ACTA EST FABULA, PLAUDITE!

Wayangan dengan lakon “Dewi Sri”, di KBRI Takhta Suci (Foto: Erick Sadewa)

Seperti menuruti kehendak Octavianus menjelang kematiannya, kami berdiri, bersuka-cita, tepuk tangan begitu pentas wayang kulit selesai. Kami segera menyalami dalang dan para niyaga (penabuh gamelan): campuran Indonesia dan Italia.

Octavianus adalah kaisar besar Imperium Romanum, Kekaisaran Romawi. Istilah ini menjelaskan jangkauan otoritas dan kekuasaan (politik, pemerintahan, militer, dan budaya) Kekaisaran Romawi. Di masa kejayaannya, 117 M, wilayah kekuasaannya seluas hampir 5 juta kilometer persegi, membentang dari Tembok Hadrian di Inggris Utara hingga Timur Tengah, termasuk Mesir (nla.gov.au).

Kata  sejarawan Romawi, Gaius Suetonius Tranquillus (69 – 122), di hari menjelang kematiannya, dalam kondisi terbaring di tempat tidurnya, Kaisar Gaius Julius Caesar Octavianus Augustus (63 SM – 14 M), memanggil teman-temannya. Lalu, ia minta cermin. Octavianus berkaca. Ia ingin melihat apakah sisiran rambutnya rapi.

Lalu Octavianus bertanya kepada mereka. Apakah ia telah memainkan komedi kehidupan dengan baik. Dan, rakyat senang? Apakah  kalian menikmati? Menyukai? Kalau menyukai, bertepuk tanganlah, dan ungkapkan kebahagiaanmu. Ia puas mendengar jawaban teman-temannya yang mengaku sangat menikmati komedi yang dimainkan Octavianus.

Akhirnya, Octavianus berkata dengan lirih tapi penuh kekuatan, “Pentas sudah selesai, bertepuk tanganlah. Acta est fabula, plaudite!”

Begitu cerita Suetonius dalam bukunya, De vita Caesarum (Kehidupan para Kaisar). Buku delapan jilid ini mengisahkan kehidupan 12 kaisar Romawi, mulai dari Gaius Julius Caesar (101 – 44 SM) diktator Romawi dari 49 – 44 SM, sampai Kaisar Domitian atau Caesar Domitian Augustus Germanicus (51 – 96 M). Ia kaisar terakhir dari dinasti Flavian.

Dalam buku inilah diceritakan kisah Kaisar Augustus atau Octavianus.   Octavianus disebut sebagai pendiri Kekaisaran Romawi dan kaisar pertama. Berkuasa selama 41 tahun, 27 SM – 14 M.

Di zaman Octavianus, tercipta novum saeculum, zaman baru karena tercipta Pax Romana (selama periode ini, Kekaisaran Romawi, aman, tentram, damai, dan mencapai puncak kekuasaan ekonomi, politik, dan militer) yang berlangsung selama 200 tahun, hingga 180 M.

Ia meninggal dalam damai, setelah memainkan komedi kehidupan menjadi penguasa Romawi. Masa pemerintahannya dianggap sebagai komedi saja. Karena, tujuan utama berkuasa dan memerintah adalah membahagiakan rakyatnya dengan menciptakan perdamaian dan kemakmuran. Kata Ki Gunarso, negara yang tata, titi, tentrem, kerta raharja; teratur, tenang, sejahtera, dan selamat. Dan, yang gemah ripah loh jiwani, masyarakatnya menikmati kemakmuran karena tanahnya subur sehingga berkecukupan dalam segala hal.

***

 

Bersama dengan dalang dan seluruh niyaga, pemain gamelan (Foto: Erick Sadewa)

Kondisi masyarakat seperti itulah yang diceritakan Ki Gunarso Gunotalijendro saat membeber cerita Dewi Sri dalam  pagelaran wayang kulit singkat (climen),   di KBRI Takhta Suci, Vatikan. Ki Gunarso datang ke Roma bersama rombongan UNIMA Indonesia dipimpin Dubes Dimas Samodra. Mereka  pentas di markas besar FAO.

Dalam cerita, Dewi Sri juga disebut  Sri Sadana, Sri Sadhana, Rambut Sadhana, Dewi Danu, Dewi Ayu Malik Galih, Dewi Pohaci, Ine Pare, Ine Ambu, serta masih banyak nama lainnya. Tokoh Dewi Sri memiliki kedudukan yang istimewa di kalangan masyarakat agraris karena dijadikan spirit dalam memuliakan pangan sebagai indikasi kemakmuran rakyat.

Dewi Sri menjadi simbolisasi tanaman padi. Kisah yang mirip-mirip juga hidup dalam mitologi Romawi.  Dalam agama Romawi kuno, dikenal dewi pertanian, tanaman biji-bijian, kesuburan dan hubungan keibuan, penghormatan terhadap perempuan yakni Ceres.

Ceres adalah dewi pertanian dan panen dalam mitologi Romawi. Menurut cerita panenan akan melimpah dan bermanfaat bagi umat manusia kalau mendapat restu dari Dewi Ceres. Namun murkanya mendatangkan penyakit busuk, kekeringan, dan kelaparan. Gagal panen.

