima suap, sogokan, mark up, mencatut, mengutil, dan cara-cara tak pantas lainnya, sebagai orang bermartabat.

Ini merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Pengkhianatan terhadap orang-orang yang jujur, orang-orang yang bekerja keras penuh dedikasi dan integritas, orang-orang yang berpeluh-peluh saban hari di bawah terik matahari. Pengkhianatan terhadap rakyat kecil.

Perilalu tidak jujur atau curang oleh mereka yang berkuasa, biasanya melibatkan penyuapan, ini yang oleh The Oxford Dictionary didefinisikan sebagai korupsi. The World Bank Group, (2012),  mendefinisikan korupsi sebagai ‘penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi’. Transparency International (2009), menyebut korupsi sebagai ‘penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi.’

Apapun definisinya, yang mereka–para koruptor lakukan–adalah pengkhianatan terhadap rakyat!! Maka benar yang dikatakan Machiavelli, korupsi mengarah pada degradasi moral. Dari sudut hukum, korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena korupsi merusak dan bahkan menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan moral masyarakat.

Kata “korupsi” dipungut dari kata dalam bahasa Latin, corruptus, kata dasarnya, corrumpere,  artinya “merusak, menyuap, menghancurkan”.

***

Dasamuka, simbol nafsu keserakahan

Semua itu terjadi karena keserakahan. Kata pepatah radix omnium malorum avaritia, keserakahan adalah akar dari segala kejahatan. Keserakahan, ambisi,  dan amoralitas sudah dikenal  masyarakat sejak munculnya peradaban dan menggunakan setiap alat yang tersedia bagi mereka: kekerabatan, masa lalu yang sama, alumnus sekolah atau universitas yang sama, minat yang sama, persahabatan dan, tentu saja, politik serta ikatan agama.

Maka terasa ironis, di negeri yang masyarakatnya dikenal ramah, religius, taat beragama–bahkan segala macam diagamakan–rajin ibadah, praktik korupsi tetap berkembang subur. Kata Menko Polhukam Mahfud MD, korupsi di Indonesia saat ini  sudah menjadi fenomena yang gila.

Apa “fenomena gila” itu tidak bisa dibasmi? Ini penyakit keserakahan manusia, yang tidak bisa dihilangkan. Suka atau tidak suka, keserakahan yang menjadi benih korupsi selalu menjadi bagian dari sifat manusia, homo corruptus–manusia korup–dan akan terus menginfeksi masyarakat.

Maka di China, misalnya, para koruptor ditembak mati. Presiden Xi Jinping mendeklarasikan perang melawan korupsi, targetnya adalah tigers and flies, pejabat senior dan pejabat rendah, korupsi besar dan kecil. Banyak politisi dan birokrat Tiongkok yang  kini dipenjara karena korupsi, dan ditembak mati.

***

Presiden Joko Widodo (foto: Istimewa)

Hukuman berat memang pantas bagi para pengkhianat bangsa dan negara itu, pengkhianat rakyat. Sebab, korupsi menghancurkan legitimasi negara.

Maka dahulu, dua penjahat itu–Gestas dan Dismas–disalib. Memang harus demikian, seperti di China koruptor dihukum mati. Meskipun, di ujung hidupnya, Dismas menyesali kesalahan-kesalahanya, perbuatan jahatnya, pengkhianatannya terhadap rakyat. Ia rela menanggung hukuman karena menyadari kesalahannya.

Di sini? Hukuman penjara tidak membuat mereka takut. Apalagi menyesal. Buktinya, korupsi tumbuh subur–kata orang–bak jamur di musim hujan. Dan, lahirlah gestas-gestas dan dismas-dismas baru. Maka, sekarang tidak hanya ada “dua penjahat”, tetapi begitu banyak penjahat.

Benar kata Mahatma Gandhi, dunia cukup besar untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi akan selalu terlalu kecil untuk memuaskan keserakahan orang. Dan benar, banyak yang semakin serakah dalam banyak hal, termasuk, korupsi.

Meskipun Presiden Jokowi secara tegas menyatakan, “Saya tidak akan pernah memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku tindak pidana korupsi.”  ***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
33
+1
7
Kredensial