KUTERINGAT GAZA

Satu

Bocah Palestina (Foto Istimewa)

Beruntung, saya pernah ke Gaza. Beruntung juga, saya pernah menjejakkan kaki di Gaza City  yang akhir-akhir ini dihujani bom Israel.  Saya juga beruntung pernah ke Jabaliya, kota kecil di Gaza tempat lahirnya Intifada Pertama 1987.

Sudah saya susuri jalan-jalan dari Rafah (Jalur Gaza Selatan, yang jadi pintu gerbang masuk dari Mesir) hingga Beit Lahia dan Beit Hanoun (kota di bagian utara, Jalur Gaza dekat garis gencatan senjata 1949 dengan Israel). Beit Lahia dan Beit Hanoun, berada dekat dengan pintu gerbang Erez Crossing untuk masuk ke wilayah Israel.

Saya saksikan, ketika itu, rumah-rumah penduduk, kantor-kantor pemerintah, gedung-gedung sekolah yang hancur dihajar bom-bom yang dijatuhkan pesawat tempur Israel.  Saya lihat juga hamparan perkebunan jeruk dan juga zaitun rusak parah dilindas tank-tank dan kendaraan lapis baja Israel. Saya lihat pula, anak-anak dan perempuan korban perang di Rumah Sakit  Al Shifa, di Gaza City, yang tergeletak tak berdaya.

Itu semua akibat Perang Israel – Hamas, Desember 2008 – Januari 2009. Perang berakhir 18 Januari 2009, ketika secara sepihak Israel menghentikan pemboman dan diikuti Hamas. Tentu, di bawah tekanan internasional.

Karena perang itu, 1.440 orang (menurut beberapa organisasi kemanusiaan  separohnya adalah penduduk sipil) Palestina tewas; sementara Israel kehilangan 13 orang (empat di antaranya penduduk sipil).

Dua

It is a long established fact that a reader will be distracted by the readable content of a page when looking at its layout. The point of using Lorem Ipsum is that it has a more-or-less normal distribution of letters, as opposed to using ‘Content here, content here’, making it look like readable English. Many desktop publishing packages and web page editors now use Lorem Ipsum as their default model text, and a search for ‘lorem ipsum’ will uncover many web sites still in their infancy. Various versions have evolved over the years, sometimes by accident, sometimes on purpose (injected humour and the like).

Tiga

Orang-orang Yahudi Ortodoks demo di London, 21 Agustus 2011 (Foto: Istimewa)

Kini, perang kembali terjadi di Gaza. Orang selalu bertanya, mengapa pecah perang antara Israel dan Hamas (Palestina)?

Peperangan Israel-Palestina telah menjadi rutinitas. Mereka seperti mengikuti “naskah” yang disodorkan, yang sudah mereka akrabi. Sejak Hamas menguasai Jalur Gaza pada tahun 2007, telah terjadi tiga perang skala penuh dan banyak putaran pertempuran kecil-kecil.

Tetapi struktur dasar konflik—blokade  Israel di Gaza dan pendudukan Tepi Barat, dan pemerintahan Palestina yang terbagi antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, dan juga persoalan dasar yang menjadi penyebab konflik Israel dan Palestina: perbatasan, keamanan, pengungsi, air dan Jerusalem—tetap tahan lama, belum terselesaikan.

Tampaknya putaran kekerasan saat ini muncul dari serangkaian peristiwa yang kompleks di Yerusalem, terutama tindakan kekerasan oleh polisi Israel dan agresi oleh kaum nasionalis Yahudi sayap kanan. Namun kenyataannya, peristiwa-peristiwa tersebut hanyalah pemicu eskalasi yang nyaris tak terhindarkan dari cara pendekatan yang dipilih oleh partai-partai besar kedua belah pihak.

Sering saya bertanya, bisakah wilayah yang senantiasa dilanda kemelut dan pertumpahan darah menikmati kedamaian? Bisakah mereka yang tinggal di wilayah itu menghirup udara perdamaian, hidup dengan aman dan tenteram, memperoleh kebebasan, dan benar-benar menjadi manusia yang memiliki harkat dan martabat?

Dulu, pertengahan Januari 2009, ketika meninggalkan Gaza, saya berharap bahwa perdamaian akan menemukan rumahnya di sana. Harapan itu, hingga kini masih tetap hidup di hati, meski perang belum juga berlalu.***

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Artikel Internasional