Para ahli etimologi Romawi kuno berpendapat bahwa nama Ceres berakar pada kata crescere dan creare. Crescere artinya muncul, tumbuh, muncul, atau dilahirkan. Creare, di sisi lain, berarti menghasilkan, membuat, mencipta, atau melahirkan.

Dengan demikian, Dewi Ceres adalah perwujudan penciptaan sesuatu. Dari kata ceres ini muncul nama cereal, makanan.

Memang, Roma tak pernah lepas dari mitos. Mitos merupakan kisah masa lalu, sebuah upaya masyarakat zaman dulu untuk menjelaskan misteri dunia. Orang-orang dari semua budaya mempunyai mitos, termasuk mereka yang sangat rasional di abad dua puluh satu.

Kisah yang sangat kondang bahkan legendaris tentang Romulus dan Remus memberikan gambaran mendalam tentang asal-usul Roma itu sendiri. Saudara kembar ini, lahir dari perawan vestal dan dewa perang, Mars, ditakdirkan untuk  menjadi tokoh hebat.

***

Patung Dewi Sri (foto: Dreamstime.com)

Dewi Sri adalah mitos seperti Ceres. Mitos Dewi Sri adalah sebuah cerita kepercayaan rakyat yang sudah sangat tua. Mitos ini dikenal di kalangan masyarakat Jawa (juga luar Jawa) baik secara lisan maupun tertulis. Pada cerita lisan yang tersebar di kalangan masyarakat luas terdapat berbagai macam versi namun inti ceritanya tetap sama (lib.ui.ac.id).

Menurut cerita, Dewi Sri memang bukan mahluk manusia. Dewi Sri adalah mahluk supernatural dari Jenis perempuan. Kemudian menjelma ke bumi juga sebagai mahluk perempuan lagi, kebetulan juga dengan nama Sri. Dewi Sri membalas budi manusia yang menolongnya dengan cara meninggalkan tanaman yang berguna bagi umat manusia.

Ini mirip-mirip dengan cerita Ceres. Ceres adalah putri dari Titan Saturn dan Ops (yang dalam mitologi Yunani disebut Cronus dan Rhea) dan saudari sekaligus istrinya Yupiter.

Ia yabg selalu digambarkan sebagai seorang wanita muda, cantik, langsing  dengan ciri-ciri wajah bergaya yang khas dari daerahnya masing-masing, pada dasarnya adalah seorang wanita pada puncak kewanitaan dan kesuburannya. Dalam ikonografi Jawa, Dewi Sri biasanya digambarkan mengenakan pakaian berwarna hijau, putih atau kuning keemasan dengan pakaian perhiasan agung, mirip dengan Dewi Laksmi (Hindu), dan memegang tanaman padi dengan butiran beras penuh di salah satu tangannya sebagai atributnya atau lakçana (encyclopedia.pub).

Ada yang berpendapat bahwa Dewi Sri adalah ruh yang menjaga kesuburan sawah, maka disebut-sebut dalam doa slametan, seperti slametan menjelang tanam padi atau panen (slametan ini disebut wiwit atau mulai). Bahkan, menurut cerita Dewi Sri adalah pelindung spiritual masyarakat petani dalam masalah pertanian hingga rumah tangga dalam masyarakat Jawa.

Maka itu, masyarakat Jawa tradisional, khususnya penganut Kejawen yang taat, di rumahnya mempunyai sebuah tempat pemujaan kecil yang disebut Pasrean (tempat Sri) dipersembahkan untuk Dewi Sri. Pasrean itu  dihias dengan patungnya, loro blonyo, juga dengan ani-ani atau ketam yang bersifat seremonial atau fungsional: pisau pemanen palem kecil, atau arit: pisau pemanen padi kecil berbentuk sabit.

***

 

Foto: Erick Sadewa

Malam itu, kami mendengar dan kisah Dewi Sri, putri Prabu Sri Mahapanggung dari Kerajaan Purwacarita yang diculik  Garuda Wilmuka untuk membantu Ditya Kalandaru. Dewi Sri akan diserahkan kepada Prabu Pulaswa yang ingin memperistri. Selama Dewi Sri hilang dari Purwacarita, negeri itu mengalami bencana kekeringan, gagal panen. Namun, atas bantuan dewa, Dewi Sri bisa diketemukan kembali dan dibawa pulang ke Negeri Purwacarita dan  Negeri Purwacarita kembali subur, makmur, loh jinawi, tata, titi, tentrem, lan kerta raharja.

Saat itu pula, seperti kami semua yang menonton seperti mendengar perintah Kaisar Octavianus, “Acta est fabula, plaudite!”, pentas sudah selesai, bertepuk tanganlah… Kami pun berdiri, bertepuk tangan, tersenyum…

Sambil menyalami Ki Gunarso, saya katakan, “Jangan lupa  bawa pulang Dewi Sri ke Indonesia. Negeri kita lebih memerlukan Dewi Sri. Sebab Dewi Sri adalah ibu mitologis yang memberikan berkah dan restu pada para petani, memberikan kesuburan pada tanah sehingga tanaman padi subur, memelihara kehidupan karena seperti Ceres, dan dewi spiritual bagi keluarga petani dan keluarga rakyat kecil lainnya.” ***

Foto-foto lain:

Bersama Ilaria Meloni (pesinden)

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
1
+1
0
+1
27
+1
14
Kredensial