Ketika Minggu lalu ke Napoli, Italia Selatan untuk menghadiri kaul kekal seorang diakon dan delapan biarawati dari Indonesia, langsung teringat lagu, O Sole Mio (Matahariku). Ini adalah salah satu lagu Napoli yang sangat digemari dan populer.
Dikatakan sebagai lagu Napoli karena aslinya ditulis dengan menggunakan bahasa Italia dialek Napoli. Meski demikian, O Sole Mio dianggap sebagai lagu “wajib” Italia.
Lirik O Sole Mio merupakan bukti kekuatan cinta dan kemampuannya menggerakkan jiwa…..o sole, ’o sole mio
sta nfronte a te, sta nfronte a te! Matahari ini, matahariku…Bersinar dari wajahmu, bersinar dari wajahmu.
Syairnya yang puitis mengungkapkan perasaan mendalam akan kerinduan, pengabdian, dan kegembiraan yang muncul saat berada di tengah kehadiran orang yang dicintai….
Ma n’atu sole cchiù bello, oi ne’,
’o sole mio sta nfronte a te!
Tapi tidak ada matahari yang lebih indah, oh tidak, ‘o matahariku ada di wajahmu.
Lagu O Sole Mio telah menjadi lagu yang dicintai masyarakat Italia, mewakili warisan budaya mereka yang kaya. Lagu ini syairnya ditulis oleh Giovanni Capurro (1898), komposisi melodinya oleh Eduardo di Capua dan Alfredo Mazzucchi.
Mengapa matahari yang lambang cinta itu? Karena lagu ini menggambar Napoli yang berlimpah sinar matahari. Mungkin seperti ketika Gesang menulis lagu Bengawan Solo, ia membayangkan Bengawan Solo yang begitu indah, akrab dengan kehidupan masyarakat.
Dengan menggunakan matahari; Capurro juga ingin bercerita tentang kesetiaan. Matahari adalah lambang kesetiaan. Ia dari abad ke abad, dari zaman ke zaman, terbit pagi hari dari timur dan tenggelam di barat, pada sore hari.
Matahari lambang kesetiaan, pengabdian, sukacita, optimisme, ketahanan dan kekuatan. Begitulah cinta. Ia setia. Ia mengabdi. Ia membawa sukacita. Ia memberikan optimisme. Ia memberikan kekuatan.
***
Begitulah delapan biarawati dan seorang diakon, ketika mereka mengucapkan kaul kekal, mereka menyatakan kesetiaannya, pengabdiannya, sukacitanya, optimismenya, dan merasakan kekuatannya untuk memberikan segalanya pada Yesus Kristus, Tuhannya.
Mereka bersetia seperti matahari menjalani panggilannya. Sebuah panggilan dari Tuhan untuk suatu keadaan hidup yang khas, di mana seseorang dapat mencapai kesucian.
Panggilan adalah terjemahan dari kata vocatio (panggilan, pemanggilan). Kata vocatio (diambil dari bahasa Latin vocare yang berarti memanggil.
Konsili Vatikan Kedua memperjelas bahwa ada “panggilan universal (vocatio) menuju kekudusan dalam Gereja” (Lumen Gentium, 39). Jadi panggilan mereka adalah panggilan hidup setiap orang yang diciptakan oleh Allah.
Dalam konteks rohani, kata panggilan sering dikaitkan dengan panggilan khusus menjadi rohaniwan/rohaniwati. Dan juga panggilan umum yang biasa dikenakan kepada awam yaitu pilihan hidup selibat dan hidup berkeluarga.
Tuhan telah memberi setiap orang berkat dan talenta yang dibutuhkan untuk memenuhi panggilan mereka. Karena itu, kesetiaan mereka yang terpanggil–baik khusus maupun umum–semestinya bukan kesetiaan temporer; tapi semestinya seperti kesetiaan matahari.
***
Tapi, adakah kesetiaan abadi di zaman sekarang ini? Di zaman konsumerisme dan materialisme ini? Di zaman yang serba mengutamakan kepentingan diri ini? Di zaman transaksional ini? Di zaman yang pedomannya untung dan rugi ini. Di zaman pragmatisme menjadi penguasa ini?
Dahulu pun, di abad ke-19, Lord Palmerston (1784-1865), seorang negarawan Inggris pernah meragukan adanya kesetiaan abadi itu. Kata Palmerston, yang abadi itu hanya kepentingan.
Kawan abadi, tidak ada. Sekutu abadi, tidak ada. Musuh abadi, tidak ada. Hanya kepentingan yang abadi itu. Katanya pada saat pidato di Majelis Rendah, 1 Maret 1848.
Kawanku hari ini, belum tentu kawanku besok. Musuhku hari ini belum tentu juga musuhku besok. Tetapi, tentu tidak demikian dengan O Sole Mio-nya Giovanni Capurro, yang setia sepanjang zaman; yang melodinya digunakan oleh Elvis Presley untuk lagunya, ‘It’s Now or Never’ (1960).
Kesetiaan Giovanni Capurro beda dengan kesetiaan Lord Palmerston, beda pula dengan kesetiaan delapan biarawati dan seorang diakon. Kesetiaan Capurro adalah kesetiaan matahari; kesetiaan Palmerston adalah kesetiaan temporer; dan kesetian para biarawati dan biarawan itu adalah kesetiaan vocatio.
Panggilan (vocatio) itu lebih dari sekadar panggilan biasa. Ini adalah panggilan dari Tuhan. Dan oleh karena itu proses menemukan atau memahami panggilan tersebut mungkin tidak selalu sederhana, dan mungkin memerlukan evaluasi diri dan penemuan diri yang kuat.
Maka benar kata Elvis Presley: ‘It’s Now or Never’ ….
Foto-foto lain:
Matur nuwun Romo Kiai Trias pencerahanipun, kesetiaan memang sulit nggih.
Semoga para pemimpin dan calon pemimpin mau dan mampu belajar kesetiaan.
Salam sehat. Salam hormat buat keluarga Pak Dubes.
BD
Trimakasih Mas Dubes Trias Kuncahyono, atas permenungan yang begitu mendalam, dengan mengulik peristiwa masa lalu bagi memahami peristiwa masa sekarang. Permenungan tersebut bisa kontekstual dengan masalah negeri pada akhir-akhir ini.
Salam hormat dari Agats-Papua Selatan untuk keluarga Mas Dubes Trias Kuncahyono.
Kesetiaan, loyalitas,… harus selalu dibuat, dipelihara, diantara segala macam rayuan, bujukan, godaan yg membius hasrat di satu sisi, sementara pd sisi lainnya ada halangan, hambatan, terpaan, tekanan, himpitan yg bs saja melumpuhkan semangat.
Itulah yg namanya ketetapan hati, kebulatan tekad. Suatu sikap yg konsisten. Sebaliknya, ya itu yg gampang atau mudah berubah, tidak mantap. Tentu bkn pilihan bagi mereka yg “terpanggil”. Juga, tdk pas utk seorang pemimpin,… esok dele sore tempe nanti, he hee hee.
Suwun bung dubes Trias utk permenungannya kali ini. Salam, dan damai sejahtera senantiasa.
Saat ini yg kita lihat di tanah air adalah kesetiaan gombal. Lamis, palsu. Kawan jadi lawan kata Puan Maharani.
Matur nuwun pencerahannya dimas Dubes Trias.
Berkah Dalem.
Semoga pencerahan yang ditulis Romo ias ada dampak dan manfaatnya. Salam. Sangat menyegarkan gizi ilmu Romo. Salam sehat dan sukses selalu.