“LA MISSIONE DI ANOMAN”

Selasa malam lalu, kami diundang untuk nonton pagelaran wayang kulit. Ini undangan yang menyenangkan sekaligus membanggakan: wayangan di Teatro Palladium Roma.

Gedung teater ini dibangun pada tahun 1927. Semula teater yang menghadap Piazza Bartolomeo Romano ini bernama Cinema Teatro Garbatella.

Gedung tidak penuh, memang. Tapi tak kurang dari 100 penonton menikmati wayangan, pertunjukan wayang, malam itu: laki-perempuan, tua-muda.

Mereka menonton pentas wayang–yang dibawakan dalam empat bahasa: Jawa (suluk dan tembang), Indonesia, Perancis (atawacana; dialog para tokoh wayang), dan Inggris (goro-goro)--dengan sangat sopan, diam, tak ada yang berisik dari awal sampai akhir, hanya tertawa ketika goro-goro. Bahasa Italia hanya digunakan saat pengantar oleh Giovanni dari Universitas La Sapienza, Roma.

Tepuk tangan panjang meledak dan menggema setelah pentas selesai. Dan, mereka lalu menyerbu panggung, memegang-megang wayang, memainkan gamelan, tanya-tanya ini dan itu; serta foto-foto di depan kelir, layar, dan dengan dalang, pesinden, serta pradangga. Sebagian besar dari mereka baru pertama kali nonton pagelaran wayang kulit.

Dalang–orang Perancis, Christoper Moure pernah 7 tahun belajar seni pedalangan di Solo dan Kartasura; para pradangga (penabuh gamelan) orang-orang Italia dan Perancis, dua orang Indonesia (Joko Susilo dan Desti asal Sewon Bantul). Pesinden–Ilaria Meloni, orang Italia yang enam tahun belajar seni pedalangan di ISI Yogyakarta. Ada seorang perempuan penari, Kadek, dari Indonesia.

***

Ki Christoper Moure

Lakon wayangan malam itu menarik: La Missione di Anoman atau Misi Anoman, Senggono Duta atau Anoman Duta. Ini merupakan lakon pakem (standart) dari epik Ramayana.

Mengapa memilih lakon itu? Kata Christoper, banyak pesan dan filosofi dari lakon itu. Namanya dalang, bisa njawab apa saja; bisa menentukan jalan ceritanya seperti apa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan, dalang adalah orang yang memainkan wayang.

Tapi KBBI memberikan pula arti kiasannya. Dalang orang yang mengatur (merencanakan, memimpin) suatu gerakan dengan sembunyi-sembunyi.

Padahal, sebenarnya, dalang adalah figur mulia. Apalagi, dalam kosmologi manusia Jawa, dalang menjadi rujukan tentang tata nilai dan pengatur ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah-kisah kehidupan, menghidupkan.

Para winasis, cerdik-cendikia nan bijaksana, misalnya Guru Besar Fisika FMIPA UGM Dr. Seno Sastroamidjojo mengatakan, kata dalang gabungan dari dua kata: wedha dan wulang. Wedha merupakan kitab suci agama Hindu yang memuat ajaran agama, tentang moral, peraturan hidup, panduan hidup manusia dalam masyarakat dan spiritualitas menuju Tuhan.

Sedangkan wulang dapat diartikan sebagai petunjuk atau nasihat; dan mulang artinya mengajar serta menebar benih ilmu dan cinta dalam kehidupan.

Dalang juga dapat diartikan sebagai penyebar ilmu. Makna ini berakar kata angudal piwulang, membeberkan ilmu yakni dalam proses menyebar ilmu bagi masyarakat banyak.

Dalam pentas wayang, dalang adalah seorang yang memimpin pementasan wayang: yang mengarahkan cerita baik sesuai pakem mau carangan (sempalan, tambahan) yang bercerita, yang memainkan wayang, mengomando para pradangga. Segala-galanya ada padanya. Pada hakikatnya dalang mementaskan nilai-nilai kehidupan pada setiap kisahnya.

Itu dalam wayangan. Tapi, kata “dalang” juga digunakan dalam panggung politik. Tentu beda artinya dengan di panggung wayang.

Dalam politik, dalang tidak sekadar mencari lakon yang sesuai dengan wayangnya, namun juga menciptakan lakon selaras kemauannya, mengatur ritme, bahkan menjadi makelar antar-aktor yang dimainkan hingga menyusun alur logika bagi wayang-wayangnya di panggung kuasa sesuai kepentinganya; tentu kepentingan politik yakni kekuasaan.

***

Rahwana (ilustrasi gambar 123cf.com)

Dalam wayangan kemarin, misi Anoman adalah memastikan keberadaan Dewi Sinta di Alengkadiraja setelah diculik oleh Prabu Rahwana atau Dasamuka (berwajah sepuluh; untuk menggambarkan selain sakti mandraguna juga tak bisa dipercaya). Ada empat tokoh utama: Prabu Rama, Dewi Sinta, Rahwana, dan Anoman.

Dari keempat tokoh itu, yang paling menarik adalah Rahwana atau Dasamuka. Dia sering disebut sebagai tokoh dari dunia kegelapan; dialah kuasa kegelapan itu sendiri. Sehingga yang jelek-jelek, yang jahat-jahat dilekatkan padanya. Tapi, sebagai raja, Rahwana mampu membawa negeri peninggalan kakeknya, Prabu Sumali, makmur, aman, dan sejahtera

Tetapi, sampai pada suatu masa, Rahwana benar-benar menjelma menjadi penguasa yang dalam bahasa kontemporer disebut diktator. Tak ada aturan yang tidak bisa dilanggarnya. Apalagi ia seorang raja.

Bagi Rahwana, raja adalah aturan itu sendiri; raja adalah hukum. Di mata rakyat, kekuasaannya demikian besar, raja pemilik segalanya. Sehingga rakyat, wong cilik hanya bisa mengatakan, ndherek karsa dalem–terserah kepada kehendak raja–kalau raja menginginkan, sumangga, silakan.

Dalam pentas wayang, biasanya dalang akan menceritakan begitu berkuasanya seorang raja dengan mengatakan, raja itu wenang wisesa ing sanagari–penguasa paling tinggi di semua negeri; gung binathara, bau dhendha nyakrawati_, sebesar kekuasaan Tuhan, pemelihara hukum dan penguasa dunia.

Apakah Rahwana menjadi kuasa kejahatan karena ia lahir hasil dari hubungan nafsu yang meledak-ledak tak tertahankan, melanggar wewaler (pantangan) antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi? Resi Wisrawa yang seharusnya menguraikan rahasia dan makna ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bagi Dewi Sukesi yang diinginkan anaknya, Prabu Danapati, justru mementingkan kebutuhan dirinya: mengawini Dewi Sukesi.

Dari perkawinan tersebut lahirlah Rahwana, Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka dan Wibisana. Rahwana lalu menjadi raja Alengkadireja.

***

Pesinden Ilaria Meloni, saat latihan di KBRI Vatikan

Dalam lakon La Missione di Anoman, Rahwana digambarkan sebagai raja yang menggunakan kekuasaan dan kedigdayaannya untuk ambisi pribadinya; untuk memuaskan hawa nafsunya dengan menculik Dewi Sinta; untuk memuaskan kenikmatan raganya.

Di tangan Rahwana, kedigdayaan dan kekuasaan tidak menjadi sarana untuk memaslahatkan banyak orang, rakyatnya, tapi menjadi sesuatu yang membahayakan pihak lain. Karena digunakan untuk kepentingan diri.

Pada saat itulah, nilai-nilai keluhuran seorang raja yang berbudi bowo leksono (berbudi luhur mulia) karena ada kecocokan antara omongan dan tindakan, kuwagung dadi wewayanging Allah, mampu berbuat arif bijaksana laksana bayang-bayang Tuhan, dan hambek adil poro marto, adil penuh kasih, begitu saja ditanggalkan, bahkan dibuang.

Rahwana tidak lagi menjadi seorang raja yang njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara). Sebab akibat tindakannya, pecah perang di Alengkadiraja. Rakyat sengsara…

Cerita seperti itu, tidak hanya ada di dunia pewayangan. Di dunia nyata pun, ada. Di setiap zaman, di setiap negara selalu muncul “rahwana-rahwana.” Sejarah banyak memberikan contohnya.

Di zaman Romawi, misalnya, muncul Nero, Caligula, dan Tiberius. Ketiganya menggunakan kekuasaan dengan cara yang kejam demi keuntungan mereka sendiri. Mereka mencoba mewakili kepentingan kekaisaran, namun gagal mewakili moral kekaisaran secara keseluruhan. Padahal, politik dan moral, tidak dapat dipisahkan.

Tapi, malam itu, Ki Dalang Christoper Moure hanya menceritakan Rahwana dari Alengkadiraja, tidak lebih tidak kurang. Itu pun, sudah membuat penonton bungah …. meskipun mereka tidak tahu makna tembang Ojo Lamis karya Ki Narto Sabdo yang ditembangkan sinden Italia Ilaria Meloni, yang cantik itu….***

Foto-foto Erick Sadewa, lainnya:

 

Bagaimana menurut Anda artikel ini
+1
0
+1
0
+1
35
+1
36
Kredensial